Bab 25. Melepas Pasrah Segalanya

676 25 0
                                    

Asinta datang dengan wajah menahan amarah, tadi di saat menghubungi Amar nyatanya ia langsung meluncur menuju Kota Bandung dari Jakarta. Tak mampu menunda pesan sialan yang didengarnya langsung dari Mona, sambil menangis tersedu. Secepat mungkin Asinta mendatangi terlebih dahulu Mona, lalu menanyakan keberadaan Amar kepada Tia asistennya. Setelah menebak tempat paling sering dikunjungi oleh anaknya.

Akhirnya di danau itu, ditemukan Amar dengan gadis yang tak diharapkan. Amar hanya pasrah saat ibunya menarik paksa masuk ke dalam mobilnya. meninggalkan Ayu yang kebingungan harus berbuat apa. Di belakang mereka, Mona terdiam membisu dengan tatapan kesalnya. Tadi pula Mona langsung mencari tahu siapa Ayu sebenarnya, mulai mencari cara bagaimana menyingkirkan manusia tak diharapkan mempersulit hubungannya dengan Amar.

Sampai di rumah, Asinta langsung membanting pintunya kasar. Mona sendiri memilih kembali ke hotelnya. "Kamu ini kenapa, Amar? Rela melepas pendidikan dan seseorang yang pantas untukmu, demi gadis dungu itu?"

"Dia tidak dungu, Bu," sela Amar tidak suka.

"Lalu apa? Kenapa dengan bodohnya kamu memilih dia? Siap membuang jauh cita-citamu, ha? Ke manakan semua ilmu yang kau dapat! Mau kau buang sia-sia demi mengejar gadis gembel, ha!"

Amar menggeleng tegas. "Bukan keinginan saya menjadi dokter spesialis, itu keinginan, Ibu, dari dulu."

Asinta tidak percaya akan balasan Amar anak satu-satunya. Inikah sikap anaknya yang dulu sangat penurut? Seharusnya Asinta memang tidak pernah mengijinkan Amar bertugas di desa terpencil ini, dipastikan masih zaman akan hal supranatural tentang memancing seseorang agar bisa menyukai balik si tersangka. Melumpuhkan korbannya lewat mantra aneh.

Apalagi setelah Mona membicarakan gadis tak diharapkan itu berasal dari desa pedalaman. Namun, Amar tetap kekeuh dengan pendirian gilanya memilih melepas pendidikannya. Demi gadis yang menjanjikan kemiskinan dan kesengsaraan akan datang. Asinta terus mengajak Amar lurus di jalan yang seharusnya. Menakuti masa depan buruk. Jika, tetap memilih bahkan menetap di Kota Bandung.

"Kamu harus sadar, Amar, siapa yang membesarkanmu, siapa yang mengurus biaya pendidikanmu sampai berada di titik ini? Ibu sayang sama kamu, memiliki pilihan yang tepat. Tidak ada seorang ibu yang menjerumuskan anaknya. Kamu tau itu." Asinta menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, mengingat Amar yang selalu menuruti perintahnya.

Habis menceramahi anaknya, tapi Amar tetap diam menandakan bahwa keputusannya sudah bulat. Memilih Ayu dan melepas semua pendidikan yang belum sampai tergapai.

"Baik, kamu akan keras kepala dengan kebodohan kamu, Amar? Di usiamu yang menginjak dua puluh enam?" tanya Asinta.

Amar mendongak, menatap ibunya yang masih berdiri berkacak pinggang. "Amar, akan melepas apa yang Ibu janjikan, apa yang Ibu tulis dalam surat wasiat." Gemetar ia berucap, hati kecilnya enggan berkata demikian, tapi ada Ayu yang sudah memegang janjinya akan berjuang bersama.

Sebuah pas bunga kaca dibanting asal, pecah berhamburan. Asinta benar-benar marah. "Kamu tidak akan mendapatkan apa pun dari saya, semua fasilitas akan diambil, termasuk kartu kreditmu! Dengar, Amar." Asinta mendekati anaknya, mencengkeram keras kedua bahu Amar. "Suatu saat, nanti setelah kamu berhasil dengan gadis desa itu, ingatlah! Takkan ada uluran tangan dari IBUMU INI!"

Asinta mendorong bahu Amar ke belakang, hampir terjengkang, tapi Amar berhasil menyeimbangkan berat tubuhnya. "Takkan pernah ada restu untukmu! DENGAR AMAR!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat, Amar sedikit meringis. Tak ada penyesalan sama sekali, Asinta sangat kesal akan sikap Amar. "ANAK BODOH!"

Selanjutnya pintu kembali dibanting keras, meninggalkan kesunyian yang menenggelamkan jiwa tak memiliki mimpi di esok hari. Amar pergi ke kamar mandi, mengguyur tubuh dinginnya lama. Merasakan kepala terasa berdenyut keras memaksa menelan kenyataan. Dipastikan, Kementerian Kesehatan akan datang, memerintah untuk cepat ke luar membereskan semua barang siap diisi oleh dokter lain yang layak bertugas di sana.

Menatap langit-langit kamar, esok takkan lagi berada di ruang yang sama. Memejamkan kedua mata, tapi masih terngiang jelas pendidikan yang seharusnya masih dilanjutkan penuh semangat. Amar menyambar ponselnya, menghubungi seseorang yang akan menjadi penolong baginya esok hari. Seperti biasa, panggilan diangkat oleh orang lain. Meninggalkan pesan bahwa Dokter Fadil masih bertugas menangani pasiennya.

Amar memutuskan pergi, membereskan pecahan kaca dari pas bunga yang ibunya lempar tadi. Mengingat lagi makian yang sulit dilupakan. Selesai membereskan ruangan, ketukan di balik pintu yang tak terkunci memaksa Amar untuk berjalan membuka pintu, menemukan sosok Tia dengan jaket hitamnya yang membungkus rapat, tubuh menahan dinginnya udara malam.

"Selamat malam, Dok," sapa Tia, sebuah amplop cokelat di tangannya membuat Amar penasaran.

"Malam, ada apa?"

Tia menyerahkan amplop di tangannya, Amar menerima penuh tanya. "Barusan ada kiriman."

Tidak salah lagi, isinya pasti penarikan tugasnya di sana. Amar tersenyum kaku lalu memutuskan kembali masuk, mengurung diri di kamarnya. Menatap nanar surat yang dikirim langsung atas keinginan ibunya. Asinta benar-benar sudah mencabut semua fasilitas yang diberikan, termasuk pendidikan dan sekarang di saat kakinya siap melangkah ke titik akhir menggapai mimpi, tak ada satu pun kesempatan baginya.

Dari dulu, sifat Asinta memang selalu cepat dalam sebuah keputusan. Belajar dari kebodohan saat suaminya berkhianat. Tanpa berpikir panjang, terasa baru beberapa jam meninggalkan Amar, sekarang mimpinya memang harus lenyap. Nyatanya Amar memang tak pernah ingin menjadi dokter kandungan, tapi bayangkan saja setelah pengorbanannya menimba ilmu. Begitu saja ibunya menghempas jauh semua impian itu? Baiklah, memang harus seperti ini jalannya.

Amar bangkit, mengeluarkan semua bajunya dari lemari lalu memasukkannya ke dalam koper. Ia harus pergi, tidak lama suara ponselnya berdering nyaring. "Assalamualaikum, Dok?"

"Waalaikumsalam, apa kabar kamu, Amar? Lama tidak berjumpa dengan saya." Sebuah sambutan yang menenangkan, Amar semakin percaya Dokter Fadil adalah orang yang akan menolongnya.

"Saya ingin meminta bantuan soal pekerjaan, Dok, apakah besok masih sibuk?"

Suara tawa renyah terdengar di ujung sana. "Amar ... untukmu, saya pastikan selalu ada waktu. Ada apa? Bukannya kau masih Internship di Kotaku?"

"Saya, tidak bisa melanjutkan Internship, Dok," balas Amar, matanya mulai berkaca-kaca.

Selanjutnya, Amar menjelaskan masalahnya panjang lebar. Dokter Fadil mengerti akan keputusan yang diambil, dari dulu junior-nya itu memang sering tidak fokus saat masa koas di rumah sakitnya, tapi tetap bisa diandalkan. Dulu, katanya Amar ingin masuk fakultas hukum, tapi karena ibunya yang memaksa harus masuk fakultas kedokteran, terpaksa Amar menuruti. Walaupun nyatanya, ia tidak pernah semangat dalam belajar.

Setelah Dokter Fadil menyetujui keinginan Amar, bertugas menjadi apa pun di sebuah rumah sakit milik keluarganya, juga meminta waktu sebelum mendapatkan rumah di sana Amar langsung berterima kasih. Persiapan selanjutnya, ia akan membeli tanah kosong siap membangun rumah tak jauh di sana. Dipastikan menghabiskan kocek besar, soalnya mengingat tanah di sana sangat mahal. Namun, ia tidak peduli asalkan memiliki tempat sendiri untuk ditinggali. Nanti, bersama Ayu juga.

Sayangnya, Amar belum bisa menceritakan kenyataan bahwa dirinya sekarang akan ke luar dari rumah dinas kepada Ayu. Ia akan menjauh terlebih dahulu, mencari peruntungan bersama Dokter Fadil, tapi rasanya sangat membingungkan. Takutnya Ayu menyimpulkan Amar kembali ke Jakarta, bagaimana? Amar menjauhkan ketakutan tersebut, ia yakin seseorang yang benar-benar mencintai akan bertahan atau memperjuangkan.

Untuk mengakhiri percakapan di antara mereka, Amar menelepon Ayu. Panggilan kedua barulah Ayu menjawab, "Hallo?"

Amar tersenyum kecil. "Selamat malam, Ayu."

"Malam." Ayu menjawab singkat, ia bingung harus bertanya apa.

"Kamu pulang naik taksi?"

Lama, balasan dari seberang sana. "Ayu?" tanya Amar memastikan gadisnya itu masih mendengar suaranya.

"Ha? Apa?"

Amar mengulang, "Kamu pulang naik taksi?"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang