"Good morning, Jurnalis!"
"Morning!" beginilah setiap harinya kami saat masuk, adalah saling menyapa satu sama lain di kantor.
Lingkungan kerja di stasiun tv swasta yang dibangun sejak 12 tahun yang lalu itu memang mirip dengan suasana kantor di radio tempat gue magang dulu. Santai dikala sepi deadline dan akan selalu kelimpungan saat pimred datang menjenguk, mengobrak-abrik kinerja kami dan ditegur agar lebih cekatan dalam bertugas. Bahasa gampangnya nunggu ditempeleng dulu baru pada mau bergerak.
Baru saja ingin menarik kursi di balik bilik meja kerja gue, dengan menaruh kopi panas. Tiba-tiba di depan mata datang Nimas yang melewati samping bilik gue, ruang kantor seketika riuh karena kedatangannya saat menyapa. Cara ia berjalan layaknya Miss Universe yang baru saja kembali dari kejamnya dunia adu kecantikan setelah memenangkan mahkota. Dia menuju bilik tiga baris di belakang gue untuk menempati meja kerjanya.
Ruangan redaksi lumayan cukup luas, saat ini terdapat lima puluh bilik yang belum terisi semua. Baru sekitar 70 persennya saja, sedang sisanya masih kosong dan kemungkinan akan diisi oleh anak-anak JDP angkatan berikutnya. Satu baris bilik memanjang diisi oleh 7 sampai 10 orang. Kalau dibarisan gue saat ini hanya diisi 5 orang karena yang dua sedang liputan di luar kota.
Sebelum ke lapangan, kami membiasakan diri untuk absensi di kantor terlebih dahulu dan menyusun agenda peliputan hari ini. Kecuali jika ada jadwal liputan sejak pagi, baru diperbolehkan untuk langsung ke lokasi. Kebetulan gue dan Nimas mendapat jadwal agenda yang tidak terlalu mendesak, jadilah kami berdua diminta untuk ikut briefing bersama korlip, Bang Levan.
"Wan, lo cek lagi aja tuh headline news yang dibuat semalam. Kayaknya hari ini bakalan diangkat lagi, lebih bagus kalo dapetin info lanjutannya biar bisa dinaikin lagi." sarannya lalu menyesap kopi latte-nya di atas meja.
Masih berada di tempat yang sama kami melakukan briefing seperti saat evaluasi semalam. Isinya kebanyakan meja yang berjumlah 7 buah kemudian disusun menjadi satu hingga membentuk seperti meja besar. Terdapat sebuah jendela yang baru saja dibuka tirai lipatnya dan terlihat terang pemandangan gedung-gedung tinggi bersanding dengan awan. Nimas yang hadir di sini sibuk memainkan tablet PC-nya selagi mendengarkan arahan Bang Levan pada gue. Ia menduduki kursi di seberang sana dengan tampilan menggunakan bando hitam di atas kepalanya.
"Siap, Bang." singkat gue menjawab.
Kini pria yang berlengan kekar itu menoleh ke arah si perempuan, "Buat Nimas, wabah diare kemarin udah dapat dua lokasi kan? Lo lihat perkembangannya seperti apa. Menurunkah apa malah meningkat? Kalo bisa sekalian lo cari lokasi yang lain juga buat tambahin *footage. Dan usahain buat dapetin wawancara dari pihak dinkes setempat."
Melirik korlip, "Oke, Bang Levan."
"Segitu aja dari gue. Sekian." ia berdiri kemudian melenggang keluar ruangan.
Tanpa berlama-lama, gue membereskan buku catatan ingin bergegas membuka pintu. Tetapi Nimas juga melakukan hal yang sama sehingga tak sengaja terjadi berbenturan di hadapan pintu.
"Sorry, Nim. Lo gak papa?"
Ia mengangguk, "Gak papa, Bang. Silakan duluan," ucapnya mengalah dengan mundur.
"Lo duluan aja deh." sahut gue ikutan.
Menuruti ucapan gue, "Ya udah. Semangat, Bang!"
"Haha. Thanks."
Kami kembali pada bilik masing-masing untuk mengambil ransel sebelum keluar ruangan. Lagi, kami bertemu di depan lift berlapis kaca dan turun bersama. Selama di dalam gue memperhatikan ia yang memainkan mulut berisi permen karet, dikunyahnya perlahan sambil memutar bola matanya ke atas. Kepalanya dipijat menggunakan tangan kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Ficción GeneralPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...