06. Baru Sempat

210 28 12
                                    

"Gue gak bisa baca!" seru Angga saat melihat satu jepretan tulisan yang sempat gue ambil di bilik Nimas.

Sama-sama memiliki waktu senggang, kami janjian di sebuah kafe rooftop. Pemandangannya begitu memanjakan mata karena dipenuhi tanaman-tanaman hijau di setiap spot. Belum lagi hawa sejuk yang menyentuh kulit padahal cuaca sedang terik. Tak terasa kepanasan karena dilindungi sebuah atap. Kami duduk bersila di selasar sambil minum kopi.

"Masa gak bisa sih? Ini tulisan Korea bukannya sama aja kayak Mandarin? Lo jago Mandarin kan?"

Muncul wajah merengutnya, "Gue emang keturunan Cina, tapi bukan berarti gue bisa baca tulisannya juga. Emang lo dulu gak pernah dapet mapel bahasa apa?"

"Pernah, tapi Jepang." polos gue.

"Jepang sama gak kayak Mandarin?"

"Beda."

"Terus sama Korea, beda apa sama?"

Memperhatikan foto tulisan Nimas yang sedang dipegang Angga dengan tulisan Cina yang didapat secara acak dari Google, "Beda juga kayaknya."

"Terus cocoklogi tulisan Mandarin sama Korea bisa lo bilang sama tuh ada di mana???" meletakkan HP gue kasar.

"Ya udah sih kalo emang gak bisa baca. Gak usah ngegas gitu, Bro." melengos gue kesal mengambil benda seluler itu. Orang niat baik dikasih info jawabannya gak mengenakan melulu.

"Terus ini kalo misalkan petunjuk selanjutnya, lo mau kayak gimana?"

Sudah pasti gue akan terus ikutin geriknya Nimas. Karena gue yakin, pasti ada sesuatu dibalik niatan dia ingin menjadi reporter investigasi. Kedua pelipis sejak tadi tak berhenti nyeri. Sejak tadi lidah gue terus bermain di dalam mulut dan terlihat menonjol dari luar pipi, bingung harus memulai dari mana.

"Ga, bantu gue mikir deh. Coba lo bayangin, ada satu orang masuk jadi reporter karena punya niat ingin membongkar sesuatu. Aneh gak sih?" kini gue menopang dagu pada atas lutut.

"Unboxing?"

Menyentil kepalanya, "Ck. Otak olshop kayak gini nih!"

"Kan unboxing membongkar juga!" timpalnya tak sabar.

"Iya tapi ini konteksnya beda gorila!"

Dia manggut-manggut mengeluarkan alat isapnya, vape. Gue tersenyum lempeng acuh dengan kebiasaannya itu. Sejujurnya gue juga perokok, tapi gak sesering Angga ataupun orang-orang kantor, jarang bahkan bisa dibilang hitungan jari. Kalau lagi kumpul KAJ pun gue memilih untuk mengalihkan perhatian dengan minum kopi saja. Melihat Angga yang begitu lihai mengisap tak begitu menarik perhatian gue dalam pandang.

"Kalo kata gue gak aneh. Rata-rata orang punya keinginan kan pasti karena ada tujuannya. Iya gak?"

Merasa setuju dengan pendapatnya, "Tapi gue gak tahu kenapa sampe se-kepo ini gitu loh, Ga. Lo gak kepo emangnya?"

"Kepo sih. Tapi ya udahlah, mungkin dia pengen bongkar rasa penasarannya aja. Bisa aja cuma itu." santainya.

"Kayak elo aja sih, gue pun juga sama kalo ditanya begitu. 'Itu cita-cita saya pak' haha." tertohok gue memutar bola mata malas ketika disindir begitu.

Ah, gue makin pusing. Angga sejak tadi belum berhenti berkomat-kamit membicarakan gebetannya-dia udah gak naksir Nimas btw. Dirinya begitu excited sampai tak sadar kalau gue gak begitu mendengarkan lantaran tak fokus. Belum selesai berbicara, seperti punya karpet merah gue tiba-tiba memotongnya dengan pembahasan lain.

"Eh, Ga. Kan Mbak Lena dulu ada di tim lo bukan sih?"

"Mbak Lena yang jutek? Yang suka nyindir itu? Kenapa dia?"

[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang