Kringgg... Kringgg...
Mino meloncat dari ranjangnya ketika jam wekernya berbunyi sangat keras. Pria itu terkejut, dan bertanya-tanya siapakah orang iseng yang menaruh jam weker itu di atas bantalnya.
"Hahahaha." Suara tawa puas Taehyun terdengar dari balik pintu. Pemuda itu masuk sembari mengejek Mino, sang kakak.
"Aish...." Mino melemparkan bantalnya ke arah Taehyun. Namun, dengan ketangkasan petinju muda itu mampu menangkapnya dengan mudah.
"Eits... Tidak kena," ejeknya sembari menjulurkan lidah.
"Apa yang kaulakukan di sini, bukankah hari ini kau ada turnamen?" tanya Mino sesaat setelah ia melirik kalender yang ia letakkan di atas nakas.
Taehyun duduk, menjatuhkan diri di kasur Mino. "Dua jam lagi aku berangkat," jawabnya.
Mino bangkit dari duduknya dan berjalan pelan menuju kamar mandi, ia tinggalkan adik yang menyebalkan itu bermain di kamarnya. Taehyun mungkin lupa bahwa usianya sudah menginjak angka 26 tahun, sikapnya tak berubah sama persis layaknya 15 tahun yang lalu.
"Hyung, Jisoo menelponmu!" pekiknya hingga membuat Mino berlari tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi. Bahkan pemuda itu belum menyelesaikan acara kencing dan ritual paginya. Gulungan tisu toilet bahkan masih ada di genggamannya. Tanpa peduli dengan Taehyun yang mungkin akan mengejek, Mino segara meraih benda tipis yang ia letakkan di atas nakas. Matanya membulat, ia melirik ke arah Taehyun dengan tatapan tajam.
"Aku bohong." Taehyun tertawa keras, kemudian berlari keluar dari kamar Mino.
Mino menghembuskan napas berat. Ia memasukkan benda tipis itu di salah satu kantong piyamanya. Kemudian ia memutuskan untuk membawa ponselnya ke kamar mandi. Siapa tahu Jisoo akan menelponnya sungguhan, sama seperti kebiasaan gadis itu di pagi hari.
***
Jam-jam sibuk kembali Mino lewati. Pria itu bahkan tak sempat menengok ponselnya. Benda itu bahkan tertinggal di kantornya. Sepulang dari pertemuan dengan klien, Mino memutuskan untuk kembali ke kantor. Meski hari sudah gelap, ia tetap ke sana demi mengambil ponselnya.
"Ini dia," gumamnya sembari meraih benda yang teronggok di atas meja kerjanya. Pemuda itu menautkan alisnya setelah melihat isi ponselnya. Memang ada beberapa pesan masuk, tapi tak satu pun ia dapat dari Jisoo. Seperti kemarin, ia merasa benar-benar kesal. Entah apa yang terjadi pada dadanya, Mino hanya merasakan sesak. Ia merindukan celotehan Kim Jisoo, dan gadis itu tak pernah mendiamkannya selama ini. Ia duduk dengan lemas, bersandar pada kursi kerjanya. Ia putar kursinya agar menghadap ke jendela. Dilihatnya pemandangan malam kota Seoul dari sana. Lampu-lampu kota berkelap-kelip, mengingatkannya pada sosok Kim Jisoo. Bagaimana bisa? Gadisnya memiliki mata yang indah, yang akan selalu berbinar ketika memandang wajah Mino. Secinta itukah seorang Kim Jisoo? Lalu, mengapa ia mendiamkan Mino sekarang?
Mino mulai resah, bahkan setiap detik ia selalu menengok ponselnya. Benar-benar bukan kebiasaannya. Ia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan mengeluari ruangan. Raut wajah ia tekuk sejadinya, bahkan di sepanjang jalan ia tak bisa tersenyum sedikit pun. Ia menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Orang-orang yang ada di seberang jalan segera berjalan selagi lampu masih merah. Dari beberapa orang itu, Mino menangkap sosok yang sejak kemarin mengganggu pikirannya.
Benar, Jisoo.
Pemuda tan itu membulatkan matanya. Ia hanya dapat diam menyaksikan tunangannya berjalan dengan seorang pria. Pria itu tak lain adalah Jackson, tunangan Sana. Sepasang mata mereka bertemu, Jackson mungkin merasa beruntung ketika melihat mobil Mino berhenti di sana. Pria itu menyeringai, melirik dengan tatapan mengejek pada Mino.
Pimppphhhh!!!!! Mino menekan panjang klakson mobilnya, hingga membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Begitupun Jisoo yang kini melihat Mino duduk di dalam mobilnya dengan wajah marah. Namun mereka tak berpikir untuk menghampiri Mino, mereka terus berjalan bahkan jalannya semakin cepat.
Ketika lampu berwarna hijau, Mino segera menjalankan mobilnya untuk mengejar Jisoo dan Jackson. Tak peduli meski ia menerobos jalanan satu arah, seolah ia sedang menantang maut.
"Hei... Apa kau buta? Ini jalanan satu arah!" maki pengendara lain, tapi Mino tetap maju dan tak menghiraukannya.
Ia meminggirkan mobilnya, membelokkannya sampai naik ke trotoar hingga berhenti tepat di depan Jisoo dan Jackson. Pria itu keluar dengan perasaan yang meledak-ledak.
"Ayo pulang!" Tangannya menarik tangan Jisoo dengan kasar membuat gadis itu mengaduh karna genggaman yang begitu erat.
"Lepaskan! Sakit!" ronta Jisoo. Namun, Mino masih nekat menariknya.
"Apa kau tuli?" sungut Jackson. Mino menghentikan hal itu dan menatap tajam ke arah Jackson.
"Kurang ajar sekali kau! Mengajak tunangan orang jalan-jalan berdua saja. Apa kau sudah gila?" marah Mino. Jackson tersenyum sinis.
"Apa kau tidak tahu siapa aku ini?" tanyanya. Mino memiringkan kepala, pegangannya merenggang membuat Jisoo bisa dengan mudah mengibaskan tangan Mino.
"Jackson adalah sahabatku sejak kecil, kau puas?!" tekan Jisoo. Mino hanya dapat terdiam. Tak pernah sekalipun ia bersikap bodoh di hadapan Jisoo. Ya, baru kali ini ia melakukannya.
Dua orang itu pergi begitu saja meninggalkan Mino yang tenggelam oleh perasaan bersalah.
***
TBC
Agak ngarettttttt😩
Btw, vote dan commentnya ditunggu ya juseyo💕Publish, 1 Oktober 2020
©rugseyo
KAMU SEDANG MEMBACA
Hectic [END]
RomanceBagaimana caranya menjadi prioritas? Jisoo - Mino rugseyo ©2020