Bab 1. Ayu Ratnasari

4.4K 98 0
                                    

Ruang kecil bernamakan kamar, tanpa hiasan dinding yang menempel mempercantik. Semua penjuru dihiasi setumpukan baju yang belum dicuci dan belum dirapikan ke dalam lemari. Ranjang dengan tiga kaki sebagai penyangga, bukan terbuat dari besi kokoh, tapi hanya sebuah bongkahan kayu sederhana yang dapat menahan tubuh gadis mungil di atasnya. Suara musik dari ponsel tertahan, masuk melalui kabel penghubung menyumpal telinga dalam-dalam.

Namanya Ayu Ratnasari, gadis yang sudah diteriaki puluhan kali oleh ibunya. Masih bergelung manja dalam selimut tipis beraroma menyengat apek. Semua penghuni rumah berjumlah tiga orang tak heran, melihat sosok Ayu siang bolong masih terlelap dengan wajah kusam, bibir menganga, bahkan sering sekali ilernya itu ke luar. Membentuk kepulauan seribu di atas bantal. Namun, kebiasaan itu hanya dapat dirasakan hari minggu saja. Karena hari biasanya harus sekolah, dengan pelajaran yang teramat membosankan.

Tak jarang pula, hari libur panjang dinikmati dengan tidur dan tidur. Rambut ikal tergelung asal, kini ikatannya sudah hilang entah ke mana. Pintu kamarnya kembali dibuka kasar, sosok kakak perempuan satu-satunya berkacak pinggang. Bibirnya sudah basah memaki adik tak tahu diri itu untuk cepat bangun. Ia segera menghampiri, menarik jijik selimut yang membelit tubuh Ayu.

"Bangun, kebo!" teriak Ningsih, wajahnya yang terpoles bedak tebal dan lipstik merah merona terasa akan retak akibat meluapkan emosi di siang hari.

Ayu mengerang panjang, menarik kedua tangannya ke atas, lalu mengernyit tak salah lagi kakaknya yang berteriak tidak sopan. Sudah tahu hari minggu, untuk apa dia dibangunkan? Membersihkan rumah? Ibunya sudah mengerjakan semua! Jadi, Ayu memilih berbalik badan memunggungi kakaknya yang cerewet itu.

"Astagfirullah, Ayu! Lu denger kagak dari tadi emak suruh bangun. Jam berapa noh, liat!"

"Yang penting udah solat subuh! Berisik amat, sih," gerutu Ayu, lalu melepas benda yang menyumpal di kedua telinganya.

"Awas aja lu kalo kagak bangun, siram aer tau rasa!" Ningsih ke luar, membanting pintu kamar Ayu dengan kasar.

Terdengar ucapan salam menjadi akhir dari ocehan maut kakaknya. Ayu beranjak dari tempat tidur, tidak ada niatan pun untuk membereskan seprai yang tergulung, bantal terdampar di teras. Sampai tumpukan buku sekolah yang terbengkalai. Dipastikan sudah berdebu, mengingat Ayu sangat malas mengerjakan semua tugas itu. Apalagi jurusan yang dibawa adalah bukan keinginannya. Akuntansi! Ah, rasanya setiap hari belajar matematika.

Setelah menatap sekilas berantakannya kamar paling favorit didiami, Ayu ke luar mendapati ruang tengah kosong melompong. Tentu saja, makhluk bernyawa terakhir sudah ke luar dari rumah karena ibu dan bapaknya pergi ke sawah. Menggarap apa yang harus digarap, menanam apa pun demi mengganjal perut lapar. Rumah berisikan dua kamar, dengan kamar mandi di luar membuat Ayu sadar, dia bukan orang mapan seperti kebanyakan teman di sekolahnya. Serba kekurangan, makan seadanya.

Dibukanya penutup makan di atas meja, hanya goreng tempe dan ikan asin terakhir nasi sisa Ningsih di atas piring. Jadi, dia harus makan sisa kakaknya? Tentu saja, tidak mungkin dia merengek ingin daging goreng. Mustahil! Kecuali di saat Ningsih baru mendapat gaji, dia dengan senang membeli satu kilo telur dan menyisakan uangnya untuk membeli dua potong paha ayam, berharap keluarga kecilnya senang.

"Ning, Ningsih!"

Teriakan di luar rumah membuat Ayu malas meladeninya, dia terpaksa berjalan menuju pintu depan. Warnanya sudah tidak jelas lagi, entah cokelat tua atau cokelat buluk karena kotornya tangan-tangan penghuni rumah menarik pintu. Ayu mendapati sosok tetangga dekat, namanya Yuni. "Napa, Bi?"

"Ningsih, ada gak?"

Ayu menggeleng lemah. "Barusan berangkat kerja."

Yuni mengembuskan napasnya kasar. "Ya udah tolong bilangin, tukang fotonya gak mau dibayar murah! Soalnya gua gak punya kuota."

"Tukang foto buat apaan?" tanya Ayu penasaran.

"Lah, lu ke mana aja? Ningsih 'kan mau kawin bulan depan!"

Ah, ya bukannya Ayu selalu mengurung diri di kamar? Sampai acara pernikahan kakaknya sendiri juga tidak tahu? Ayu pun mengiyakan, lalu kembali masuk ke  rumah menyambar ponsel yang sudah lemah dan rusak parah. Layarnya habis terbanting kala tabrakan siap berangkat sekolah. Suara seseorang yang sedang ditelepon pastinya tidak terdengar. Namun, Ayu tidak bisa meminta kepada ibu atau bapaknya dibelikan yang baru. Biasa, uang makan lebih penting dibanding membelikan Ayu ponsel baru.

Enggan menghabiskan kuota cuma-cuma, Ayu hanya mengirimkan pesan yang Yuni katakan tadi. Selanjutnya dia pergi ke kamar mandi, biasa disebut orang sana adalah jamban atau jarambah. Pembuangannya langsung mengalir ke sebuah kolam ikan milik orang lain, dikelilingi hutan dan beberapa tanaman hasil ibunya sendiri. Air di sana sangat segar, jernih membuat Ayu semakin semangat makan pagi, tapi waktu sudah menunjuk pukul satu siang.

Tayangan televisi yang dapat Ayu tonton hanya satu siaran saja. Tahulah bagaimana jaringan di sana, kecuali jika sanggup mengeluarkan uang lebih baru banyak siaran lainnya. Namun, tidak dengan keluarga Ayu, mereka hanya mampu menikmati satu siaran saja, daripada tidak ada? Suara kumandang Azan Duhur yang sudah terdengar dari tadi, tak membuatnya beranjak dari kursi reyot. Ia masih malas kembali ke dalam kamar untuk menjalankan kewajiban seorang muslim.

Sampai suara pintu rumah terdengar dibuka seseorang, Ayu nenoleh mendapati ibunya yang sudah tua. Kisaran enam puluh tahun, memberikan senyum hangat lalu bertanya, "Udah makan?"

"Udah," jawab Ayu singkat, saat ibunya kembali berjalan siap pergi menuju pintu belakang, Ayu kembali berucap, "Mbak Ningsih, mau nikah, Mak?"

Asih berbalik pelan. "Iya, kemaren ada calon suaminya ke sini, tapi kamu 'kan tidur dari sore juga."

Ayu mengiyakan ucapan ibunya itu, lalu kembali menonton tayangan sinetron di depan. Guyuran air di luar menandakan ibunya sedang mandi, sudah biasa Asih pulang dari ladang siang hari, sedangkan suaminya sampai sore. Selain kerja, dia juga terbiasa mengikuti kajian Islam di beberapa masjid. Tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk ongkos jalan. Selalu ada saja orang yang membayarnya agar ikut.

Setelah rapi dengan baju terusan panjang, Asih pun pergi dari rumah siap menunggu para jamaah lainnya di depan masjid yang tidak jauh dari rumah. Ayu menghempas tubuhnya malas, dia harus berbuat apa? Sosial media menjadi jawaban, tangannya mulai menari-nari menatap postingan canda tawa kebahagiaan temannya. Mereka sedang bermain di tempat rekreasi. Dalam hati, Ayu juga ingin ikut, tapi dia punya apa? Baju hanya beberapa kaus oblong! Apalagi uang, rasanya sangat sulit didapatkan.

Tidak lama sebuah pesan datang, dari sang mantan yang minggu lalu diputuskan. Meskipun keadaan ekonomi keluarga Ayu sangat mengkhawatirkan, tapi soal percintaan dia juga mampu dan sempat ada lelaki yang nyasar, menyukai. Namanya Yodan, entah alasan apa mengajak Ayu berpacaran waktu bulan lalu. Sayang, status mereka berakhir hanya menjalani pacaran selama satu minggu. Mengapa? Ayu paling tidak suka dengan manusia yang pendiam. Mengunci mulut dan gak asik!

"Makan tuh mulut, ketemuan cuma diem-dieman," sungut Ayu karena Yodan kembali memintanya untuk bertemu.

Mereka berdua memang satu sekolah, tapi beda jurusan. Saat Ayu memaki dan siap mem-blokir akun facebook Yodan, tiba-tiba suara ketukan pintu di belakang menyadarkan. Ia segera beranjak, menarik pintu dan didapatinya sosok lelaki yang tak pernah ditemui. Penampilannya rapi, sebuah motor matic tidak asing baginya terparkir di samping tubuh lelaki itu. Rambut licinnya tertata rapi ke belakang.

"Nyari siapa?" tanya Ayu.

Lelaki di depan yang lebih tinggi darinya tersenyum kecil. "Ini rumah, Ningsih?"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang