Gue masih terus berkeliling mengitari seluruh area gedung pameran mencari Nimas. Ia masih gak bisa dihubungi sejak kali terakhir 15 menit yang lalu. Aneh, padahal tadi selama gue perform dia keluar gedung sambil memegang HP-nya, berarti dia seharusnya bisa dihubungi gak lama setelah gue turun dari podium. Malam hari pun jadi tak terasa larut karena masih terlihat beberapa orang yang baru mendatangi gedung pameran.
Perasaan gue mulai diselimuti rasa khawatir, soalnya menghilangnya Nimas ini persis sama apa yang dibilang Bang Jeko. Ia sering tiba-tiba pergi gitu aja tanpa kasih kabar kemana perginya. Dan gue juga gak tau tempat-tempat mana aja yang biasa sering dia kunjungi, padahal bisa aja kan gue manfaatin itu buat petunjuk mencari keberadaannya. Gue cuma sekedar tau kalau dia sering pergi ke Kantin Pojok tiap lagi istirahat kerja, tapi rasanya gak mungkin kalo dia ada di sana sekarang mengingat udah mau jam 10 malam. Sedangkan jam 9 malam Kantin Pojok udah tutup.
Gue juga udah sempat nanya ke beberapa teman sedivisinya, mereka bilang kalo Nimas sempat terlihat sekitar 20 menit yang lalu. Dia berjalan kaki menjauhi area pameran ke arah jalan kecil menuju ke sebuah tempat yang jaraknya sekitar 300 meter dari gedung. Setelahnya gue mulai berlari semakin cepat dalam kondisi mengenakan sepatu converse yang terlepas talinya, dan juga deru napas gue yang kembali tersengal-sengal karena lama gak olahraga. Semakin dekat di depan mata, gue hampir sampai pada sebuah tempat yang disebutkan tadi.
Kesan dark dan dingin terasa muncul begitu pertama kali gue ketika melihat sebuah bangunan yang berbentuk seperti rumah, namun nampak sepi tak berpenghuni. Meski cahaya langit malam menerangi laju jalan gue sebelum sampai sana, hawa mistis dan horor seketika terasa menghantui gue. Ditambah merinding sebadan-badan karena datang sendirian tanpa ditemani siapapun. Gue emang gak pernah takut sama hal apapun yang ada di dunia—kecuali mamah sama abah gue yang emang mutlak harus ditakuti. Tapi gue gak bisa menjamin ketika hal yang seharusnya gak gue takuti malah jadi boomerang buat gue sendiri. Yah, pada dasarnya setiap manusia juga diciptakan punya rasa takut, kan?
Sekarang gue jadi berharap lebih kalo Nimas beneran ada di sini, jangan sampe gue kehilangan jejaknya lagi. Angin malam yang tak teratur ritme derunya kini menemani gue menyusuri sepanjang jalan yang kira-kira muat dilewati satu kendaraan mobil. Meskipun lampu alam alias cahaya langit terlihat terang benderang, tapi tetap aja lampu jalan yang terpasang bohlam dengan ukuran watt kecil temaram itu semakin menambah kesan horor.
Tiba-tiba aja gue udah berlagak kayak detektif yang suka mengendap-endap ketika mencari sesuatu yang amat genting. Penampilan gue aja sih yang kurang mendukung soalnya lagi gak bawa leather jacket kebanggaan yang tertinggal di kosan. Seakan bertaruh dengan nyawa, gue rela melakukan apa aja demi dapetin info yang gue butuhkan. Gue gak pernah ragu atas apa yang gue lakukan saat ini, ya, semua gara-gara rasa keingintahuan gue yang sudah melewati batas.
Dari kejauhan sepuluh meter, gue mendengar suara-suara lirih samar. Jantung gue auto berdegup cepat, kayaknya memang benar ada seseorang di sana. Suaranya selalu sama dan tidak ada yang berbeda, sepertinya orang ini sendirian. Tetapi gue gak begitu yakin kalau itu suara Nimas, soalnya suaranya dia meskipun lagi berbisik tetap aja gak ada bedanya kayak pas lagi ngobrol bareng gue, tetap normal desibelnya.
Gue tetap fokus berjalan menuju sumber suara yang terdengar kian membesar jika semakin didekati. Beberapa langkah lagi sebelum tembok yang gue lewati mentok habis, gue akan tengok ke kiri. Letaknya sekarang gue berjalan menuju ke arah belakang yang gue sebut rumah kosong tadi.
Tinggal satu langkah lagi gue memunculkan diri di hadapannya...
'Miaw!'
Hah?
'Miaw!'
Gak, gue bukan mau jelasin kalo Nimas sekarang menjelma jadi kucing. Gak gitu. Sewaktu memunculkan diri, gue berdiri dalam posisi mematung dengan ekspresi melongo lantaran speechless.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Aktuelle LiteraturPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...