Pria berkulit tan itu berhenti menggerutu ketika mendapati sang ibu sudah berdiri menghadang jalannya.
"I-Ibu, aku tidak-"
"Sstt... Sebagai laki-laki kau terhitung lambat. Ayo, cepat!" Kiko menarik lengan sang putra agar berjalan mengikuti.
"Tu-tunggu, bu. Apa ibu bersama teman-teman arisanmu?" tanya Mino.
"Memangnya kenapa?" Kiko melirik tajam. Mino menelan salivanya. Baiklah, ia sebaiknya diam sekarang agar sang ibu tak mematahkan kakinya. Hanya saja, ia kesal dengan teman-teman sang ibu. Ingat ketika ia dikerumuni oleh wanita-wanita itu dan mencubiti pipinya. Membayangkannya saja sudah membuat Mino bergidik.
"Tidak apa-apa," jawabnya dengan perasaan terpaksa. Mau tak mau ia harus menuruti ibunya.
"Tunggu dulu, bukankah ini pakaian yang kau pakai bekerja tadi pagi?" tanya Kiko. Mino memperhatikan penampilannya, sang ibu memang pengingat yang baik. Ia mengangguk, menimbulkan respon kurang menyenangkan dari Kiko.
"Kau tidak mandi dulu?" tanyanya lagi pada sang putra. Mino menggeleng sambil terkekeh.
"Aish... Apa kau sudah gila? Mentang-mentang kau tetap tampan walaupun tidak mandi, tapi bukan berarti kau boleh datang dengan badan bau ke restaurant ini," omel Kiko.
"Ma-maaf, bu." Mino menunduk dan hanya mengikuti langkah sang ibu.
"Jangan ulangi lagi!" pinta Kiko yang kini berhenti di depan pintu. Mereka sampai di sebuah ruangan VIP. Mino terkejut ketika mendapati 2 orang yang sudah duduk di sana.
"Ya ampun, calon menantuku sangat tampan malam ini," sapa Sandara dengan wajah cerianya. Sedangkan anak gadisnya hanya bersikap seolah ia tak peduli.
"Ah... Ibu mertua bisa saja," jawab Mino malu-malu. Ia kemudian duduk, tepat di hadapan Jisoo.
Gadis itu hanya menunduk dari tadi, seolah ia tak mau melakukan eye contact dengan Mino.
Pasti masih marah, gumam Mino dalam hati.
Di atas meja sudah ada berbagai makanan tersaji. Kiko dan Sandara menyantap makanan itu dengan lahap, berbeda dengan Mino dan Jisoo yang hanya membolak-balikkan daging steak di piring mereka.
"Ayo, dimakan. Kalian harus makan yang banyak," pinta Sandara. Mino mulai menyuapkan potongan steak itu ke mulutnya, bersamaan dengan Jisoo. Menyadari pergerakan yang seirama, mereka kemudian berhenti dan saling menatap.
Gadis itu melengos, menghindari kontak mata dengan sang tunangan. Suasanya menjadi begitu gugup saat ini. Lain dengan Sandara yang begitu sibuk dengan makanan di depannya.
Sebenarnya Jisoo pun sama, ia tak akan tahan jika ada makanan di depannya layaknya sang ibu. Tapi mood-nya kali ini sedang berantakan.
Kiko menyenggol kaki Sandara untuk memberikan kode bahwa kini saatnya mereka pergi dan membiarkan Mino dan Jisoo berdua saja.
Sandara mengangguk paham dengan kode Kiko. Ia beranjak dari duduknya, "Oh ya, kalian tunggu di sini sebentar, ya! Para Mama akan menemui pemilik restaurant untuk membicarakan soal catering di acara pernikahan kalian nanti," ucap Dara.
"Jangan pulang duluan, ya!" tambah Kiko. Mino dan Jisoo mengangguk bersamaan. Mereka membiarkan orangtua mereka berlalu dari sana.
Untuk beberapa menit keadaan begitu hening. Tak ada sepatah pun kata terucap dari bibir dua sejoli itu. Hingga mereka memutuskan untuk berbicara dan lagi-lagi mereka bersuara secara bersamaan.
"Anu..." Dua pasang mata itu bertemu.
"Aku ingin bicara...." Lagi-lagi mereka berucap bersamaan.
"Kau dulu..." Sekali lagi, kata yang keluar dari bibir mereka pun sama.
Mino menghembuskan napas berat, sedangkan Jisoo menampakkan ekspresi canggungnya.
"Aku minta maaf," ucap Mino. Kali ini Jisoo membiarkan pria itu bersuara lebih dulu.
Ia mengangguk, namun masih dengan wajah canggung.
"Aku tahu aku salah," ucap Mino lagi. Kali ini Jisoo menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu memang cengeng. Bahkan dengan hanya mendengarkan pengakuan Mino saja, ia sudah merasa tersentuh.
"Itu semua salah paham. Aku dan Sana-"
"Aku tidak mau mendengar nama itu," potong Jisoo. Suaranya bergetar, begitu pula bibirnya. Entah mengapa hanya dengan mendengar nama Sana saja sudah sangat menyayat hatinya.
"Baiklah. Aku tak akan menyebutnya lagi di depanmu. Sekarang, soal Jackson-"
"Itu sudah selesai." Sekali lagi Jisoo memotong, "Kau sudah tahu bahkan dari mulut Jackson sendiri. Kalau kau masih tak percaya, kau bisa menanyakannya pada mama atau papaku. Aku tidak berbohong, Jackson tidak berbohong. Kami memang sudah berteman sejak kecil. Lagi pula, mana mungkin kau merasa cemburu sepertiku?" Air mata mulai menetes. Dengan cepat, Jisoo menyekanya.
"Baiklah, kurasa ini cukup." Mino meraih tangan Jisoo dan menggenggamnya, "Mulai sekarang, ayo berjanji! Kita akan selalu saling percaya, dan menjaga kepercayaan ini."
Jisoo mengerucutkan bibir. Ia tak bisa menahan lagi, air matanya tumpah membasahi pipi. Ia menangis tersedu. "Hiks... Aku senang sekali, hiks... Apa oppa juga menyayangiku?" tanyanya di sela tangis.
Mino menyeka air mata Jisoo. "Tentu saja, mengapa kau masih menanyakan itu?"
"Kau tidak pernah mengatakannya. Mana aku tahu, hiks...."
Mino berpindah duduk di samping Jisoo, ia memeluk tubuh sang tunangan dan mengelus rambutnya. "Sudah, jangan menangis lagi. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku rindu mendengarkan celotehan Kim Jisoo, aku juga rindu mendengar tawamu yang keras itu," ucap Mino.
Sementara di balik ruangan, Sandara dan Kiko rupanya sedang mengawasi mereka.
"Sepertinya kita berhasil," ucap Kiko.
"Baguslah," jawab Sandara.
♡♡♡
TBC
Votements juseyooo♥
Publish, 25 Oktober 2020
©rugseyo
KAMU SEDANG MEMBACA
Hectic [END]
RomanceBagaimana caranya menjadi prioritas? Jisoo - Mino rugseyo ©2020