"Dewantara Wiryawan.... S.I.Kom... Reporter Investigasi Wilayah III. Gokil lo, gokil!" puji Arina seraya bertepuk tangan saat kami masih duduk di Kantin Pojok. Nimas meninggalkan kami berdua karena udah waktunya pergi ke lapangan. Arina speechless dan kagum dengan apa yang udah gue lakukan tadi di depan Nimas, dan berujung diledek mati-matian olehnya.
"Lebay lo, Rin!" Dia masih cekikikan gak jelas di kursi seberang. Berbeda dengan gue yang malah menatapnya datar. Halo, lucunya di mana, ya? Gue gak lagi stand up, Rin!
Kayaknya dia emang butuh hiburan tambahan setelah kemarin gue ajak dia pergi ke karaoke buat hilangin galaunya karena sang pacar.
"Aduh, gue gak salah ngomong kan, ya?"
"Gak, gak sama sekali. Malah harusnya lo lebih berani lagi ngomongnya. Lo seserius itu apa pengen jadi partnernya Kak Nimas?" tanyanya kini penasaran.
"Sebenarnya enggak juga, sih. Tapi ..." Ah capek gue jelasin berulang-ulang ke setiap orang yang nanya, termasuk Arina yang ternyata punya pandangan sama seperti lainnya, mengira gue terlalu obses.
Ia mengangguk tepat sebelum gue selesai bicara, "Oke, oke. Gue paham. Lo emang niatnya mau bantuin dia, kan? Makanya lo sekarang jadi begini?"
"Lo gak anggap gue ambis, kan?"
"Hah? Kenapa jadi ambis? Emang lo dapet apaan nanti kalo semisal berhasil nemuin jawaban yang lo cari? Reward? Duit? Enggak, kan?" sahutnya membuat gue merasa tertampar akan kalimatnya.
"Gue takut dia makin bikin benteng aja ke gue."
"Hmm, gue rasa enggak deh... Soalnya dia juga gak keliatan marah, tuh. Biasa aja nanggepinnya tadi."
"Belum tentu, Rin. Siapa tahu karena ada elo, dia jaga sikap."
"Enggak, lo jarang-jarang bisa mikir kayak gini. Lo bukan Wawan deh kayaknya. Sini, gue cek dulu suhu badan lo." Telapak tangan kanannya tiba-tiba terulur mendarat pada dahi gue, "Anget, lo keseringan minum es, sih."
Tatapan gue padanya membeku seketika.
"Terus, hubungannya sama jidat gue apa, anjir?" Refleks gue menarik paksa lepas tangannya yang sempat terasa dingin, bikin merinding aja.
Tindakannya Arina akhir-akhir ini terlihat agak berbeda dari biasanya. Secara gak sadar, dia udah beberapa kali kasih afeksi ke gue yang sebenarnya biasa aja buat orang kebanyakan. Efek keseringan ketemu dia tiap hari, kerja bareng, makan bareng, ngobrol bareng kalau lagi berdua doang di pos, pulang bareng karena jalannya searah bahkan satu komplek. Terkadang gue merasakan ada hal aneh yang terjadi diantara kami.
Penampilan Arina sejak awal masuk memang sedikit berubah karena tuntutan profesional. Juga dengan sifat perhatiannya yang selalu ia lakukan setiap saat, bikin secara perlahan jadi terasa beda, tapi istimewa bagi gue. Ditambah dia lagi ada masalah sama Mas Yayan, Arina sering mengalihkan kesedihannya dengan ngobrolin hal random. Ia gak sungkan bercerita apapun ke gue entah tentang keluarganya, masa kuliahnya, teman-temannya dan cerita lainnya yang bisa membuat dia lega akan keluh kesahnya.
Meski udah berteman lama, gue dan Arina ternyata punya beberapa kesamaan yang baru kami sadari. Semisal kayak gak bisa tidur dalam kondisi lampu menyala, gak suka makan cokelat dengan cara dikunyah, suka pergi sendirian dan masih banyak lagi.
Fix, gara-gara udah kelamaan jomblo sih jadinya kayak gini, nih. Sadarin diri lo, Wan!
"Wan? Jangan bengong lo!" tegur ia membuyarkan lamunan gue.
Seketika memalingkan wajah, "Elo sih, pake megang-megang jidat gue segala."
"Apaan sih? Megang doang padahal, masa gitu doang bikin pikiran lo jadi kemana-mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Fiksi UmumPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...