12. Tiket

159 22 6
                                    

"Lo mau tahu kenapa gue gak mau satu tim bareng lo, Bang Dewan?"

Musik bergenre pop yang terputar sebuah lagu dari musisi ternama lokal tak mampu menenangkan pikiran gue yang sedang diperas otak. Menahan kalimat-kalimat kasar yang sejatinya tak pantas jika dilontarkan di sebuah workspace dengan konsep outdoor yang baru saja resmi dibuka beberapa hari yang lalu. Fungsinya tentu saja untuk memfasilitasi para jurnalis yang ingin menjernihkan kepala di tengah deadline yang melanda.

Atap berlapis kaca di sana menunjukkan langit-langit bercahaya nuansa malam. Bulan yang membentuk setengah purnama tak mau kalah bersaing dengan sorot lampu temaram di setiap sudut, atau saling mendukung satu sama lain menerangi ruangan yang diperkirakan luasnya seperti lapangan sepak bola.

Jika yang lainnya sibuk mengurus deadline, gue justru merenungkan kalimat tanya dari seorang perempuan. Merasa bodoh. Timbul rasa penyesalan atas kesepakatan yang telah disahkan sejak beberapa jam lalu, gue tidak memberi ajuan pertimbangan atas rules lain. Seperti tidak dianjurkan untuk mengajukan pertanyaan di depan umum, atau diberikan waktu untuk tidak menjawab secepatnya. Karena mau bagaimana pun jenis pertanyaannya, kalau memang terlalu bersifat pribadi, setidaknya gue bisa cekatan menyaring dan menyusun kalimat jawaban terpraktis agar mudah dipahami.

Baiklah, mungkin ini adalah sebuah langkah awal darinya sebagai pemanasan, sebelum kami semakin banyak bertanya satu sama lain.

"Wan? Lo seobses itu apa pengin satu tim bareng Nimas?"

"Wan, lo mainnya keren juga. Ajarin gue lah gimana caranya biar bisa to the point gitu ke cewek?"

"Tingkat interest lo ke dia udah mencapai berapa persen, Wan? Nekat juga lo ternyata."

"Gue liatin, bentar lagi bakalan ada adegan cerita romansa nih, Dewan kalo beneran setim bareng Nimas di investigasi... BAAM!! Udahlah NewsdayTV gak usah rekrut reporter lagi, JDP next batch bakal closed selamanya!"

Dan lihatlah dampaknya sekarang. Akibat sederet kalimat tanya dari Nimas yang semustinya tak perlu didengar oleh mereka, sekarang satu ruangan redaksi jadi seru berasumsi penuh tolol. Mereka hanyalah sederet manusia yang tak perlu ikut memahami apa yang sedang gue lakukan dengan Nimas. Jika harus dijelaskan, rasanya akan butuh waktu panjang dan pasti akan menimbulkan reaksi-reaksi lainnya di luar dugaan. Gue tidak senaif itu untuk membeberkan apa dibalik pertanyaan Nimas di ruang meeting tadi.

"Vanila latte, Dewan." Suara vokal salah seorang perempuan lainnya menghamburkan lamunan ini sekembalinya dari workspace. Ia menghampiri kubikel gue dengan pelan menaruh segelas cup kopi panas,  nampak asap tipis yang mengudara.

"Thanks, Mbak Len. Tumbenan?" Sahut gue mendongakan kepala sembari menyugar poni. Tak seperti biasanya Mbak Lena mau melakukan hal kecil kayak gini ke gue. Karena dimatanya, gue selalu dianggap sebagai pemisah partner antara dia dan Bang Jeko. Tak jarang dia memberikan kesan galak, ketus dan juteknya saat diajak berbicara. Entah memang sifat sejak lahirnya sudah begitu, atau memang ia hanya berperan dalam sebatas lingkup profesional. Namun setelah melewati beberapa masa, sisi baik dan keibuan dari seorang wanita berusia 28 tahun itu kian terlihat.

"Gue mau appreciate aja ke elo. Gara-gara berita lo sama Bang Jeko, kita semua anak investigasi kedapetan reward dari redaktur."

"Reward?"

Di balik pembatas bilik, ia mengeluarkan dua voucher karaoke di sebuah tempat hiburan yang berlokasi di Jakarta Selatan. "Buat lo sama partner lo."

"Bang Jeko mana mau diajak karaokean, Mbak Len? Mana cuma dua lagi." gue mencebikkan bibir ketika mengamati detil bentuk voucher-nya.

"Haha... Bang Jeko emang lebih seneng dikasih hadiah trip, sih, Wan. Tapi voucher-nya lo bisa pake ini buat nanti, kok. Buat partner baru lo, mungkin?"

[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang