22. Rasa Ini

115 19 1
                                    

"Wan? Lo kenapa? Suntuk banget kayak kurang tidur." suara perempuan terdengar jelas saat kedua manik sayup-sayup terbuka dengan pemandangan yang berbayang. Tangan Arina kemudian melambai-lambaikan pelan, ingin menyadarkan gue yang nggak sengaja ketiduran di sofa empuk nan mewah yang baru disediakan di pos.

Baru aja gue kerja sekitar satu setengah jam yang lalu, kantuk yang gue rasakan nggak bisa dikendalikan akibat seharian belum beristirahat. Berbanding terbalik dengan Arina yang tetap bugar sehat sedia kala. Ia sempat panik karena lingkaran mata gue yang menghitam. Udah gitu seharian ini gue baru sempat makan karena lupa. Biar gue lupa makan, gue gak lupa soal hari ini, dan gak ada rasa penyesalan sama apa yang terjadi hari ini.

Ada perasaan lega ketika Nimas akhirnya mau terbuka cerita ke gue. Gue jadi gak perlu selidiki dia secara diam-diam lagi. Apalagi sampe pusing-pusing diskusi bareng Jun dan Angga karena semuanya bisa gue tanyakan ke Nimas. Kartu As-nya Nimas saat ini udah berada di tangan gue.

Nimas kembali ke kantor bareng gue saat menjelang jam pulang. Suasana hatinya sudah semakin tenang meski ia tak berbicara banyak. Setidaknya gue sudah mencoba untuk tetap mengajaknya ngobrol atau membahas hal lucu yang bisa membuatnya sedikit terhibur. Kami pun berpisah saat gue dihampiri Arina yang datang mengenakan ransel abu-abunya ketika masuk ke dalam ruang redaksi.

"Besok-besok kalo mau masuk siang, tuker jadwal lah sama yang lain. Biar lo gak jadi bengek kayak gini!" seru Arina bawel mengomentari kondisi tubuh gue yang kembali demam.

"Udah gak balik ke kosan, baju minta dibawain. Untung deket kosan kita, Wan. Kalo engga mah ogah banget nurutin senior! Huh..." sambatnya belum juga selesai.

Di sisi lain gue mendengarkan dia. Gue agak heran, sejak kapan suhu badan gue jadi semakin meninggi tanpa sebab? Padahal gue belum lama abis medical check up ke dokter buat kebutuhan kantor. Hasilnya normal semua, malah gue sempat ikutan donor darah bareng Angga dan Jun. Arina sendiri yang melihat gue terkulai lemas jadi iba untuk ajak gue bercanda lama-lama. Tapi dia malah jadi lebih berisik melebihi cerewetnya kakak gue.

"Udah. Gak usah bawel deh, lo." sahut gue tak kalah judes.

Setelahnya ia berdiri, "Gue mau keluar, nih. Mau nitip gak?" tawarnya seraya memegang dompet di tangan kanannya.

Sambil mengeratkan jaket yang gue kenakan karena hawa dingin kian terasa, "Gak usah, lo mau ke mana?"

"Nyari angin."

"Nyari angin... Masuk angin aja lo baru tau rasa."

Ia mencebikkan bibir lalu memukul badan gue tapi gak kena, karena gue berhasil menghindar lebih dulu, "Penganiayaan lo mukulin gue mulu, Rin! Awas lo kena pasal!"

"Yeu.. Mentang-mentang kerjaannya cari berita yang nyerempet ke hukum. Jadi ngerti pasal lo ye."

"Eh, gak usah bawa-bawa kerjaan deh. Emang dari dulu gue pinter hukum!"

Diikuti kerutan dahinya ia melirik penuh ledek ke gue, "Jangan sombong wahai anak muda, Pancasila aja lo gak hapal, kan? Nomor tiga!" Tiba-tiba disuruh nebak.

Bernada malas, "Persatuan Indonesia..." Gue tahu karena yang gue hapal cuma nomor tiga doang. Sedang sisanya gue juga lupa. Hehe. Arina nampak bergeming, salah ngasih soal, nih.

"Gue masih ngantuk gini lo ajak tebakan pancasila, banyak gaya lo kayak Ibu Presiden aja." diiringi mulut gue yang menguap, gue emang butuh tidur, nih.

"Haha. Abis tingkah lo tuh akhir-akhir ini ada aja kelakuan bikin gue geleng-geleng."

Bukannya itu elo ya, Rin? Harusnya gue yang bilang begini ke elo. Dia sadar gak, sih?

[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang