Kerja bareng Arina sebagai partner reporter gue, ternyata gak meninggalkan kesan yang terlalu buruk. Cekatannya ia dalam menghimpun informasi bisa mempercepat waktu kerja kami di lapangan. Cuma ia perlu dilatih untuk lebih profesional dalam menanggapi situasi.
Kayak sekarang, ia tengah ketakutan berdiri dibalik punggung gue.
Pukul 01.00 dini hari, kami berdua baru aja selesai mendatangi lokasi tersangka penyelundupan barang haram yang berada di daerah pinggiran kota dekat pelabuhan baru. Polisi berhasil menemukan tepat satu jam sebelum pergantian hari. Sesuai prediksi, para tersangka memang sedang berencana buat kabur via transportasi laut. Tapi usahanya gagal karena ketepatan waktu para polisi saat menyergap rumah kontrakan mereka. Tersangka berjumlah 4 orang, sedang satunya seorang sepasang suami istri yang baru saja menikah 4 bulan lalu.
"Wan... Gue pinjem punggung lo terus gak papa, kan?" terdengar suara Arina yang mengendap dibalik badan gue.
"Sekarang nyewa, Rin."
"Terserahlah, mau nyewa apa kagak, gue pake dulu punggung lo bentar. Gue takut."
Pemandangan di depan gue sebetulnya hanya ada para reporter yang sibuk pada tugasnya masing-masing, begitupun gue dan Arina. Tapi, satu hal yang membuat gue terheran-heran dengan tingkah Arina sekarang bukan karena ia takut sama kejadian penangkapan tadi yang bisa dibilang menegangkan. Bukan juga karena dia nggak bisa membuat berita atau malas bekerja. Sebaliknya, ia justru masih bersemangat ketika mewancarai penyidik sekitar lima menit yang lalu.
"Gue janji, gue bakal beliin lo Pop Mie satu lusin. Tapi please, lindungin gue dari dia!"
"WAN! DIA KE SINI!" hampir aja gue kena jantungan tiap kali dia memanggil nama gue spontan.
"WAN! WAN! WAN!"
"WAN! TOLONGIN GUE... GUE TAKUT..."
"APAAN SIH, RINNN? LARON DOANG ELAH!"
Ke-gedeg-an gue akhirnya keluar juga kan.
Untung nada tinggi gue ada vibra-vibranya dikit lah kayak penyanyi papan bawah. Gak sia-sia gue dulu jadi anak teater musikal di kampus, meskipun cuma dijadiin properti patung doang sambil mangap-mangap.
Jadi dari tadi Arina lagi berperang sama serangga terbang yang bahkan gak punya kekuatan buat ngebunuh dia. Dan entah kenapa gue mendadak jadi serasa bodyguard pribadinya dia, dari tadi bersiaga pasang badan buat ngusirin hewan kecil yang jobdesk-nya cuma mengerubungi lampu basecamp tempat para repoter berkumpul. Kerjaan gue sekarang jadi dobel secara nggak langsung, dan Arina tetap mawas diri dibalik punggung gue.
Gue beneran gak tahu ada cerita apa Arina bisa setakut itu sama laron, bahkan tangannya sejak tadi gak berhenti meremas ujung baju gue yang mungkin udah makin lecek bentuknya. Peluh keringat bercucuran di sekitaran kedua pelipis disertai raut cemasnya karena takut serangga itu akan datang menemplok iseng padanya.
Ya sudahlah, demi Pop Mie selusin, lumayan buat ready stock di kosan. Gue makin semangat ngebantu dia ngusirin laron, nggak lupa juga sekalian gue bantuin dia buat kasih solusi.
"Gimana? Udah gak digangguin lagi, kan? Pfftt." Melihat bentukannya Arina sekarang, bikin gue gak bisa menahan tawa.
"Iya, sih. Gue emang diselametin elo, Wan..."
"....Tapi gak harus buntelin muka gue pake jaket lo juga kali!"
Ia jadi protes sekarang, soalnya gak terima sama usulan dari seorang Dewantara Wiryawan yang sigap menutupi seluruh wajahnya pakai jaket gue. Kebetulan model jaket ini punya resleting yang panjangnya sampe ujung tudung kepala. Ya, abis mau gimana lagi, daripada dia terus-terusn histeris tiap kali ada laron berseliweran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Fiksi UmumPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...