"Sorry ya, Bang. Kalo temen-temen gue pada begitu semua. Pada suka gak tau diri kalo nanya."
Gue masih bersama dengan perempuan yang diajak pergi ke kondangan, tengah duduk di kafe kantor yang terletak di belakang gedung. Sepulang dari sana kami sengaja melipir balik ke kantor. Pemandangan langit biru dari jendela kaca yang dibiarkan terbuka diliputi angin sore melengkapi suasana obrolan kami yang masih betah berlama-lama. Padahal sedang tidak sepi, banyak para kru lainnya yang juga berada di sini untuk sekedar mencari pelarian dan penghilang stres.
Aroma khas kopi yang menyeruak seisi ruangan terhirup tajam di hidung, gue sangat menyukainya. Selain itu, lantunan musik bergenre jazz yang tak bisa gue kenali siapa musisinya kental berdenging di telinga. Dan satu lagi, warna dindingnya didominasi lapisan kayu dan bata merah mengusung tema tradisional klasik yang berhasil memanjakan mata.
"Haha. Biasa aja gue mah. Toh mereka seru juga kok, Nim."
Dia yang mengenakan dress panjang hampir seharian itu nampak tak risih. Merasa cuek dan tak peduli dengan omongan orang-orang di sekitar, yang sedari tadi berlalu-lalang iseng mencuri pandang melirik cara berpakaiannya bagai seseorang yang hina.
"Lo, gak bawa baju ganti?"
"Ada. Tapi males." singkatnya menyahut. Dilahapnya satu sendok kecil cheesecake pesanannya yang baru saja diantar. Di atas meja kayu berbentuk bundar yang tingginya kurang dari satu meter, ada secangkir matcha latte miliknya dan ice caramel machiatto yang sedang gue seruput menggunakan sedotan berbahan dasar logam.
"Gak kedinginan?"
"Lo mau nutupin paha gue apa gimana?" to the point-nya melirik sendiri pakaian bawahnya yang terbuka itu.
Gue bukannya ingin dicap sebagai lelaki yang matanya jelalatan. Karena posisi duduk kami saat ini berada di tengah meja-meja lainnya, perempuan berkalung perak dengan huruf berbentuk inisial N itu tak sengaja menjadi objek konsumsi pemandangan gratis orang-orang yang tak bertanggung jawab. Mungkin bagi Nimas hal ini dianggapnya biasa saja, tapi tidak bagi gue.
Jas biru yang gue kenakan sekarang dilepas sengaja. Hendak diberikan pinjam secara cuma-cuma. Awalnya sempat menolak dengan alasan dia sedang merasakan gerah. Tak menyerah, dia begitu terdiam saat gue paksa untuk menerima pakaian berbahan polyester tersebut. Kaos polos putih berlengan pendek yang gue kenakan jadi terekspos keseluruhan. Yang penting masih pake baju.
"Udah gue bilang gak papa juga..." ucapnya menunduk kecil, tersimpul sudut bibirnya melengkung ke atas ketika menutupi bagian pahanya.
"Gak ada salahnya gue lindungin temen. Biar gak jadi sumber dosa."
"Haha. Thanks, Bang."
"Oke."
Tiba-tiba menghening, tak ada bahan obrolan baru. Entah kenapa semenjak dia bilang kalau urusannya yang tak mau diusik, sekarang dia seperti sedang membangun benteng pembatas dan menjaga jarak dengan gue. Jangan lupa, awal mula kami saling dekat juga karena urusan profesional. Kalau ingin bertanya seputar pekerjaan, sudah pasti gak akan jauh berbeda dengan apa yang gue alami sebelumnya. Dan pembahasan itu pasti akan selalu terulang dan sama saja. Gue bosan.
"Lo jarang pulang ke rumah, Bang?" tanyanya.
"Belom sempet minggu ini, Nim. Kerjaan makin hari makin gila."
Dia terlihat manggut-manggut, "Lo tuh kayak anak rumahan gak, sih?"
"Anak rumahan?"
"Iya, kalo gue liat-liat. Lo pas diajakin pergi gitu kayaknya mikirnya lamaaaaa banget kalo mau ngeiyain."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
General FictionPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...