Bab 5. Kecolok Eyeliner

597 25 2
                                    

Hari yang dinantikan pun datang. Sangat mengganggu konsentrasi bagi tukang rebahan. Suara lagu Sunda bergema tidak karuan, bahkan siap 24 jam selalu terdengar mengganggu orang yang ingin terlelap tidur. Termasuk Ayu, dari sore hari pun ia sudah uring-uringan di kamar. Mengapa harus ada acara memutar lagu tanpa henti? Selain berhenti saat kumandamg azan saja! Kupingnya hampir pecah, apalagi semua lagunya sangat jadul.

Terpaksa Ayu mencoba beradaptasi, esok adalah hari Ningsih dipersunting oleh Hamdan. Dekorasi rumah yang biasa dan ala kadarnya sudah terpasang. Sajian makanan khusus tamu, dipastikan hanya beberapa saja yang makan. Bukan enggan membagi, dananya sedikit. Hamdan tidak mampu, apalagi keluarga Ningsih. Selain dekorasi rumah dan makan-makan sederhana, Ayu sudah diperingati oleh kakaknya. Besok mereka akan memakai baju khusus. Tidak lupa wajah yang dimodifikasi.

Namun, Ayu tidak peduli. Palingan hanya memakai kebaya dan lipstik merah merona! Kedua matanya yang sangat berat ingin memejam, tapi suara manusia saling bertukar cerita di luar, dari lagu Sunda berubah dangdutan membuat Ayu menutup kedua telinganya dengan bantal. Usahanya itu tidak membuahkan hasil. Sampai jam di dinding menunjuk pukul satu malam. Acara berisik juga terdengar dari samping kamar Ningsih. Tidak salah lagi calon pengantin itu masih melek.

"Mereka gak butuh tidur apa gimana, sih? Kalo gak mampu, jangan ngajak manusia yang mau tidur juga!" Ayu terus saja menggerutu, padahal percuma toh siapa juga yang mau mematikan musik dan berhenti bicara?

Setelah berusaha terlelap, akhirnya Ayu berhasil masuk ke alam lain. Di luar rumah masih sama, bapak-bapak yang menemani Haryanto berbicara gamblang hilir mudik tak terjeda. Sosok Susi dan suaminya pula sudah ada di rumah itu, berkumpul di tengah ruangan bersama Asih. Ningsih sendiri sedang mengecek peralatan untuk hari esok, seperti saweran dan kado yang diberikan beberapa temannya. Tadi setelah melakukan siraman, rasanya Ningsih tidak bisa menahan hari esok adalah hari pernikahannya.

Masih dengan lagu yang asal diputar, hingga kumandang Azan Subuh menjadi akhir putaran. Suasana rumah kembali ramai, dari beberapa anak kecil tetangga rumah Ayu berdatangan. Ningsih meminta kurang lebih empat anak perempuan dan empat anak lelaki untuk menjadi pendamping pengantin. Para asisten perias pengantin pun segera mempoles wajah mereka satu per satu, tapi tidak dengan sosok Ayu. Santai dan sok tuli membuatnya nyaman bergelung selimut, padahal waktu sudah menunjuk pukul lima pagi.

Tidak didapati anak gadis pemalasnya, Asih segera menghampiri pintu kamar yang benar-benar rapat belum tersentuh tangan manusia lain. Sesosok tubuh telentang dengan bibir ternganga menghadap langit-langit kamar. Kedua kaki membuka lebar, seolah menjaga gawang yang jangan sampai kebobolan. Asih segera membangunkan Ayu dengan lembut. Erangan kesal karena masih kurang tidur keluar beruntun. Hingga Ningsih yang sudah memakai sebagian make up pengantinnya masuk ke kamar.

"Astagfirullah, ini manusia masih aja molor!"

"Katanya kurang tidur, Ning," balas Asih sambil mengembuskan napas kasar.

Ayu sendiri mulai tuli semakin menghangatkan tubuhnya dengan selimut. Tarikan paksa menghempas sebagian kehangatan, membuat nyawa Ayu berkumpul tersadar. Menemukan dua manusia satu menatapnya garang, satu lagi memberikan senyum hangat.

"Mandi, lu! Setiap hari buat kepulauan, gak malu sama umur, ha?" oceh Ningsih, padahal seharusnya ia bersiap saja dengan polesan make up dan baju pengantinnya.

Ayu menghapus jejak linang air liur di sudut bibirnya. "Ngapain, sih? Udah tau tadi malem kagak bisa tidur!"

"Lu amnesia?!" Masih Ningsih yang mengoceh. "Sekarang siap-siap, dandan make baju kebaya!"

Susi yang mendengar kegaduhan berasal dari kamar Ayu, segera datang menenangkan lalu menarik Ningsih untuk kembali bersiap. Ayu yang merasa sikap keras kepalanya tidak seharusnya muncul saat waktu penting ini, segera beranjak ke luar kamar. Pemandangan yang baru dalam hidupnya, banyak manusia berdatangan bahkan sudah duduk di salah satu kursi plastik yang berjejeran khusus tamu. Tidak hanya itu, anak tetangga terlihat sedang tertawa ria mendapati riasan cantik di wajahnya.

Ayu meringis, apakah ia pula akan dihias seperti anak kecil di sana? Rasanya sangat menggelikan! Bukan hanya di depan rumah, di belakang pula sudah siap siaga bagi penjaga tungku. Jangan sampai api padam, membuat nasi khusus tamu tidak matang atau bahkan malah gosong. Selesai dengan ritual mandi kadalnya, Ayu masuk ke dalam kamar, memakai baju kaus oblong dan celana selututnya, lalu kembali ke luar mendekati perias para anak tetangga dan ibunya sendiri.

Mendapati kedatangan tuan rumah, Wulan sebagai asisten perias pengantin yang Ningsih bayar dalam acara pernikahannya, segera memberikan tempat untuk Ayu duduk. Tanpa menunggu lama juga, ia dengan cepat mengeluarkan sebuah kebaya komplit dari atas sampai bawah rok batik khasnya. "Dipekek, ya, kalo susah tinggal manggil nama saya aja, Wulan."

Ayu menatap baju yang disodorkan untuk dipakainya. "Gua pakek baju kek ginian?"

Wulan meringis. "Iya atuh, maunya baju pengantin?" tanyanya diakhiri senyum terpaksa karena pertanyaan Ayu sangat aneh.

"Dih, siapa yang minta pakek ginian?"

Mendengar komentar Ayu, membuat Asih angkat bicara menghentikan komentar selanjutnya. Terpaksa Ayu menurut masuk ke dalam kamar,  menatap pantulan dirinya di cermin, memakai kebaya berwarna merah mencolok, sedangkan rok sepan yang sangat tidak nyaman dipakai membuatnya jijik. Mana bisa pakek baju sesak, bak memakai karung beras! Inginnya dilepas lalu kembali tidur nyenyak, tapi rasanya sangat tidak mungkin juga.

Selesai memakai baju kebayanya, Ayu ke luar mendekati Wulan yang siap merias wajahnya. Asih tersenyum senang, akhirnya anaknya itu mau menurut juga. Mengingat Ayu adalah perempuan tomboi di antara perempuan lainnya, saat matanya menangkap belasan alat poles wajah, ada banyak pertanyaan bermunculan. Sebanyak itu? Untuk apa saja? Emang wajahnya itu kanvas putih yang harus diwarnai bermacam-macam warna? Sebelum benar-benar bertanya, Wulan memintanya duduk di depan.

"Rileks aja, gak usah tegang, ya." Wulan mulai membersihkam wajah Ayu dengan air mawar, tidak lupa memakai kapas agar dakinya pula ikut luntur pergi.

Ayu nampak santai, malahan kedua matanya mulai berat akibat aktivitas Wulan di wajahnya. Mulai memberikan krim warna krem yang Ayu tak pernah tahu namanya, lanjut bedak. Diratakan dengan cepat dan lihai. Sampai Wulan mengeluarkan sebuah eyeliner. "Mau pakek ini atau bulu mata palsu?" tanyanya.

"Lah, mana gua tau!" ketus Ayu.

Wulan lagi-lagi hanya mampu menelan ludahnya kasar, kok gini ya manusia yang harus ia dandani?

"Ya udah, pakek eyeliner aja, ya." Tanpa menunggu lama, Wulan segera mendekatkan pensil eyeliner ke kelopak mata Ayu. "Pejamkan matanya," pintanya.

Ayu menurut dengan malas, selesai memberikan goresan hitam di atas kelopak matanya. Wulan meminta untuk membuka perlahan, lalu dilanjutkan agar Ayu siap jangan berkedip.

"Jangan kedip, nanti sakit!"

"Lah, yang sakit itu kagak kedip perih!"

"Bukan gitu maksudnya, nanti 'kan pakek ini kelopak mata bawahnya. Takut kecolok 'kan pastinya perih."

Setelah menjelaskan jangan berkedip lagi, Wulan mulai berhati-hati memainkan eyeliner di bawah kelopak mata Ayu. Namun, belum sampai ke ujung, mata Ayu itu terus gerak-gerak menyulitkan pekerjaan Wulan yang sudah profesional, tapi mendapati manusia seperti di depannya itu, rasanya dua kali lipat harus menahan rasa sabar, sudah besar tapi tidak tahu dengan alat kecantikan. Malahan kalah dengan gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah tadi.

"Anjir!" pekik Ayu, merasakan colokan tak dapat dihindarkan.

Wulan tergagap, "E—eh, tuh 'kan gerak mulu sih matanya!"

"Ngatur lu! Mata gua juga," sungut Ayu.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang