Bab 22. Saingan Dengan Model

443 37 3
                                    

"Kamu." Suara Amar sedikit bergetar dan berat.

Ayu menelan ludahnya cepat-cepat. "He," balasnya kebingungan.

Antara ingin marah atau meminta maaf. Ayu memilih siap berlalu saja, tapi tangan dingin itu mencekal pergelangan tangannya. Mengingat tinggi Amar jauh di atasnya, Ayu hanya mampu menatap jelas dada bidang, dibalut kemeja biru langit. Merasakan harum parfum yang selalu dipakainya menusuk masuk, ke rongga hidung. Menahan napas, mencoba menunduk dalam. Sampai elusan di kedua bahu Ayu, membuatnya tersadar.

"Kamu kenapa? Apa salah saya, Ayu?"

Ayu tetap diam, hingga Amar kembali berucap, "Ikut saya pergi, nanti motor kamu dibawa oleh teman saya."

Seperti biasa, Amar selalu memaksa minuman milik Ayu dibayarnya. Tanpa menunggu lama segera membawanya ke dalam mobil, entah akan pergi ke mana dengan kebisuan yang sangat membosankan. Sesampainya di sebuah parkiran panjang dan luas, Amar pun turun begitu pula Ayu. Kebingungan harus berkata apa dan berekspresi seperti apa. Namun, Ayu tetap mengikuti ajakan lelaki itu. Pemandangan alam subur, menghijau dipandang jelas di sekitarnya.

Menghirup udara segar dalam-dalam. Tak disadari, tangan kiri Amar sudah menggenggam jemari Ayu lembut, mengajaknya berjalan menapaki rerumputan hijau. Menemukan sebuah danau dengan air bening tenang. Semilir angin berembus kencang, menghempas beberapa helai rambut Ayu yang selalu tergerai sebahu. Amar mengajaknya duduk di salah satu kursi, tepat menatap danau dengan air tenangnya.

Tetap diam dalam kebisuan, genggamannya menjadi elusan sayang di setiap jemari Ayu. "Saya, mau jelasin apa yang membuat kamu marah dan menjauh."

Ayu berpaling, melepas genggaman Amar memilih mendekap tangannya di dada.

"Apaan, sih, siapa juga yang marah? Normal dong, gua menjauh emang kita punya hubungan apa? Gua juga sibuk kerja, bukan mau liatin lu yang kerja."

Lagi, ucapan Ayu sangat tajam mengkoyak hati Amar. Namun, Amar tidak peduli inilah yang dinamakan sebuah rintangan. Dalam menyembunyikan rasa, padahal ia tahu Ayu menyukainya juga.

"Wanita itu ...." Amar menggantung ucapannya, menatap lurus ke depan. Membuat Ayu menoleh, meminta dilanjutkan.

"Wanita apa!" ketus Ayu.

Amar menoleh, melempar senyum idamannya. "Wanita yang mungkin pernah kamu lihat, bersama saya di kantin."

Ayu terdiam, wanita cantik tepatnya. "Tunangan elu, kan? Udahlah, gua ikut bahagia, selamat, ya, semoga sampe ke pelaminan!" Ayu siap beranjak, dadanya terasa sesak mengucapkan kata tak diharapkan itu.

Amar kembali menariknya tegas. "Kamu, belum mendengar penjelasan saya! Kenapa? Kenapa kamu selalu menyimpulkan begitu saja, Ayu!" Kali ini, Amar benar-benar marah.

Tatapam mata Amar yang hitam menggelap, sedangkan Ayu berkaca-kaca mencoba menahan tangisnya. Menggigit dalam bibir bawahnya, Amar meminta maaf karena ucapannya terlalu kasar barusan. Ayu memilih diam, memalingkan pandangannya. Mengapa ia sangat lemah? Mengapa tidak menampar Amar karena sudah punya tunangan malah berduaan dengannya?

"Dia memang calon tunangan saya."

Benar, bukan? Jadi, Ayu sebaiknya menampar atau mungkin lebih enak mendorong Amar ke danau langsung sekarang. Sudah mempermainkan perasaannya dan barusan? Menjelaskan bahwa dia memiliki tunangan! Seperti Ilham dahulu. Sayangnya, Ayu tidak mendapati sebuah cincin di jemari lelaki itu. Oh, ya, bukankah masih calon tunangan? Jadi, acara tunangannya mungkin nanti. Nanti, Ayu akan mendapatkan undangannya.

"Terus, lu ngapain ngajak gua ke sini? Ngapain juga lo sok manis, ha!" maki Ayu, kini air matanya benar-benar berjatuhan.

Amar menatap Ayu terluka. "Saya tidak pernah ingin menerima dia, Ayu, jauh sebelum Tuhan mempertemukan kita."

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang