"DEMI APA NIMAS NIMAS ITU ANAKNYA?" suara spontan menggema seisi kamar rawat inap Arina yang tengah kosong. Penghuninya sedang diajak berkeliling Bang Yayan sekaligus berpamitan pada perawat.
Hari ini Arina diperbolehkan pulang, ke kota asalnya. Dia akan memfokuskan masa pemulihannya dahulu sebelum balik lagi ke lapangan. Status kontrak kerjanya yang baru berjalan dua bulan di NewsdayTV udah diurus kedua orang tuanya dan pihak HR. Gue sempat menemuinya sebelum ia keluar kamar. Ketika menyapa dengan balasan lambaian tangan, aura bahagianya terpancar dengan hiasan sebuah cincin tersemat di jari manisnya. Di sebelahnya ada Bang Yayan sempat memeluk gue singkat penuh harap agar kejadian tempo hari tak jadi pembatas dinding keeratan pertemanan kami.
Oke, kini bukan saatnya gue bergalau ria lagi. Karena obrolan yang tengah gue bahas kali ini seketika menjadi lebih penting, reaksi wajah Bang Jen melongo sempurna gara-gara informasi yang baru saja gue sodorkan. Mungkin dia sempat gak berpikiran apapun tentang Nimas, toh mereka belum sempat bertemu. Pun gue jarang membahas tentangnya di depan Bang Jen. Karena dari setiap perjumpaan kami, pasti yang dibahas gak jauh-jauh soal cerita keseharian anak-anak radio.
"Kan katanya. Gue awalnya juga gak percaya, Bang."
"Tapi setahu gue, anaknya itu cuma dua. Bukan tiga. Terus gak lama pas Pak Primus diundang buat jadi narasumber di beberapa acara, dia nyebutinnya ada tiga."
Gue belum sepenuhnya mengerti atas apa yang dibilang Bang Jen. Pak Primus? Baru kali ini ia menyebut nama pemilik GC itu secara terang-terangan.
"Oh iya! Gue baru inget, waktu itu kalo gak salah ada anaknya yang udah jadi reporter juga, Wan!" celetuknya tiba-tiba.
"Angkatan berapa?"
"Mana gue tahu, lah. Emang gue keluarganya?"
Ingin rasanya menjitak kepalanya saat ini juga.
"Gue cuma inget tahunnya, kalo gak salah tahun 2014."
"Jadi kesimpulannya?"
"Berarti bukan Nimas, lah! Kenapa jadi gue yang nyimpulin?" Timpalnya kesal mengerutkan dahi.
Sementara gue sambil berpikir dalam diam. Menelaah apa yang diucapkan pria yang mengaku punya keturunan western itu. Kalau di tahun 2014 saat itu salah satu anaknya berprofesi reporter. Berarti sekarang udah memasuki tahun kelima, dan....
"Setahu lo, anaknya yang jadi reporter lima tahun yang lalu, cewek apa cowok, Bang?"
"Cewek, Wan. Soalnya gue pernah ngeliat dia wara-wiri di kantor yang dulu pas lagi ada acara prescon."
Otak gue semakin cepat bekerja menyatukan fakta-faktanya barusan. Kalau ciri-cirinya merujuk berprofesi reporter selama lima tahun, salah satu anak dari pemilik GC dan perempuan, kemungkinan besar dugaan gue benar. Tanpa memberi tahu Bang Jen, gue sudah yakin dengan jawaban gue sendiri.
"Woy, Mas Jen, Kak Wawan! Lagi pada ngomongin apaan kalian?" Laki-laki berpakaian kemeja rapi datang bersama sosok lawan jenis yang digandeng bak amplop dan perangko. Dewan dan Mbak Medina baru menyusul datang setelah jam kerja berakhir pukul 4 sore. Udah lama gue gak melihat keduanya jalan bersama. Hubungan mereka terlihat semakin kompak. Kedatangan mereka sukses membuyarkan fokus kami berdua yang larut dalam pikiran masing-masing.
"Kepo aja lo, Dew. Darimana aja lo baru dateng jam segini?" tanya laki-laki berpostur jangkung dengan jerawat kecil di area pipi. Gatel tangan gue pengen pitesin, gak betah lihatnya. Gantengnya Bang Jen jadi kehalang gara-gara jerawat.
"Nungguin dia dulu, abis nganterin cari bahan masak buat acara arisan mamahnya besok." Jujur ia seraya menentengi kantong plastik putih berisi makanan ringan di tangan kirinya. "Nih dimakan deh, biar pada gede lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Ficção GeralPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...