Flashback to "The Future" chapter 23.
Disclaimer : This chapter has many trigger words.
Happy reading!Beberapa minggu kemudian
Malam ini langit sangat tidak bersahabat. Kucuran air hujan deras terus mengalir, membasahi sekujur tubuh gue tanpa permisi. Suara kilatan petir begitu kencang menggema seakan mengiringi larut kepedihan yang gue rasakan saat ini. Dengan berpakaian kemeja putih yang terkena bercak darah, gue hendak mengunjungi ruangan Bang Jeko. Langkah kaki yang tergesa-gesa, wajah gue terlukiskan sisa air mata bercampur luka dalam hati. Tak peduli sepanjang jalan lobi kantor sedari tadi dilirik negatif penuh caci maki oleh sebagian orang yang lewat.
Fakta pertama. Hari ini jadi hari terburuk dalam sepanjang hidup gue. Gara-gara gue, kantor tiba-tiba jadi ramai karena gue udah bikin keributan besar tadi sore.
"Wan? Lo udah balik? Gimana dia sekarang?" Tanyanya merujuk pada seseorang ketika ia membuka pintu, mempersilakan gue masuk.
Tanpa memberi jawaban, Bang Jeko yang udah paham dengan situasi saat ini kemudian membiarkan gue untuk rehat sejenak. Diambilkannya handuk kering dari sebuah loker kecil miliknya yang berada tepat di sebelah wastafel. Ukurannya yang tak seberapa itu terasa percuma saat dipakai. Cuma bisa digunakan untuk menutupi kepala gue yang menetes tiap helaian rambut sisa guyuran air hujan.
Bang Jeko juga sempat menyalakan heater atau penghangat ruangan agar tubuh gue gak semakin menggigil. Perjalanan gue dari rumah sakit naik ojol dengan jarak sejauh kurang lebih 20km menuju NewsdayTV adalah kesalahan fatal yang darurat. Demi menghindari kemacetan karena dikejar waktu, gue terpaksa harus minta izin absen untuk hari ini sebelum masuk jam kerja.
Niat awal gue ke sini sebenarnya mau minta tolong ke Bang Jeko, untuk bantu urus surat izin Arina karena kecelakaan yang menimpanya.
Fakta kedua. Arina kecelakaan karena terjatuh saat ia hendak melerai Bang Yayan dan gue yang berkelahi. Kepalanya terbentur ujung beton yang mengakibatkan ia mengalami pendarahan cukup serius.
Lagi, penyebabnya juga gara-gara gue.
Kabar terakhir yang gue dapat dari Bang Yayan, Arina masih dalam keadaan kritis di rumah sakit. Ia mendapat perawatan intensif sebelum nanti malam di operasi.
Gue gak berhenti bolak-balik pergi ke rumah sakit - kantor polisi - kantor redaksi - rumah sakit hanya untuk konfirmasi soal keterlibatan gue sebagai biang kerok keramaian yang terjadi. Bang Yayan sendiri belum bisa dimintai keterangan karena keadaannya masih shock berat. Tambah kabar ini semakin meluas dengan datangnya Bang Jen ke rumah sakit, otomatis pasti anak-anak radio udah pada tahu soal ini.
Fakta ketiga. Gue baru tahu kalau Arina sore tadi sengaja dijemput Bang Yayan karena mau diajak ketemu calon mertuanya. Ya, orang tuanya Bang Yayan. Gara-gara gue, mereka belum sempat bertegur sapa dan berakhir menunggu Arina di depan ruang ICU.
Dan sekarang, gue meratapi kebodohan sesaat yang telah gue lakukan pada Arina.
Beberapa minggu terakhir, gue udah gak bisa lagi membendung perasaan yang tercipta tumbuh buat Arina. Melihat senyumannya tiap hari membuat perasaan gue semakin menghangat. Gue gak menyangka, hal aneh tak terduga yang selalu gue rasakan saat itu kian menjadi kenyataan. Gue akui, cara ia memberi perhatian seolah diberi celah untuk merasakan kenyamanan yang lebih darinya.
Makin ke sini, gue jadi orang yang besar kepala dan egois. Perasaan yang gue punya seakan sanggup diadu kompetisikan, sanggup dibandingkan dengan Bang Yayan. Gue nggak mau perasaan ini terus berlarut menggantung ada di dalam hati. Gue juga nggak mau perasaan ini terabaikan gitu aja. Karena Arina nggak tahu, kalau ada sosok lain yang bisa diberi kesempatan juga untuk layak diperjuangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] INVESTIGATE YOU - The Announcers Series ✔
Fiksi UmumPada awalnya Dewantara Wiryawan (Wawan) menganggap peserta populer di pelatihan jurnalistik bernama Nimas Gheafinka (Nimas) itu seperti biasa saja layaknya perempuan lain pada umumnya. Namun saat didapati informasi secara dasar melalui teman-temanny...