Bab 16. Tenggelamkan Saja

445 27 2
                                    

Pak Budi tidak peduli, ia tetap menyeret Ayu ke ruang BK, sedangkan waktu istirahat bagi peserta UN sudah habis. Memanggil salah satu orang tua Ayu adalah jawabannya. Setengah jam menunggu, barulah sosok Haryanto datang tergopoh-gopoh, ia datang dengan tukang ojek. Keadaan Haryanto yang mengkhawatirkan membuat Pak Budi jadi serba salah. Namun, Ayu salah telah membuat keonaran sampai Yodan mengalami luka.

"Opo iki napa Ayu, Pak?"

Pak Budi mempersilakan Haryanto duduk di samping Ayu. "Bapak, Ayu membuat kesalahan di sekolah," ucapnya lembut.

Ayu meringis. "Pak, kayak anak PAUD aja, belajar gak?" Sangat tidak sopan pertanyaan Ayu barusan, tapi ia tetap melanjutkan, "ada asap, ya, ada api! Gimana, sih, guru, ya? Percuma!"

"AYU!" sentak Pak Budi.

Haryanto menatap anaknya itu. "Kowe, ojo ngomong kaya ngono. Ora sopan!"

"Bodo!" Ayu beranjak pergi, membuat Haryanto dan Pak Budi menggerutu kesal.

Kedatangan Ayu yang sangat telat, membuat para pengawas memberikan ribuan tanya. Tanpa menunggu lama, Ayu menjelaskan persoalan di kantin tadi. Semua siswa yang satu ruangan dengannya mulai mengangguk paham. Namun, ada juga yang menahan tawa saat Ayu menjawab kebenaran bahwa ia kentut. Pastilah mendapat sindiran dari mantan rasanya double hantaman, apalagi bawa pacar baru di sampingnya. Jadi, tanpa berpikir ulang Ayu berhasil memberikan tinju mautnya.

"Ya udah, tapi cepat isi soalnya. Kamu telat hampir satu jam, tidak ada waktu tambahan," jelas Bu Indah.

Ayu mengangguk. "Sepuluh menit juga selesai, kok," batinnya lalu berjalan cepat menuju bangkunya.

Yang didapati, bangkunya diisi oleh Fahri. "Udah, lu duduk di tempat gua aja," ucapnya.

"Oh, iya, Ayu. Fahri menukar bangkunya, katanya takut kamu masuk angin lagi," jelas Bu Indah.

Tiba-tiba bisikan iri terdengar. Soalnya memang Fahri itu terlihat sangat menawan, kulitnya putih bersih keturunan, senyumnya sangat manis. Namun, di balik sikap manisnya menukar bangku, Fahri menghindari balas dendam dari Ayu. Soal waktu tadi, ia takut menjadi sasaran lelaki yang ditonjok oleh Ayu. Bukan hanya takut, Fahri juga di balik wajah rupawannya, sulit menghindari lawan menyerang.

Dulu, malahan ia di-bully karena sering menangis gara-gara kalah adu kekuatan. Namun, saat duduk di bangku SMP dan SMA ia mulai bersikap dingin, hanya prestasi dan kegantengannya saja yang dapat dilihat, tapi jangan kelemahannya. Sampai soal nomor akhir, Fahri menoleh mendapati Ayu sedang mengisi soalnya tanpa dibaca, apalagi dihitung! Terlihat dari kertas coretannya hanya ada gambar asal kartun dan beberapa simbol motor GP.

"Lu ngisi soal yang bener," bisik Fahri.

Ayu menoleh. "Terserah gua, dong! Yang penting gua gak maksa lu buat ngasih jawaban."

Fahri menelan ludahnya kasar. "Bukan A yang bener C." Koreksinya, mengingat soal yang sedang dikerjakan Ayu telah Fahri lewati.

"Tau dari mana jawaban lu bener?" komentar Ayu.

"Lah, gua 'kan belajar, hafal di luar kepala materi yang gua pelajari!" Fahri menyombongkan dirinya.

Selanjutnya, Ayu memilih jawaban yang diberikan Fahri, lalu menanyakan soal lainnya. "Yang ini?"

Fahri sedikit mendekatkan tubuhnya, mencoba membaca dan mengingat jawabannya. "B kayaknya."

"Jangan kayaknya, dong! Harus yakin, gimana, sih!"

"Iya, B! Cepet lima menit lagi."

Waktu ujian habis, tepat Ayu menyelesaikan soalnya pula. Ia memberikan senyum lebar untuk Fahri. Bersyukur bisa mendapatkan jawaban dipastikan benar. "Thank you ... makasih pokoknya!"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang