04. Pindah (2)

210 30 8
                                    

Hari-hari gue kini semakin terbiasa dengan keberadaan Nimas. Sudah gak ada rasa canggung dan jaim di depannya. Sering bertukar pikiran setiap habis liputan tentang apa saja. Paling sering soal apa yang kami kerjakan selama seharian. Dia bisa mengimbangi apa yang gue bicarakan begitu sebaliknya.

Tapi ada satu hal yang masih membuat gue bertanya-tanya, "Lo belom cerita lagi ke gue. Tujuan lo mau bongkar apaan?" rasa penasaran ini tertahan sudah sejak hampir tiga minggu yang lalu.

Dia tersentak diiringi sorot bola matanya yang menyudut tajam, tanda tak suka.

"Udah gak usah kepo. Lo belom bosen nanya begitu mulu? Haha." mengalihkan pandangnya dengan menyeruput milk choco banana. Lalu berpura-pura meringis.

Hanya sampai sini gue berani bertanya. Mungkin ini pertanyaan yang keempat kalinya—Entah, yang jelas sudah lebih dari satu kali gue melempar pertanyaan yang sama. Dan jawabannya tetap sama.

Gimana gue gak makin penasaran coba?

"Bang, besok kan probation terakhiran, nih. Jadi kan pengajuan pindahnya?"

Yang Nimas bicarakan adalah soal rencana kepindahan gue dan dia untuk masuk tim investigasi. Kami berdua sudah berkomitmen yakin ingin mencoba peruntungan ke sana. Kayak ingin mencalonkan diri menjadi capres-cawapres.

"Sebenarnya gue udah bilang Bang Levan, sih. Kemarinan." terangnya.

Gue menoleh ke arahnya seketika, "Lo nyolong start?"

Dia terbahak, "Nyolong start, tapi gue nyebutnya dua orang kok!"

Hendak protes, "Ya tapi kan jadi gak etis persaingannya sama yang lain, Nim. Kalo misalkan ada yang mau juga gimana?" gue betul-betul sensitif kalo soal permasalahan kantor.

"Iya sih. Tapi gue nanya prosedurnya kok ke Bang Levan. Katanya besok ada form-nya gitu dan interview lagi. Gue gak minta dia untuk keep kita." Gue mengangguk paham, lalu menyeruput kopi panas.

Besoknya, apa yang dibilang Nimas benar terjadi. Di hadapan sekarang ada Bang Levan dan Pimred, Gue sudah duduk di sofa ruangannya selama sepuluh menit. Hawanya cukup dingin—udara AC-nya keluar dari belakang bikin tubuh gue semakin merinding, bercampur deg-degan kencang. Obrolan kami yang awalnya seputar basa-basi lingkungan kerja, sekarang tengah menantikan jawaban gue soal alasan minta dipindah.

"Soalnya itu cita-cita saya, Pak."

Pimred menyindir, "Itu jawaban lo dari empat bulan yang lalu gak pernah berubah, Wan. Ganti kek itu template." gue terkekeh pelan.

Sementara Bang Levan, "Wan, jawaban lo kalo begini doang ya mana bisa masuk pertimbangan. Kasih yang lebih logis dikitlah."

"Gue sebenarnya malah pengen elo tuh ke lifestyle aja." celetuknya terdengar disengaja.

"Pak..." memelas gue pada pimred. "Jangan dong..."

"Loh, beneran. Kan enak tuh ketemu artis."

"Iya enak sih—EH TAPI gak gitu maksudnya." rengek gue pada mereka berdua.

Terdapat raut bingung dari pimred karena gue menolak untuk pindah ke lifestyle. Ia terduduk menatap sambil melipatkan tangan di dada. Berbagai macam rayuan manis gue keluarkan, pokoknya hari ini gue harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Rasa keambisiusan gue muncul tiba-tiba di depan mereka. Kalau gue ditolak untuk yang kedua kalinya, gue akan terus mencoba di tahun-tahun berikutnya. Atau malah lebih baik keluar aja dari sini.

Gerik pimred bikin gue terkesiap, "Wilayahnya belum gue tentuin lo bakal di mana. Yang jelas, gue sekarang menimbang keinginan lo, Wan. Udah sono lanjut kerja deh lo, jangan lupa nanti pamitan sama orang-orang di PN." usaha yang gue lakukan berujung manis. Pimred akhirnya menyetujui, saking bahagianya gue sampai memeluk mereka berdua di ruangan pimred.

[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang