Bab 15. Gara-gara AC

525 23 2
                                    

Setelah pertemuan terakhir saat motor Ayu dirombak habis oleh Wira. Sialnya lagi semua biaya ditanggung oleh Amar, rasanya Ayu serba salah ingin menolak, tapi ia juga tidak memiliki uang tagihan yang sangat besar. Terpaksa ia berterima kasih kepada lelaki itu. Wajahnya pula selalu diusahakan agar tetap diam, tidak memberikan tanda bahwa ia sangat beruntung mengenal Amar. Selanjutnya urusan sekolah, ujian harian hingga datang pula ujian nasional membuat Ayu ketar-ketir mencari materi.

Karena akan muncul nanti, semuanya dipastikan soal dari pelajaran yang sangat membingungkan. Ruangan dengan AC menyala sudah menentramkan sebagian peserta, kecuali Ayu. Ia mulai pusing harus menjawab pertanyaan nanti, mengingat materi yang didapatinya juga asal. Setelah diawali guru pengawas dari sekolah lain, menjelaskan peraturan saat UN barulah semua siswa dipersilakan login ke akunnya sendiri.

Ayu mulai memasukkan kata sandi miliknya, sebelah kanan dan kiri bukan lagi Bayu dan Intan. Menandakan tak ada lagi cara untuk mencari jawaban gampang. Beberapa siswa pula memilih memakai kacamata anti radiasi, lagi kecuali Ayu yang tidak peduli. Ruangan terasa sunyi dan tentram. Hanya suara AC terhempas, semprotan pewangi ruangan menyegarkan. Namun, bagi Ayu membuatnya siap mabuk karena tidak biasa. Apalagi ia yang tepat di bawah AC duduknya.

"Anjir, bisa-bisa gua masuk angin," batin Ayu sambil mengembuskan napas panjang.

Di samping kanan, sosok lelaki dengan wajah rupawan yang sama sekali tak Ayu kenali. Masih fokus membaca soal, jelas layar komputer memantulkan beberapa soal hitungan. Tangan kanannya segera menyambar pensil, lalu mulai menghitung agar menghasilkan jawaban benar. Ayu meringis, mengapa ia tidak bisa seperti manusia di sampingnya itu? Tahu rumus yang harus dilakukan, tinggal menghitung dan menghasilkan apa yang diharapkan.

Di sinilah, titik penyesalan datang. Ia tak pernah belajar serius selama sekolah. Tak jauh dari siswa langganan BK Ayu pun mengalihkan pandangannya menuju siswi di sebelahnya kirinya. Memakai kacamata bulat putih, hidungnya sedikit mancung, menatap tajam ke layar komputer. Percuma juga hanya memandangi, tak ada bocoran jawaban. Ayu memilih mencari soal miliknya yang gampang dikerjakan. Namun, tak ada satu pun dari lima puluh soal tergampang baginya.

Tertera jelas sekarang soal pelajaran Praktikum Akuntansi. "Dijual barang dagang secara kredit Rp. 1.000.000,00 kepada PD Surakarta dengan faktur nomor 011. Transaksi tersebut dicatat dalam buku besar pembantu?"

Ayu menggeleng lemah. "Gua gak tau, sumpah!"

Lelaki yang duduk di samping Ayu menoleh tak suka. "Bacanya dalem hati," ucapnya malas.

"Kalo gua kagak mau gimana!" Suara Ayu meninggi, hampir membuat sebagian peserta ujian menatapnya penuh tanya.

Bukan hanya peserta di dalam ruangan itu saja, guru pengawas langsung mendekati bangku Ayu. "Ada masalah? Coba jelaskan."

"E—enggak, Bu, maaf." Ayu meringis, menahan malu.

Guru ber-nametag Indah itu menyentuh bahu Ayu. "Ini ulangan nasional, ya, usahakan serius. Sudah berapa nomor yang kamu isi?"

Gawat, satu pun belum Ayu isi. Ia segera mengangguk cepat, lalu berpura-pura fokus kembali ke soalnya. Setelah guru barusan pergi, Ayu mendengkus sebal. Ternyata lelaki di sampingnya itu bernama Fahri.

"Anjing, lu!" maki Ayu, hanya ia dan Fahri yang dapat mendengar.

Fahri menoleh. "Gua manusia!" balasnya.

Ayu menjulurkan lidahnya. "Nyenyenye, banci!"

Enggan memperpanjang urusan dengan manusia tak normal. Fahri memilih fokus mencari jawaban tepat. Perasaan Ayu mulai tidak enak, rasanya AC di atas kepalanya semakin berhembus kencang. Benar saja, dari belakangnya salah satu guru pengawas sedang memainkan remot AC. Maksudnya biar apa coba? Tidak lama, hembusan teramat kencang, memabukkan, membuat Ayu kewalahan. Ia merasa perutnya bergolak kencang di dalam.

Jangan bilang ia mulai masuk angin? Dan angin yang masuk ingin ke luar dari lubang?

Brut!

"Hacim!" Seketika suara kentut dan bersin menjadi satu. Membuat peserta ulangan menahan tawa, antara menertawakan awal kentut atau bersin yang mengejutkan.

Bu Indah kembali menghampiri bangku Ayu. "Kamu masuk angin? Mau ibu matikan AC-nya?"

"Malah nanya, matiinlah, bego!" batin Ayu, ia tetap menunduk sambil menutup mulutnya menahan malu, menggeleng tegas.

"Bu Tiara, tolong AC-nya normalkan saja," pinta Bu Indah dengan cepat.

Bu Tiara tergopoh-gopoh langsung mengatur AC. Sekarang tinggal Ayu yang tak mampu menahan malu, mau di mana ia sembunyikan wajahnya? Sialan, sampai jam di layar komputer sudah menandakan waktu mengerjakan soal tinggal dua puluh menit lagi, sedangkan Ayu? Dengan asal mulai menyilang jawaban pilihannya. Fahri tepat duduk di samping Ayu terus-menerus menahan tawa. Karena pendengarannya jelas, sebelum bersin Ayu membuang angin dari lubang lain.

Mengetahui gerak-gerik Fahri yang tahu rahasianya, Ayu menoleh sebal. "Napa lu, nyet!"

Fahri monoleh. "Apaan, sih, isi tuh soal!"

Ayu terus menatap wajah sok ganteng itu. "Muka lu bakal gua inget, sampe kapan pun!"

Tidak lama, waktu pun habis semua peserta mulai antre ke luar. Tanpa Ayu harapkan, Fatin dan Lisa menertawakannya sebelum ke luar dari ruangan. "Biasa, anak kampung anti AC," sindirnya, membuat Ayu menahan tinju.

Di luar ruangan, semua orang mulai memakai sepatu masing-masing. Diberikan waktu dua puluh menit untuk istirahat, sebelum soal akhir dimulai lagi. Ayu berjalan gontai, ia lebih malu mendapati Fahri dan cewek di sampingnya tadi. Pasti mereka mendengar jelas bom atom yang ke luar sebelum bersin. Ia terus melangkahkan kakinya menuju kantin, di sana ia bisa berjalan santai sambil makan. Merasa aman tanpa tatapan orang-orang sambil berbisik menyindirnya. Namun, percuma, sosok Yodan datang dengan pacar barunya.

Entah tahu dari mana aib dirinya di kelas, Yodan berbisik, "Masuk angin sampe bersin? Biasa, tapi kalo sampe kentut! Luar biasa ...."

Kali ini, di tengah kerumunan, di saat tangan kanan Yodan menggenggam mesra tangan mungil sang pacar. Ayu berhasil memberikan tinju tak terhindarkan.

Buk!

Semua siswa membisu, mendengar tinju dan suara tubuh Yodan ambruk ke lantai. Kepalanya juga terbentur, menubruk ujung dinding. Tak ada satu pun orang yang berani membantu Yodan berdiri, termasuk pacarnya karena shock ia langsung menghindar.

"COBA! Sindir gua semau lu." Kesabaran Ayu mulai hilang karena ia merasa direndahkan dari tadi. Pandangan Ayu menyapu semua manusia di kantin. "Puas! Lu mau kayak dia?!"

Seorang guru BK berlarian, menghampiri Ayu yang berdiri tegang di tengah kerumunan. "Ayu, ikut ke ruang BK!" sentaknya.

Ayu memberikan senyum liciknya. "Saya yang, Bapak salahkan? Ok, saya tahu karena buktinya Si Yodan luka, tapi Bapak gak tau luka di hati saya kayak gimana!"

Benar apa yang Ayu katakan, semua orang tidak menghakimi Ayu. Ada benarnya, mereka tidak tahu perbuatan Yodan, tidak mungkin Ayu begitu saja memukul sang mantan tanpa alasan. Kecuali, jika Yodan hanya memanasi mantannya akan pacar barunya.

"Rival, bawa Yodan ke UKS," titah Pak Budi, lalu menyeret Ayu dengan cepat.

Ayu tertawa. "Haha! Gak adil emang, gua diseret, eh si Iblis dipapah manja, Anjing!"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang