Nimas mendatangi kosan gue sambil menentengi paper bag berwarna cokelat yang entah apa isi di dalamnya. Kedua tangannya penuh dengan masing-masing satu paper bag berukuran sedang. Belum sempat gue persilakan masuk ketika membuka pintu, tanpa babibu ia sembarang menyelonong gitu aja. Melepas sepatu boots-nya dan melewati barang-barang yang berserakan di lantai tanpa diinjaknya. Lalu menghampiri satu spot kosong di sebelah ranjang tidur sebagai tempat duduknya.
Gue yang dalam kondisi nggak siap dikunjungi siapapun nggak bisa berbuat apa-apa. Mau mengusir rasanya nggak etis. Kedatangan Nimas secara tiba-tiba ke sini pasti bukan tanpa alasan, karena ini pertama kalinya juga ia berkunjung. Nggak tahu juga darimana dia bisa menemukan alamat kosan gue.
Diri ini termangu saat turut mengambil kursi kayu di dekat pintu. Gue belum juga menyapanya atau sekedar basa-basi bertanya, yang biasanya selalu kami lakukan saat ketemu di kantor. Sekilas gue meliriknya, tampak ia mengenakan riasan dan baju liputan yang begitu rapi. Bukan seperti dandanan yang acaka-acakan ketika pulang liputan. Tatanan rambutnya berubah, terjuntai bebas menjadi pendek sebahu. Menimbulkan atensi gue untuk melihatnya lebih lama. Kapan dia sempat potong rambut?
Ia berdehem singkat saat menginvasi seluruh ruangan kosan. Gue sejenak jadi minder sendiri saat ikut mengamati, kondisinya memang terlihat berantakan banget sekaligus berdebu. Namun tak ada tanggapan kritik darinya setelah puas melihat-lihat foto bingkai gue yang terpajang di atas rak buku. Salah satunya terdapat foto bareng tim radio The Announcers di hari terakhir gue magang. Padahal Nimas gak bermaksud ngapa-ngapain, tapi tingkahnya yang amat serius seakan sedang mengecek kondisi kosan. Perannya udah kayak ibu kos aja.
Saat kembali duduk di tempat semula, barulah ia membuka obrolan, "Wan, lo gak kangen apa, bercanda lagi bareng gue?"
Gue yang tengah tertunduk lesu kemudian mendongak, "Hah?" disertai tampang melongo kayak orang bego. Gue dalam posisi tengah mencerna cara dia memanggil gue tanpa sebutan kata 'Bang' lagi. Kemungkinan dia mendengar omongan gue saat sore itu di rumah kakak gue.
Ia refleks menertawakan gue karena ekspresi wajah ini yang nggak bisa terkontrol. Kemudian berlanjut lagi, "Betewe, haus nih, pak. Kagak ada air putih atau apa gitu?" sindir halusnya seraya mengelus leher.
"Bentar." singkat gue saat berdiri lalu menghampiri rak piring yang berisikan gelas berukuran tanggung. Gue keluar kamar menuju dapur umum yang terletak persis di sebelah tangga kosan, untuk mengambil air putih dingin yang tersedia di kulkas.
Balik ke kamar, gue menyodorkan satu gelas air putih beserta cawan dihadapannya. Tidak lupa juga membawa satu botol berukuran 600ml yang masih tersegel. Ia sempat mengucapkan terima kasih sebelum diakhiri dengan permohonan maaf, "Sorry, kalo kedatangan gue jadi ngerepotin elo, Wan."
Gue hanya merespons dengan anggukan sekali. Berikutnya dia meneguk air di dalam gelas tersebut hingga habis, "Kurang, gak?" Tetapi ia menggeleng, "Udah cukup. Nanti biar gue ambil sendiri deh, Wan."
Nimas datang di saat cuaca sedang terik-teriknya, kosan yang gue tempati terletak di lantai 2, sehingga hawa pengap juga panas gerah amat terasa menembus kulit. Segera gue menyalakan AC yang diatur suhu 16°C supaya ia gak kepanasan, tirai yang semula menutupi cahaya langit kemudian dibuka lebar. Teriknya seketika memancari penuh seluruh ruangan di siang hari. Rasanya kayak gue udah lama bertahun-tahun gak melihat langit terang, jadi aneh sendiri karena udah terlalu biasa dengan ruangan gelap.
"Oh iya, ini bingkisan dari temen-temen. Mereka titip salam buat elo, elo bener-bener gak bisa dihubungi sama sekali, ya? Sok-sokan nomor hp pakai gak aktif." dia menyerocos panjang lebar ingin menyalurkan rasa kesalnya. Tapi gara-gara kejadian ini, Nimas jadi bisa berkomunikasi sama Angga. Rupanya dialah sosok pemberi informasi alamat beserta arah petunjuk kosan gue ke Nimas. Untung aja ia gak dibikin nyasar sama Angga.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Ficção GeralPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...