Bab 17. Emoji Cinta

410 24 1
                                    

Semenjak mendengar pujian yang menggetarkan jiwa dan dada. Setiap minggunya Ayu selalu menyempatkan diri menemui Amar, entah alasannya konsultasi keadaan Ningsih dan bayinya atau hanya basa-basi meminta tolong mencarikan lowongan kerja. Soalnya satu minggu lagi akan ada acara meriah, memperingati hari perpisahan. Melepaskan angkatan Ayu siap terbang menggapai mimpi lainnya.

Tanpa disadari Ayu juga, ia mulai ingkar akan janjinya. Dulu ia takkan pernah menyukai lelaki lagi, kecuali lelaki itu sudah mengungkapkan isi hati langsung kepadanya. Namun, Amar tak pernah sekalipun berkata demikian, mungkin hanya Ayu saja yang merasa mereka berdua akan menjalin hubungan ke jenjang paling serius. Tidak mempedulikan derajat yang sangat beda. Pendidikan jauh, kekayaan apalagi.

Selain sengaja bertemu, Ningsih juga kadang sengaja mencari cara meminta Dokter Amar datang ke rumah. Memberikan alasan, bahwa ia wanita yang baru memilki anak, takut terjadi hal tidak diinginkan, tapi setelah Amar memeriksa keadaan si bayi tidak terjadi apa-apa. Ia tahu, Ningsih hanya mengada-ngada. Amar pula selalu menebak, apakah Ningsih menyukainya? Selalu saja setiap pertemuan, akan ada cubitan manja atau tiba-tiba merengkuh tangannya.

Bukankah tidak wajar? Memang, mereka ada di kamar yang tertutup dikarenakan Asih yang selalu berjalan ke sana ke mari untuk membawa alat yang Amar minta. Membuat Ningsih leluasa memainkan.  Ingin sekali Amar menolak, tapi ia juga ingin bertemu dengan Ayu.

"Nanti gua sendiri, dong!" protes Ningsih, kala Asih bersiap pergi dengan Ayu.

"Lah, emang kenapa? Udah bisa jalan juga!" balas Ayu.

Ningsih mengikat rambutnya. "Ya udah, lu panggil Dokter Amar, gih! Anak gua kayaknya panas."

Ayu menatapnya tak suka. "Ngapain, sih, harus manggil dia mulu? Kalo mau, lu panggil aja tetangga sama rekan kerja. Gua tau, anak lu baik, lo aja yang kegatelan pengin ketemu!"

"Eeh ... pada ngomongin apa, sih? Udahlah, nanti tinggal kamu telepon aja atuh, Ning!"

Ningsih tersenyum menang. "Iya, Mak ... protes mulu tuh, manusia!" sindirnya.

Bagaimana tidak protes? Selalu saja Ningsih meminta Amar datang dan datang. Rasanya Ayu malah cemburu, padahal 'kan Ningsih sudah punya suami. Setelah menghidupkan motor, mereka berdua meninggalkan rumah dengan cepat. Seperti biasa, lapangan upacara didekorasi semeriah mungkin. Penampilan para siswa juga, ada yang memakai batik, kebaya bahkan untuk laki-laki kebanyakan memakai jas hitam. Ayu sendiri memakai batik milik Ningsih.

Dari baju lengan sesiku, sedangkan roknya sampai mata kaki. Rambutnya yang sebahu sengaja diuraikan, ada beberapa helai dijepit ke pelakang. Tentunya ditata rapi oleh Asih karena Ayu sangat bodoamat dengan penampilan. Orang lain memakai lipstik merah merona, Ayu malah tak memakainya.

"Kek lonte, Mak!" ketusnya, waktu ditawari memakai lipstik oleh Asih.

Mendapat nomor duduk paling tengah, leluasa Ayu berjalan karena roknya itu sangat kebesaran mengingat tubuh Ningsih yang gempal. Duduk di samping Asih, menatap keadaan sekitar mulai ramai. Ayu memilih memainkan ponselnya. Mengingat waktu lalu saling bertukar nomor ponsel, sebuah pesan datang dari Amar.

[Katanya perpisahan, ya?]

Ayu segera membalas tanpa menunggu lama, bahkan dilama-lamakan agar dianggap sibuk atau sedang chatting dengan orang lain.

[Iya, 'kan udah dikasih tau, lu!]

Tetap dengan gaya bahasanya, tanpa ragu Ayu tak pernah berbicara aku-kamu lagi kecuali saat keadaan, di mana hatinya sangat tak beraturan karena tingkah manis Amar. Tidak lama, balasan pun datang.

[Maaf, ya, ada banyak pasien, nih. Terus bilangan ke kakak kamu, saya gak bisa datang. Bukannya tidak mau, di dinas banyak kerjaan. Kalo mau, Ningsih kamu antarkan ke sini, ya.]

[Oh, ya, Happy Graduation Ayu ... semoga jadi lulusan terbaik ~♥~]

Pesan pertama dan kedua memberikan kesan berbeda. Antara merasa senang karena Ningsih dipastikan kecewa, juga karena Amar meninggalkan emoji cinta di akhir kalimat. Apakah akan ada cinta yang nyata di antara mereka? Ayu menutup wajahnya dengan kedua tangan, melupakan hasil make up Ningsih yang terlihat asal. Setelah mengembuskan napas panjang, Ayu segera membalas kembali pesannya.

[Iya, kayaknya anak mbak Ningsih gak panas, itu emaknya doang yang pengin panas-panasan ke luar kali _- nanti gua mampir ke sana, ya ~♥~]

Ayu menahan napas, pesan diakhiri emoji cinta sudah terkirim. Setelah menunggu beberapa saat sampai lima menit, tak ada jawaban yang ia dapat. Terpaksa memasukkan ponsel ke dalam tas kecil, lalu pertunjukan pembukaan acara dimulai. Sangat meriah, ditemani makanan luar biasa enak. Asih juga tanpa malu membawa beberapa buah seperti jeruk, potongan semangka, salak, bahkan apel ia sembunyikan ke dalam tas tangannya.

"Kasian, Ningsih pasti mau," ucapnya menjawab kerutan aneh di dahi Ayu.

Selesai pertunjukan dari beberapa kelas, sampailah ke pengumuman kelulusan paling terbaik. Tentu saja, tidak ada nama Ayu yang tertera di sana menjadi salah satunya. Dia siapa? Lulus juga alhamdulillah. Jadi, doa dari Amar agar menjadi lulusan terbaik, hanyalah khayalan semata. Selanjutnya acara selesai, Ayu diberikan sebuah medali dan ijazah sekolah dari wali kelasnya.

Tidak lupa mengabadikan foto di latar belakangi nama sekolah. Juga ucapan selamat atas kelulusan para siswa. Selain bersama sang teman, Ayu mengajak Asih untuk berfoto dengannya. Tukang foto segera mencuci permintaan Ayu, satu bersama teman kelasnya, termasuk Bayu. Satu lagi bersama Asih,  tentunya tanpa harus membayar karena pihak sekolah telah menanggung semuanya.

"Enak, ya, kenapa kagak ajak, Ningsih? Lumayan difoto gratis!"

Ayu menolah malas. "Gak gitu juga, Mak, konsepnya tau, kan? Barusan kita ngantre? Yang gratis gak bakalan sepi!"

Asih tertawa. "Iya, ya, tapi enak, Yu ... nanti cucu emak bisa langsung punya foto waktu bayi gratis."

"Hadeuh ... udah, balik, yuk!"

Sesampainya di depan rumah, Ayu baru tersadar bukannya ia akan pergi menemui Amar? Tanpa menunggu lama, baru juga Asih melepas sandalnya, Ayu sudah kabur tak memberitahukan tujuannya.

"Ih, tuh anak napa, juga ...."

Kecepatan penuh dan hati-hati agar tidak terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan. Ayu segera berlari memasuki rumah dinas spesialis dokter kandungan. Masih tidak ada perubahan dari aspek bangunan, benar apa yang dikatakan Amar, banyak sekali pasien duduk di kursi tunggu. Jadi, apakah Ayu akan memaksa masuk ke ruang kerjanya? Lah, siapa dia? Terpaksa Ayu berjalan lurus menuju kantin.

Ada beberapa pengunjung sedang menghabiskan makanan di piringnya. Sambil bercakap-cakap juga, mengingat tadi sudah makan di sekolah, Ayu hanya memesan teh dingin saja, lalu memutuskan memainkan ponsel menunggu waktu jam istirahat kurang lebih lima belas menit lagi. Kenyamanannya terganggu oleh wanita yang memiliki postur bak model.

Bukan hanya tubuhnya saja, semuanya yang dipakai nampak mahal. Dari kacamata hitam, kedua telinga dihiasi anting cantik, sebuah kalung brilian yang sangat indah menghiasi leher jenjangnya. Sampai baju berwarna putih dipadukan blazer hitam, membuat kulit putihnya terlihat sangat sempurna dipandang. Kedua jemarinya juga sangat lentik, setiap kuku panjangnya diberikan pewarna bening.

Ayu menelan ludahnya kasar. "Njir, itu pasien? Mau konsultasi apaan? Apa gak bisa hamil?" batin Ayu, tidak lepas memandang manusia sempurna di depannya.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang