Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Mino memandangi foto yang ia simpan di laci nakas kamarnya. Foto itu sudah lama ada di sana, hanya ia lupa kapan terakhir kali ia memandangi sosok di dalam foto itu. Di hari itu ia masih berbeda, hanya ada kebahagiaan di hatinya. Tak ada masalah seolah semua akan berjalan lancar tanpa kerikil di atasnya. Tapi nyatanya semua tak berjalan semudah itu. Di saat itulah perasaan mereka diuji, dan satu-satunya jalan yang harus ditempuh hanyalah perpisahan.
Pria itu masih merasakan lukanya, apalagi ketika mengingat memori yang ada di dalam foto itu. Mereka masih sangat muda dan dimabuk cinta. Mino menarik napas panjang, bagaimana pun juga ia harus bangkit dan melupakan masa lalu. Ia tak bisa terus-terusan hidup di masa lalu dan terlihat menyedihkan seperti ini.
Sibuk berpikir, tiba-tiba seseorang masuk ke kamarnya dan melihatnya memandangi foto itu. Wajah murka itu menatap tajam ke arah Mino. Seperdetik kemudian sebuah tamparan keras melayang di pipi Mino.
"Bajingan kau!!!" maki lelaki separuh baya itu. Mino masih memegangi pipinya yang kini berbekas merah.
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk melupakannya?? APA KAU SUDAH GILA?!!!" marah lelaki yang juga adalah ayah Mino—Jiyong.
"Aku...aku..."
"APA?" Jiyong menarik baju krah baju Mino, hampir saja ia mencekiknya. Namun ketika melihat tangan Mino yang masih memegang foto itu, Jiyong memutuskan untuk melakukan hal lain. "Berikan padaku!" ia merebut foto itu dan merobeknya menjadi kecil-kecil di hadapan Mino.
"Lain kali kau harus ingat bahwa dia sudah mencampakanmu! Dan satu lagi, kau juga harus ingat bahwa kau sudah memiliki Jisoo!" tutup Jiyong yang kemudian keluar dari kamar Mino.
Beruntung ini sudah larut malam sehingga Kiko tidak tahu pertengkatan ini karna sudah tidur satu jam yang lalu.
***
Jackson masih memandangi Sana. Hari ini ia menyempatkan untuk mengajak tunangannya itu sarapan bersama. Meski semalam mereka sudah dinner berdua, tapi nampaknya Jackson belum merasa puas. Sang tunangan masih memangku tangan, sedari tadi ia hanya menundukkan wajahnya seolah ia takut menatap Jackson.
"Makanlah, aku tidak mau kau sakit."
Gadis di depannya tak menjawab.
"makanannya mulai dingin, sampai kapan kau mau menundukkan wajahmu seperti itu?" tanya Jackson. Sana kini menatap ke arahnya dengan mata nanar. Gadis itu tak lelah membuat Jackson merasa bersalah setiap hari.
"Apa aku harus menyuapimu?" Jackson kemudian mengambil sendok dan berniat untuk menyuapkannya pada Sana. Tepat saat sendok itu berada di depan mulut Sana, gadis itu mulai membuka suara.
"Apa yang kaulakukan?"
"Menyuapimu, apa lagi?" Pria itu masih menyodorkan sendok berisi sesuap makanan.
"Apa kau tak lelah menghadapiku? Sampai kapan kau mau seperti ini?" tanya Sana.
Jackson bergeming, "ayolah, tanganku mulai pegal." Ia mencoba tersenyum, sendok itu masih mengarah di mulut Sana.
"Hentikan!" Sana melengos, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak bisa menghadapi Jackson seperti ini. Pria itu tak bisa berhenti bersikap baik pada Sana. Meski Sana selalu dingin padanya, ia tetap menjadi Jackson yang memperhatikan Sana.
"Kumohon kali ini, tataplah aku," bisik Jackson. Tangannya mulai meletakkan sendok itu di piring Sana. Wajahnya muram, untuk sepintas ia merasa bahwa apa yang ia lakukan hanya sia-sia. Namun, lagi-lagi ia teringat Jisoo. Jackson tak ingin kalah dari sahabatnya itu. Jisoo memperjuangkan Mino dengan sungguh-sungguh, jadi dirinya juga harus memperjuangkan Sana. Karna jika tidak, bukan hanya hati Jisoo yang tersakiti melainkan juga hatinya.
"Kau mungkin membenciku, dan tak menginginkanku. Tapi, kau harus selalu ingat bahwa apa yang kurasakan tak akan pernah berubah. Sampai kapan pun kau tetap milikku, aku janji," ucap Jackson. Gadis itu masih tak mau menatap wajahnya.
"Aku yakin suatu hari nanti kau hanya ingin menatapku, menatap wajahku, hanya aku!" tekan Jackson.
***
Jisoo berada di kelas memasak. Akhir-akhir ini ia memutuskan untuk mulai belajar memasak, bagaimana pun juga ia pasti akan menjadi seorang istri.
Hari ini, ia ditugaskan oleh guru memasaknya untuk membuat onigiri. Tak seperti kelihatannya, ternyata membuatnya cukup sulit. Ia harus memastikan tingkat kematangan nasi yang pas, ia juga tak boleh menambahkan air terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Ada takaran tersendiri agar nasi yang dimasaknya bisa menempel menjadi bentuk yang sempurna.
Sedang asyik membentuk nasi, Jisoo tak sengaja mendengar percakapan teman kursusnya.
"Pacarmu perhatian sekali, dia bahkan memberikanmu ucapan 'selamat pagi' setiap hari. Kurasa kau benar-benar beruntung."
"Aku juga merasa begitu, padahal aku tak memintanya. Dia selalu melakukan itu sejak kencan pertama kami."
"Wahhh...kalian sangat manis. Kau tahu, itu disebut 'bahasa cinta'"
"Benarkah??? Pasti dia sangat mencintaiku."
Kedua gadis itu tertawa senang. Di sisi lain, Jisoo mulai terdiam. Ia kemudian mencuci tangannya dan mulai mengecek ponsel yang ada di dalam tas.
Gadis itu nampak kecewa. Tak ada satu pun pesan masuk di sana. Layar itu hanya menunjukkan wallpaper dan jam yang sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Aku tak pernah mendapatkan 'bahasa cinta' itu. Batin Jisoo. Gadis itu kembali melirik ke atas meja prakteknya. Beberapa bulatan onigiri ada di sana dan ia belum menyelesaikan tugas yang diberikan.
Entah mengapa aku jadi tak bersemangat.
Ia melirik ke luar jendela. Hujan rintik mulai turun, seolah langit merasakan kesedihannya.