Bab 3. Niat Baik Bukan Menutupi Aib

938 41 0
                                    

Menunggu selama dua puluh menit dan hujan enggan 'tuk berhenti, membuat kedua kaki Ayu keram karena hanya mampu berjongkok. Keberuntungan pun datang pintu belakang terbuka, menyingkap sesosok manusia berwujud lelaki berwajah tua menatap ke sekeliling dengan wajah bingungnya. Ayu yang menyadari seseorang datang, segera meneriaki siapa pun gerangan di luar sana. Mendengar teriakan dari dalam jamban, hingga menyadari kain penutupnya berfungsi sebagai pintu membuat Haryanto menoleh.

Penuh pertimbangan, hingga memutuskan mengambil payung butut di dalam lalu kembali mendekati jamban. Ayu langsung berteriak meminta handuk, saat kaki Haryanto siap berjalan kembali dia tertegun pendengarannya baru sadar bahwa itu suara anaknya meminta handuk. Tanpa berpikir ulang, ia pun kembali ke dalam menyadari hanya ada dua handuk di rumahnya, dibawalah satu. Setelah mendapati pertolongan, Ayu segera melilitkan handuknya dan berlari masuk ke dalam rumah.

Haryanto yang masih di luar rumah bingung harus berbuat apa, mulai penyakit pikun datang tak tahu diri. Ia pun memutuskan mengikuti anaknya masuk. Masih sama, ruangan tengah adalah tempat persinggahan akhirnya. Tidur beralaskan karpet tipis dengan Asih di sana, makan bersama dengan kedua anaknya. Sampai berbagi keluhan soal hidup juga di sana. Sekarang istrinya itu sedang pergi pengajian, sedangkan ia yang baru pulang dari ladang sebelum hujan, terpaksa menunggu dengan sebuah tasbih di tangan kanan.

"Pak, emak belum dateng juga?"

Haryanto mendongak, mendapati Ayu sedang mengeringkan rambut sebahunya dengan handuk.

"Belum, Yu."

Selanjutnya, tidak ada percakapan sampai pintu depan terbuka menyembullah Ningsih dan sang kekasih yang belum pernah Ayu temui. Mereka berdua segera pamit ke belakang karena basah kuyup, terdengar bergantian masuk ke jamban, mana bisa berdua masuknya. Terbungkus rapi dua kotak di dalam keresek putih bening, Ayu ingin menarik dan membuka apa isinya, tapi dia masih punya malu soalnya yang membawa adalah calon kakak iparnya. Tidak lama, sosok Hamdan permisi duduk di samping Haryanto yang memberikan senyum.

Melihat Ayu duduk tepat di samping televisi, membuat Hamdan inisiatif bertanya, "Tadi ada teman saya ke sini?"

Ah, Ayu tidak perlu memastikan apakah itu, Ilham? Manusia yang tak pernah dan sama sekali diharapkan kedatangannya. Jika, hanya menorehkan luka, bukan cerita bahagia. Inginnya Ayu menjelaskan demikian, tapi siapa dia?

"Iya, lu temennya, ya?"

"Eh!" Haryanto melempar Ayu dengan remot televisi yang sebagian sudah hilang tombolnya. "Abang, bukan elu."

"A—abang? Iya, Abang, sorry ya, Bang!" Enggan bercakap lebih dengan sosok sang abang, Ayu pun memutuskan kembali masuk ke dalam kamar ruang terakhir yang dapat menentramkan pikiran.

Hamdan hanya tersenyum kecil, lalu Ningsih datang dengan baju gantinya yang sangat serasi membungkus badan berisinya. Dalam penilaian Hamdan, ia tidak pernah berharap menyunting perempuan pemilik wajah glowing, langsing, bahkan berhidung mancung. Prinsipnya, sosok wanita yang ingin menerima apa adanya, berani berjuang bersama karena semua kekayaan dan kendaraan yang Hamdan pakai tidak selamanya miliknya.

Termasuk mobil yang tadi dia kendarai pergi untuk memilih baju pengantin, nyatanya milik Ilham, sedangkan miliknya hanya sebuah motor matic saja. Namun, melihat respon Ningsih mengetahui tidak masalah soal kendaraan, membuat Hamdan mantap mempersunting perempuan terlahir dari Haryanto dari tanah Jawa dan Asih dari tanah Sunda. Apalagi saat mereka pulang diguyur air hujan, rasanya dunia hanya milik berdua.

Mulai membicarakan soal pernikahan ke depan, termasuk biaya yang harus keluar dari Hamdan semuanya terhenti, kala pintu depan dan hujan reda Asih datang, beberapa keresek hitam dijinjingnya sampai ke dapur, lalu kembali menyalami calon menantunya. Dijelaskanlah acara resepsi yang biasa, Ningsih tidak masalah dengan acara ataupun makanan yang biasa, ia lebih senang bahwa ada lelaki seperti Hamdan benar-benar menghalalkannya.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang