Bab 19. Malam Mingguan

405 24 1
                                    

Malam minggu yang dijanjikan pun tiba. Amar benar-benar menjemput Ayu di jam delapan malam, lepas isya. Pada saat itu ada Hamdan, membuat Ningsih tidak bisa bebas menceramahi Ayu karena tidak seperti biasanya, ke luar dari gua persembunyian atau kamarnya. Sangatlah normal bagi para anak muda malam mingguan sekarang. Jadi? Tentu saja ada izin yang Asih berikan khusus anak bungsunya.

Di dalam kamar, Ningsih menahan cemburu dan amarah, sedangkan Hamdan sudah bermain dengan anaknya yang mulai tersenyum, belajar berucap walaupun tidak jelas. Seperti yang dibilang Ayu, motor menjadi kendaraan mereka berdua mengelilingi alun-alun Kota Bandung. Ada banyak pasangan kekasih yang bermesraan. Rasanya Ayu pula kali ini seperti dengan kekasih nyatanya. Mengingat pacaran waktu lalu, tak pernah sekalipun ke luar malam.

"Mau makan apa?" tanya Amar, suaranya terdengar parau.

Ayu mendekatkan wajahnya ke samping kepala Amar yang tertutup rapat oleh helm. "Apa, ya ... yang bikin kenyang aja."

"Jangan nasi goreng mulu, ah! Bosen perasaan makan sama kamu itu-itu aja."

Entah alasan apa, Ayu memundurkan kepalanya menahan senyum. Apakah kedua pipinya sudah merona?

"Terserah kalo gitu," balasnya.

Amar yang sering makan malam sendirian sudah tahu beberapa pedagang di sana. Mengingat masih single, di rumah tidak ada yang bisa memberikan masakan enak. Ia selalu menyempatkan diri berkeliling, mencari makanan baru dari pedagang malam alun-alun. Kecuali jika ada pasien baiknya yang memberikan. Ia pasti langsung menerima. Setelah memarkirkan motor, Amar segera menarik Ayu berjalan tepat di sampingnya.

Mengingat malam minggu, tidak seperti malam lainnya. Acara jalan beriringan itu selalu gagal. Akan ada banyak antrean di depan. Jadi, Amar selalu mendorong bahu Ayu agar jalan duluan, kadang menarik pinggangnya agar mendekat lagi. Ah, mengapa mereka bak orang berpacaran? Menertawakan lelucon pedagang, lalu mengejar anak kecil dari penjual gulali bersamaan. Rasanya Ayu enggan pulang saja, ia ingin selamanya berada di samping Amar.

Di malam itu, sikap Amar yang selalu cepat tanggap membuat Ayu akan dijaga aman. Mendapati gerobak bakso, mereka pun berhenti. Memutuskan makan di sana. Setelah memesan dua mangkok mereka mulai membuka percakapan lagi. Tidak ada ponsel yang harus dimainkan, biarkan benda itu tersimpan di dalam saku masing-masing. Jangan mengacaukan kencan malam pertama. Saat sedang asik-asiknya Amar bercerita pasien seperti Ningsih. Tiba-tiba seorang pengemis wanita tua datang.

Penampilannya sungguh mengkhawatirkan, baju bolong dan bau apek, sebuah sarung menjadi rok yang kusam dan kotor. Rambut gimbal sudah memutih acak-acakan. Tanpa menunggu lama, Amar menarik dompetnya dari dalam saku jaket. Mengeluarkan uang senilai dua puluh ribu, melihatnya Ayu tidak percaya. Ia yang selalu memberikan uang kepada pengemis senilai dua ribu dan paling besar lima ribu, menangis melihatnya.

"Alhamdulillah, makasih, Dek ... semoga rezekinya lancar, sehat selalu," ucap pengemis itu sambil terbungkuk-bungkuk.

"Aamiin, Ibu juga jaga kesehatan, ya." Balasan Amar tentunya sangat benar-benar memberikan peringatan, seorang dokter pasti tahu apa saja bakteri yang dapat mematikan di badan kotor itu.

"Iya, semoga keluarga, Adek sama Eneng, sakinah mawadah warahmah. Belum punya momongan, ya?"

Pertanyaan macam apa itu? Ayu menelan ludahnya kasar, masih bingung pertanyaan untuk siapa? Amar melirik Ayu, tatapannya juga terlihat bingung, tapi ia tetap mengangguk.

"Semoga, tahun depan dapet, ya, Neng." Tatapan pengemis itu tertuju kepada Ayu.

Ayu tergagap, "He—he, eh."

Pengemis itu tersenyum, lalu pamit pergi tanpa alas kaki. Pesanan pun datang, mencegah Ayu bertanya apa maksud pengemis barusan. Keluarga? Momongan? Apakah pengemis itu mengira mereka berdua sudah menikah? Ayu menggelengkan kepalanya. Ia memilih menyuapkan bakso hangat, dengan isi daging. Amar juga enggan menghabiskan waktu dengannya hanya terdiam. Jadi, mulai mencari percakapan lain.

"Kamu langsung kerja, ya?"

"Ngelamar dulu, tapi katanya sih sebulan ini istirahat aja."

Amar mengangguk. "Kalo bidang akuntansi, mungkin kamu bisa bantu di bidang administrasi di dinas loh."

Ayu menatap Amar. "Masa? Nanti kita kerja di rumah dinas yang sama, dong?"

"Tapi, gak tau juga, sih. Mungkin harus jurusan keperawatan seharusnya."

"Iya, ya, kalo gua ditanya soal obat pasti diem! Mana tau gua, 'kan dari akuntansi." Ayu tertawa, Amar juga.

"Yang penting, kamu berusaha cari aja. Walaupun sekarang harusnya istirahat, biar langsung kerja bulan nantinya."

Ide yang bagus, besok Ayu akan membuat beberapa surat lamaran kerja. Dikirim langsung ke PT yang sudah jauh hari ia pilih. Mengetahui gaji bersih, sampai hari libur yang diharapkannya. Selesai menghabiskan bakso, mereka berdua memutuskan berjalan-jalan mencari makanan untuk dibawa pulang. Sepanjang jalan, gerombolan pasangan kekasih selalu memenuhi tempat makan. Ada juga yang hanya duduk-duduk di kursi taman, tentunya sambil cekikikan mengabadikan momen.

Amar juga mengajak Ayu untuk berfoto bersama. Awalnya Ayu menolak, ia sangat tidak PD apalagi mereka sekarang ada di tengah kerumunan orang-orang.

"Ehh ... bagus loh, berada di pasar malam."

Ayu menggaruk rambutnya asal. "Nanti di tempat sepi."

Amar mendengkus. "Mana ada tempat sepi, alun-alun malam minggu ramai mulu, Ayu ...."

Jadi, terpaksa Ayu mengiyakan permintaan Amar. Mulai dengan hal wajar, yaitu tersenyum kecil dan foto pun tersimpan di ponsel Amar. Selanjutnya mereka mendekati pedagang martabak telur, Amar memesan dua kotak langsung. Melihat wajah Ayu yang sudah berkeringat, tanpa menunggu lama ia menarik tisu kering dari sakunya.

Ayu tersentak merasakan, tisu yang mengelap dahinya oleh tangan Amar. "Capek, ya?" tanyanya.

Ayu mencoba menjauhi tatapan gelap Amar. "Enggak, cuma gerah aja, kok."

"Langsung pulang, kamu mau beli apa?"

"Gak usah, tadi 'kan yang bayar baso elu juga." Ayu mulai menolak, ia juga menebak mungkin martabak itu untuk dibawa Amar ke rumahnya.

Amar membuang tisu bekas itu ke dalam keranjang sampah. "Kok, gak enakan gitu. Udah, yuk, mau beli apa."

Martabak sudah dibayar, mereka kembali berjalan. Keadaan jalan di depan sedikit tanpa hambatan. Jadi, Amar menarik pinggang Ayu untuk berjalan di sampingnya. Sampai tidak terasa, sepanjang jalan tangan kiri Amar nyaman berada di sana. Tentu saja Ayu merasakan, bahkan degup jantungnya tidak normal lagi. Menahan wajahnya agar tetap terlihat biasa. Namun, rasanya ia seperti berbunga-bunga. Amar sangat romantis orangnya, kadang mencubit hidungnya gemas.

"Telur gulung, yuk?" ajak Amar, tanpa menunggu persetujuan ia menarik jemari Ayu agar berjalan mengikutinya.

"Berapa biji?" tanya pedagang telur gulung.

Amar menoleh, mendapati Ayu yang diam tak menjawab. "Berapa?" Ia malah bertanya.

Ayu menoleh dengan kerutan di dahi. "Terserah."

"Terserah mulu, ih!" komentar Amar.

Pedagang di depannya mencoba menahan senyum, ia terbiasa dengan pembeli
yang macam Ayu. Hanya menjawab terserah.

"Seratus, ya, Mbak? Biar banyak," balasnya diakhiri tawa.

"Seratus?" tanya Amar.

Ayu menggeleng tegas. "Banyak banget! Jangan, dong, ah!"

Amar tidak peduli, ia pun berucap, "Seratus aja, Bang!"

"AMAR!" Ayu melotot tajam.

"Apa? Tadi jawabnya terserah!"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang