Pukul tujuh pagi, dibuka pintu kamar kosan dengan mimik lesu ketika baru sampai. Sepatu sneakers yang gue kenakan ditaruh lepas sembarang, tak peduli dengan tempat asalnya. Tirai kamar bermotif garis-garis vertikal berwarna hitam yang terbuka benderang sengaja ditutup, agar menghasilkan cahaya remang-remang di dalam kamar dibantu lampu tidur berwarna biru.
Mengganti pakaian dari seragam menjadi kaos kutang murahan yang terbeli dengan harga promo di minimarket. Mandi pun hanya sekedar mandi bebek, berdurasi kurang dari tiga menit asal bersih dari keringat yang menempel semalaman. Mengambil satu gelas air putih yang diambil dari galon dapur umum kosan, ditaruh di meja khusus area makanan.
Kelelahan, segera gue membaringkan diri di atas ranjang yang untungnya tidak dalam keadaan berantakan—biasanya penuh dengan buku-buku tentang jurnalisme. Beginilah kebiasaan gue pada saat setelah bekerja semalaman karena jadwal shift malam, paginya harus langsung tertidur agar tidak terlalu merasakan pusing di kepala. Dunia kehidupan gue seakan dibuat terbalik sekarang.
Baru saja mata terpejam kurang dari semenit, tiba-tiba ada yang bergetar dari atas nakas. Sejak semalam smartphone gue aktifkan mode senyapnya itu memunculkan tampilan panggilan video masuk pada layar. Ketika gue mengambil cepat, tertera sebuah nama seseorang yang sangat familiar, yang sudah mulai jarang berkomunikasi karena sibuk pada pekerjaan masing-masing. Sekalinya dihubungi langsung diajak video call.
"Halo...?" rindik suara gue yang terkulai lemas.
"Kak Wan...??? Ampun. Buset belom bangun nih jam segini?"
Paras gue yang tak kasatmata akibat sinar lampu remang tadi semakin dibuat yakin kalau gue diduga masih terlelap. Mulut menguap lebar tanpa adegan skenarionya akibat rasa kantuk yang kuat telah tertangkap kamera. Menimbulkan respon ejekan dari penelpon yang sepertinya ada lebih dari dua orang.
"Baru mau tidur gue, Dew..."
Diamati lebih detil, dari layar nampak ada sosok Dewan, Bang Sandi dan Bang Jen yang duduk bertiga rapi berderet seperti naik becak, saling dempet saking sempitnya. Entah apa tujuan mereka menelpon gue sepagi ini. Bukannya sekarang belum timing-nya mereka masuk kerja, ya?
"Lo abis ngerjain berapa berita, Wan? Loyo amat kayaknya," ujar pria berkepala botak. Kerlingan matanya yang mendekati kamera begitu menusuk dalam pandangan, kelihatan banget.
"Woy Wawan! Abis dugem lo ye?" penanya yang satu ini tak perlu diberitahu, sudah jelas siapa pelakunya. Suaranya melekit nyaring dengan nada tak lembut dan selalu ingin dibalas ucapannya dengan intonasi yang setara jenjang kasarnya.
"Dugem nenekmu. Masuk malem gan."
"Anjir. Mainnya udah jauh banget."
"Urusan kerjaaaaa Dewannn. Ada apa nih kalian nelpon betewe? Kangen sama Wawan ya?"
Terdengar gebrakan meja kencang, "WOY amit-amit jabang bayi! Sok pede banget najis, Dew udahlah matiin aja nih orang gini hari masih aja kepedean. Masih kobam tuh pasti."
"KOBAM DARI MANA SIH BANG JEN?? GUE BENERAN NGANTUK INIIIIIIIH." tak tahan diejek melulu, akhirnya gue melepas satu kalimat dengan nada yang cukup keras. Seisi kamar yang terletak di lantai dua menggema.
Sekilas tiba-tiba suasana hening terasa di sana, Bang Jen kicep dengan melipat bibirnya. Pasti dia telah puas sudah mengejeki gue. Bang Sandi yang sempat menghilang kini kembali tertangkap layar dan memberi penjelasan cepat, "Ntar sore gue sama anak radio mau jengukin Yayan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
General FictionPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...