Bab 4. Dikecewakan Mantan

758 36 0
                                    

Senin pagi yang sangat tidak diharapkan datang, inginnya tetap libur mengurung diri di kamar. Apalah daya sebagai pelajar, satu tahun lagi rasanya tidak maju-maju membuat Ayu kembali menahan tangannya menghancurkan motor mogok bukan waktunya. Dari dalam Ningsih mendengkus malas, ia yang bersiap pergi bekerja juga mulai memikirkan sesuatu, tapi tidak peduli juga karena Hamdan akan menjemputnya, sedangkan Ayu? Deritanya sendiri. Jadi, biarkan saja ceramah di depan rumah.

Asih ke luar, melihat anaknya yang sudah siap berangkat sekolah kesal karena motornya. Memang sudah lama motor matic yang Haryanto beli bekas itu, bahkan seharusnya dibuang ke rongsokan saja. Namun, bagaimana ceritanya jika kendaraan satu-satunya milik mereka dijual dan rusak? Terpaksa Ayu harus jalan kaki menuju sekolahnya dipastikan butuh waktu dua kali lipat. Biasanya setengah jam hanya menggunakan motor, melewati pepohonan lebat dan sekarang apakah dia harus berjalan kaki satu jam? Derita orang pedalaman jauh dari keramaian.

Bukan Ayu namanya jika lebih baik kembali mengurung diri di kamar. Ia menghempas ransel yang sudah berusia hampir tiga tahun. Masih terlihat baik untuk dipakai, tapi dipastikan teman sekelasnya bahkan semua orang yang ditemuinya takkan dapat melihat, seorang Ayu membeli ransel baru. Mengetahui adiknya menyerah memilih tidur, Ningsih tidak mengerti Ayu itu kenapa? Mengapa bisa samalas itu? Apa penyebabnya? Biasanya jika Ayu ditanya demikian, ia selalu memalingkan wajahnya enggan menjawab.

Selain gumaman kecil. "Njir, kapan tamat, ah!"

Suara klakson motor terdengar dari luar, Ningsih segera menghampiri calon suami meminta untuk mengecek motor bututnya. Hamdan menurut walaupun belum pernah dan mungkin takkan bisa mengurusi masalah di hadapannya, tapi ada Ningsih yang percaya bahwa dia bisa. Terpaksa Hamdan menurut mulai menyalakan mesin motor matic butut itu, digas beberapa kali tidak ada tanda sama sekali untuk hidup berjalan menghalau rintangan.

"Harus ke bengkel, Ning."

Ningsih berpikir sejenak, masih ada uang simpanan miliknya lagian ruko majikannya pula bisa kapan saja bukanya. Jadi, Ningsih mengiyakan saja pergi ke bengkel dengan cara apa pun agar motornya bisa terpakai. Mengetahui motor butut di depan akan ke bengkelkan, Ayu tidak peduli asalkan hari senin ini berhasil tidak masuk sekolah, sesuai keinginannya. Haryanto dan Asih tersenyum hangat melihat Hamdan bersikap lembut, sedangkan Ningsih terlihat makin sayang juga kepada calon suaminya.

Tidak lagi didapati suara-suara manusia di luar, Ayu yang masih lengkap dengan seragam putih abunya segera melucuti dan mengganti dengan kaus oblong biasa, dipadukan celana selutut tak berwarna karena sudah pudar. Kembali ranjang adalah tempat favorit Ayu. Memejamkan mata, siap masuk ke alam mimpi. Namun, telinganya menangkap percakapan misterius di luar sana, sebelum benar-benar tidur pintu kamar terbuka. Asih menghampiri Ayu.

"Ada teman kamu, ngajak ke sekolah bareng."

Seketika Ayu terduduk, siapa? Sebelum bertanya, ia memutuskan berjalan cepat ke luar mustahil ada manusia berwujud perempuan dari sekolahnya. Hanya untuk mengajak bareng, sedangkan sekarang? Pukul delapan pagi! Telat sudah masuk sekolah yang normalnya jam tujuh. Sampai di depan pintu, sosok manusia tak diinginkan datang berdiri tegap di samping motor mahalnya.

"Ngapain lu di sini? Salah alamat, lu? Gua gak minta ke sekolah bareng, ya!"

"Santai ... mentang-mentang udah jadi mantan," kekeh Yodan lalu menyisir rambut keringnya ke belakang.

Ayu tersenyum kecut. "Gua gak mau sekolah, lu punya jam gak? Telat, oi!"

Baru datang berharap dipersilakan masuk dengan senyum membahagiakan, semuanya sirna Yodan menatap malas mantannya itu. Sudah untung dia datang, mengapa tahu Ayu tidak sekolah? Tadi Yodan juga kesiangan dan mendapati sosok Ningsih yang dikenal. Langsung saja mengulurkan tangan mengajak kenalan, menjelaskan bahwa ia calon adik iparnya. Tanpa menunggu lama Ningsih pun memberitahukan bahwa adiknya mogok sekolah.

Beruntungnya mendengar kabar peluang kembali pacaran, Yodan pun segera berbelok arah. Dulu ia pernah mengantarkan Ayu pulang jadi sangat hafal jalan dan track yang harus dilalui. Dari jalan tanah banyak lubang di mana-mana, kanan kiri jurang dan lebatnya hutan. Terbayang jika pulang malam, rasanya seolah diterkam ribuan mata merah di balik rerimbun daun hijau. Menatap jelas rumah bercat hijau yang sudah pudar karena usia, sosok Asih membuat Yodan bersyukur bisa bicara langsung dengan calon mertuanya.

Namun, apa yang didapati sekarang? Ayu menatapnya tajam tidak suka, bukan menahan senyum mendapati mantan datang. Asih mempersilakan tamunya itu masuk karena Ayu tetap kekeuh mengusirnya.

"Tamu gak diundang," maki Ayu.

Duduk di atas sofa biasa, bahkan hampir membahayakan pantat siap terjerumus ke dalam. Haryanto sedikit menyapa dan menyindir Ayu yang enggan sekolah, sedangkan waktu terus berjalan. Sampai Asih dan Haryanto pergi hilang ke ladang.

"Lu punya jam, gak! Kesiangan gini mau masuk sekolah," gerutu Ayu.

Yodan melirik jam tangannya. "Masa sih, lupa sama pepatah. Gak ada namanya terlambat. Udah, yuk! Daripada ketinggalan materi?"

Ayu beranjak dari duduknya. "Gua mau liat dulu motor, lu! Bagus gak buat ngangkut gua."

Secepat kilat Yodan berdiri mendahului Ayu, ransel hitamnya tersampir di atas jok motor. Sebuah kebodohan dan sangat tolol. Ayu segera masuk ke dalam, sedangkan Yodan siap memamerkan motornya itu.

Brak!

Pintu dibanting tidak lupa dikunci. Yodan mendongak, kena jebakan Ayu yang tak pernah dibayangkan. Makian dan teriakan meminta dibukakan tak mampu menggerakkan hati Ayu untuk berbalik badan. Kamar adalah istana baginya, lubang kedua telinganya segera tersumpal. Meskipun anak bandel dan sangat pemalas, soal musik sosok Ayu kadang sangat religius. Sambil memejamkan kedua matanya, lagu favorit Syair Doa Abu Nawas mengalun menentramkan hatinya hingga berakhir bibir kering itu menganga. Pertanda sebuah kepulauan akan dibangun tidak lama.

Di luar Yodan mendengkus kesal, ia gagal kembali mencuri hati Ayu. Percuma datang, mana bolos sekolah lagi. Katanya tidak ada kata terlambat, tapi menahan malu mengingat waktu pukul delapan tiga puluh? Apa jadinya? Dengan hati penuh luka dan kecewa, motornya nyaring berjalan pergi menjauh. Menatap nanar keadaan sekitar rasanya ingin menjerumuskan diri ke jurang sana. Namun, hatinya berkata lain. Ayu hanya remahan renginang, untuk apa diperjuangkan? Yodan tersenyum kecut lalu menambah kecepatan laju motornya. Berakhir sampai menapaki jalan beraspal.

"Sialan, ngapain gua ngejar manusia kek dia? Pemalas, kang bolos, gak suka dandan. Hilih!"

Bingung harus ke mana, Yodan memutuskan pergi ke kantin sekolah yang berada di belakang. Tepatnya tempat para manusia penghindar materi sekolah. Setelah memarkirkan motornya asal, beberapa siswa yang sama sekali tidak dikenali menatapnya penuh selidik. Mengingat hari itu adalah untuk pertama kalinya, Yodan menginjakkan kaki di jam pelajaran dan niat nongkrong di warung penghuni BK setiap harinya. Karena merasa paling senior, ia berjalan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Bi, kopi satu!" Yodan memesan tak memikirkan tatapan penuh tanya, kebanyakan yang hadir itu adik kelasnya.

Kemudian, tanpa disangka dan tidak pernah terpikirkan. Keadaan warung menjadi ribut, entah alasan apa Yando sendiri memilih menikmati kopinya. Tinggal dirinya sendiri duduk santai, sedangkan pengunjung yang diam-diam ke luar dari kelas sudah lenyap kabur tak tersisa menuju pintu rahasia. "Eh, anjing!" pekik Yodan.

"Pintar kamu sekarang, ha!"

Pekikan Yodan akibat telinganya dipelintir tertahan. Menahan senyum malu, ternyata ini toh gara-gara ribut pergi dari warung. Kasian, padahal baru pertama kali berkunjung.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang