Bab 23. Gadis Bak Gembel

377 24 1
                                    

Seperti janji kemarin Amar datang ke rumah Ayu membuat Ningsih mengerutkan kening dalam. Bukankah hubungan mereka berdua sedang tidak baik-baik saja? Kemarin setelah dari danau motor Ayu memang tidak dibawa oleh teman Amar sampai rumahnya, tapi berada di parkiran rumah dinas milik Amar.

Jadi, Ayu tetap pulang sendiri tanpa harus Amar antar. Melihat keakraban yang tiga bulan penuh kemarin hilang, Asih tersenyum senang melepas anak gadisnya diambil oleh Amar dengan alasan ingin pergi ke luar. Mengetahui kedekatan mereka berdua Ningsih semakin kesal. Berpikir keras apa yang membuat Dokter Amar menyukai adiknya?

Sebagai basa-basi sebelum pergi, Amar sempat menanyakan kesehatan bayi mungil di pangkuan Ningsih. "Baik, Dok, cuma waktu lalu aja 'kan saya udah bilang anak saya panas. Eh ... Dokter gak dateng!"

Amar sedikit tersenyum kecil. "Maaf waktu itu di dinas sangat ramai," balas Amar.

Tanpa menunggu lama Ayu segera mengajak Amar ke luar. Sebelum Ayu menutup pintu, sempat-sempatnya Ningsih menyindir, "Dibayar berapa lu?"

Ayu tersentak akan pertanyaan Ningsih barusan. Memangnya dia apa? Pembantu Amar? Apa jangan-jangan kakaknya itu menganggap Ayu menjual diri? Tak sangka. Ayu tidak peduli segera menutup pintu lalu masuk ke dalam mobil Amar. Seperti biasa hanya kebisuan menemani, tapi kali ini dengan anehnya Amar  menggenggam jemari kanan Ayu.

Awalnya canggung lama-lama Ayu tersenyum senang, mendapati sikap Amar yang manja. Bahkan saat rambutnya gatal, Amar meminta Ayu untuk menggaruknya. Semakin dekat saja hubungan mereka walaupun baru kemarin sore ungkapan hati tersampaikan.

Namun, tidak dengan perasaan di antara mereka sudah lama tercipta. Bayangan masa depan benar-benar siap tergapai dalam khayal Ayu, menyingkirkan dahulu kenyataan bahwa ada banyak rintangan di depan. Sesampainya di parkiran yang sedikit kendaraan, Amar langsung turun tidak lupa membuka pintu samping Ayu dengan mesra.

Mendapat perhatian yang sangat menggelikan untuk Ayu, ia meninju bahu Amar. "Apaan, sih, lebay banget!"

Amar tertawa, lalu mengacak asal puncak kepala Ayu. "Masa gak suka, sih?"

Ayu menoleh dengan wajah tidak suka. "Tau lebay? Kek, anak alay!"

Enggan memperpanjang masalah kecil, dengan cepat Amar segera menarik Ayu ke dalam. Hari ini tugasnya sudah diberikan kepada Bidan Desi sesuai perintah. Jadi, Amar memutuskan langsung mengajak Ayu ke kantin. Siap menunggu kedatangan seseorang yang dipastikan datang.

Memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan Ayu memilih teh manis seperti biasanya. Jam dinding kantin tepat menunjuk pukul sembilan pagi, sesuai janji tidak lama Mona akan datang dengan penampilan hebohnya.

Sambil menunggu, Ayu terus-terusan menantap penampilannya sendiri. Apakah sudah terlihat normal? Seperti gadis pada umumnya? Sayang rasanya Ayu seperti akan berhadapan dengan sosok ahli dalam penampilan. Memaksanya menjadi gadis cantik bukan tomboi yang tidak diharapkan.

Mendapati kegelisahan yang tak biasa, Amar melihat tangan Ayu selalu menarik kerah kaus polos berwarna hitam. Sebuah coretan berbahasa Inggris tertera tepat di depan dada, sudah pudar bahkan hampir hilang. Namun, bukan apa yang Ayu pakai membuat Amar menyukai gadis di sampingnya itu, tapi merasa nyaman saat berjalan atau berbincang. Walaupun awalnya masih tegang.

"Kamu kayak gak percaya diri gitu. Biasa aja, Ayu ... lagian Mona gak bakal kenapa-kenapa kok," ucap Amar menenangkan.

Ayu menelan ludah kasar sambil menunduk dalam. "Gila, masa gua dibandingin sama model, sih? Pasti gua kalahlah."

"Maksud kamu apa? Kenapa bicara gitu?"

"Ya ngotaklah, pasti gua yang malu nanti. Udah anak desa, bukan orang kay—"

"AYU!" Amar memotong. Bertepatan datangnya sosok yang dinantikan.

Suasana semakin tegang. Mona mengerutkan keningnya dalam. Tidak sesuai janji, bukankah hanya berdua? Mengapa ada manusia lain di samping Amar? Ia pun duduk berhadapan langsung dengan calon tunangannya. Gadis yang tak dharapkan sekarang mendongak. Sangat jelas wajah tak pernah diurus itu. Dekil. Adalah penilaian Mona saat melihat Ayu.

"Hai," sapa Mona diiringi senyum untuk Amar.

"Mona, perkenalkan dia, Ayu." Amar berkata lancar sambil menepuk bahu Ayu santai.

Mona mengangguk. "Mona," ucapnya tanpa ada niat mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Ayu mengangguk kaku. Kaus lengan panjangnya terasa menenggelamkan tubuh mungilnya itu dan Ayu tidak peduli. Selanjutnya pertanyaan Mona yang menjurus, mengapa Ayu harus duduk bersama mereka? Di sinilah Amar mulai berkeringat dingin. Menoleh sesaat kepada Ayu yang hanya mampu menunduk dalam.

"Maaf, Mona, saya harus jujur kepada kamu sekarang juga," ujar Amar membuat Mona kebingungan.

"Jujur soal apa?" tanyanya.

Amar menghirup udara dalam-dalam, menatap langsung kelopak mata yang dihiasi bulu mata palsu. "Saya, menolak lamaran dan perjodohan antara kita atas keinginan kedua orang tua sejak lama."

Mona terdiam tidak memercayai apa yang barusan ia dengar. Dapat disimpulkan dengan cepat pula, siapa gerangan gadis yang dapat mendengar jelas ucapan Amar barusan. Mona tertawa, menatap Ayu dengan mata menilai merendahkan.

"Kau yakin, Amar? Demi gadis bau kencur ini, ha?!"

"Iya, mengapa tidak?" tanya Amar berani.

Mona mendekap kedua tangannya di dada. "Sangat bodoh!" Mona berdiri menatap tajam Ayu yang masih menunduk.

"Soal perasaan tak dapat dipaksakan. Bukankah kamu seorang model? Ada banyak lelaki yang mengejarmu, Mona."

"Mengejar? Dan kau memilih gadis desa bak gembel ini!"

"MONA!" Amar berdiri menatap tajam, beruntungnya keadaan kantin sangat sepi dan menyisakan Bi Nonoh sedang bersembunyi di balik lemari masakannya. "Jaga ucapan kamu!" sentak Amar.

"Berapa kali kau berikan pelet, gembel!" Mona tidak mempedulikan ucapan Amar agar menjaga cara bicaranya itu. "Wajah busuk, dekil. Penampilan gembel! Sadar, kau!"

Amar bergerak cepat menarik Mona untuk menjauh, tapi Mona berhasil mendorong Amar sampai ambruk ke lantai. Mengetahui Amar terjatuh, Ayu mendongak dengan tatapan penuh emosi yang tertahan. Sebelum bergerak cepat semburan kopi hitam langsung memenuhi rambut Ayu. Mona berhasil menyiram kopi. Masih kesal, dengan cepat Mona menyambar teh manis Ayu.

Byur!

Teh manis dingin membasahi baju depan Ayu. Mona tertawa. "Sialan, kau! Gembel tak tahu diri."
Sebelum Mona pergi, Amar sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan penuh emosi. "KAU!"

Mona tersenyum miring. "Apa? Kau tidak terima?"

Kedua tangan Amar mengepal, sudah gatal ingin menampar. Namun, ia harus sadar Mona adalah seorang wanita yang tak seharusnya dikasari. Selanjutnya Mona mendorong bahu Amar dengan kesal, berjalan cepat meninggalkan kekacauan.

Amar mendekati Ayu yang tak berdaya. Kepala dan tubuhnya kotor, tanpa menunggu lama Amar segera mengajaknya ke ruangan khusus. Tempat dinas yang diberikan untuk Amar selama bertugas. Yaitu rumah kecilnya yang berada di belakang rumah dinas. Untuk pertama kalinya Ayu masuk ke sana.

Harum pewangi ruangan memenuhi rongga hidung. Setelah Ayu masuk ke dalam kamar mandi, Amar segera berlari mencari asistennya untuk diminta membeli baju bagi Ayu. Setelah memerintah, Amar kembali ke rumahnya.

"Ayu, tunggu saja di dalam, nanti saya berikan baju yang layak pakai!" seru Amar dari balik pintu yang tertutup rapat, dikunci dari dalam.

Di dalam Ayu sedang membersihkan rambutnya yang terasa lengket karena kopi. "Baju punya siapa?" balasnya.

"Sudahlah, tunggu saja."

Sekitar dua puluh menit ketukan pintu terdengar, spontan Amar langsung berlari mendapati Tia memberikan bungkusan yang diminta. Tanpa bertanya memastikan Ayu kenapa, Tia langsung undur diri karena merasa bukan haknya bertanya hal di luar pekerjaan. Tanpa menungu lama Ayu yang menahan diri di dalam kamar mandi terbalut handuk milik Amar, akhirnya mendapatkan baju ganti.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang