10. Bow Wow!

564 98 7
                                    

"Kenapa ibu tidak kembali?" Mino mulai resah memandangi arloji yang melingkar di tangannya.

"Oppa... Ternyata mama sudah pulang," ucap Jisoo. Baru saja ia mengecek ponselnya, dan di sana terdapat beberapa pesan masuk dari Sandara.

Sayang, mama pulang bersama mama mertuamu. Kami ada urusan. Oh ya, sampaikan pada Mino. tenang saja! Mama pasti akan mengantarkan besan sampai rumah dengan selamat.

"Sudah dikirim 30 menit yang lalu," lanjut Jisoo.

"30 menit, mengapa kau sampai tidak tahu kalau ada pesan masuk?" tanya Mino. Gadis di sampingnya melirik sebal.

"Aku sengaja mematikan notifikasi, dan berharap saat mengeceknya ada salah satu pesan darimu. Tapi, kenyataannya tidak ada sampai sekarang."

Oh... Tidak. Bahaya jika Jisoo marah lagi padanya sekarang.

"Kau 'kan sudah tahu kalau aku sangat sibuk," jawab Mino. Lagi-lagi pria itu tak bisa sedikit saja memberikan alasan manis agar Jisoo tidak marah.

"Kau memang selalu menomor duakan aku. Kalau pekerjaanmu adalah yang terpenting, maka menikah saja dengan pekerjaanmu! Jangan denganku!" Jisoo mulai ketus. Padahal baru setengah jam mereka berbaikan.

"Jisoo, kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Apa kau masih tidak mengerti?" Nada bicara Mino mulai meninggi. Hal ini menyebabkan Jisoo kembali murung. Gadis itu masih dalam proses untuk mengembalikan mood baiknya, jadi Mino tak seharusnya bersikap begini.

Gadis itu berdiri dan meraih tas kecilnya dengan kasar. "Kau memang tak pernah mempedulikanku!" marahnya yang kemudian berjalan menuju pintu keluar. Namun, aksi itu harus terhenti. Dengan sigap, Mino meraih tangan Jisoo hingga membuatnya menghentikan langkah dan menoleh.

"Lepaskan!"

"Ayo kuantar pulang," ucap Mino.

Jisoo berusaha melepaskan gandengan Mino. "Tidak mau, aku bisa naik taksi."

"Kim Jisoo, ayolah! Kita bahkan baru saja berbaikan," lenguh Mino frustasi. Namun, Jisoo seolah tak peduli.

"Lepaskan! Sakit!"

Padahal Mino tak menggenggamnya terlalu kuat. Mau tak mau ia harus melepaskannya dan membiarkan Jisoo pergi dari hadapannya.

Tak ingin menyerah, Mino masih mengikuti Jisoo dari belakang.

"Kau tak bisa pulang sendiri, aku harus mengantarmu pulang!"

Jisoo menghentikan langkahnya, ia melirik sebal ke arah sang tunangan. "Kenapa harus? Aku tahu kau hanya takut jika sampai dihajar oleh mama Kiko."

Mino mendengus kesal. Tanpa aba-aba, ia langsung saja mengangkat tubuh Jisoo dan menggendongnya di depan.

"KYA!!! Apa yang kaulakukan?" Jisoo meronta, namun Mino bisa mengatasinya.

"Pokoknya aku akan mengantarmu. Titik! Tidak ada penolakan."

Mino membawa Jisoo ke mobilnya. Gadis itu masih cemberut sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Cepat pakai sabuk pengamannya," pinta Mino yang sama sekali tak dihiraukan oleh Jisoo. Akhirnya Mino sendiri yang memasangkan sabuk pengaman itu di tubuh Jisoo.

"Bagus," ucapnya yang kemudian beralih ke setir mobil.

Selama lebih dari 15 menit, Mino hanya berputar-putar di sekitar kawasan kota Seoul. Jisoo yang merasa gusar pun akhirnya menegur. "Apa maksud oppa? Mengapa kau tak segera mengantarkanku pulang?"

"Aku belum akan mengantarmu pulang kalau kau masih marah padaku," jawab Mino sambil masih fokus mengemudi.

"Kenapa oppa sangat menyebalkan?" Nada bicara Jisoo mulai meninggi. Sadar dengan situasi yang mungkin akan menimbulkan perdebatan, Mino akhirnya menepi. Mereka berhenti di depan sebuah mini market.

"Kenapa berhenti di sini? Aku tidak mau belanja," protes Jisoo.

Mino mengembuskan napas pelan, ia menoleh ke arah Jisoo dengan tatapan serius. "Kau boleh marah-marah sesukamu. Tumpahkan saja sekarang! Kalau marahmu sudah habis, aku baru akan mengantarmu pulang," ucap Mino.

Jisoo bersidekap dan menatap ke luar jendela. Hatinya begitu dongkol entah mengapa. Harusnya mereka sudah berbaikan, namun gara-gara membahas soal prioritas, Jisoo malah kembali marah.

"Kim Jisoo," panggil Mino. Jisoo tak menghiraukannya, hingga sebuah tangan tiba-tiba menggenggam tangannya. Jisoo melirik si pemilik tangan. Perlahan tangan Jisoo diangat, dibawa menuju bibir tipis pria di sampingnya.

Chup.... Mino mengecup tangan Jisoo.

"Kumohon jangan marah lagi," pinta Mino. Jisoo melengos karna masih kesal.

Tangan Mino meraih pipi Jisoo dan membuat wajah Jisoo menoleh ke arahnya. Tanpa diperkirakan, pria itu mengecup bibir Jisoo sekilas.

Chup....

Rona merah menguasai wajah Jisoo. Jantungnya berdebaran, dan tubuhnya mulai memanas. Inilah kali pertama Mino mencium bibirnya. Rasanya Jisoo ingin meledak dalam kegembiraan. Ia tak pernah berpikir bahwa ini adalah kebutuhan. Tapi, merasakan kecupan singkat itu membuat Jisoo begitu bahagia.

Hal itu seolah meruntuhkan keposesifan Jisoo selama ini. Menghancurkan semua rasa khawatir yang selalu mengitari otak Jisoo. Entah mengapa tiba-tiba Jisoo merasa yakin bahwa Mino juga mencintainya.

"Maafkan aku, Kim Jisoo. Aku janji akan lebih memikirkanmu," ucap Mino. Di matanya terpancar keseriusan. Dan lagi, Jisoo memang lemah. Ia tak akan benar-benar bisa marah pada tunangannya.

"Aku ingin mendengarkan perkataan itu sejak dulu, dan sekarang aku merasa sangat bahagia." Jisoo melepas sabuk pengamannya dan memeluk tubuh Mino dengan erat.

"Baiklah, cukup. Kembali ke tempat dudukmu dan pakai sabuk pengaman, aku akan mengantarmu pulang sekarang."

Jisoo kembali duduk dan menatap Mino dengan kesal. "Aku tidak mau pulang!"

"Ke-kenapa? Bukankah tadi kau meminta untuk segara diantar pulang?" tanya Mino heran.

"Aku mau tidur dengan oppa."

Mino terperanjat, ia membulatkan mata. "Ta-tapi itu.... Ahhh, masa bodoh."

***

Sana menatap sebuah bouquet bunga yang ada di atas meja riasnya. Ia mengecek sebuah surat yang ditaruh di dalamnya. Surat itu berisikan sebuah puisi cinta.

"Jackson, kapan kau akan menyerah?" lenguhnya.

***

TBC

Votements pls

Publish, 1 November 2020
©rugseyo

Hectic [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang