Bab 20. Kekasih Amar?

494 23 2
                                    

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam untuk mendapatkan seratus tusuk, mereka pun memutuskan duduk di salah satu bangku taman. Sebuah lampu penerang, menjadikan keduanya tidak sulit mengartikan ekspresi masing-masing. Amar selalu menahan tawa karena Ayu tetap berkomentar banyak, tapi terus menghabiskan satu per satu telur gulungnya. Sampai, tersisa tujuh puluh tusuk Ayu menyerah. Memberikan sekantong sisanya.

"Makan sendiri!"

Amar pun mulai menarik satu tusuk telur gulungnya. Selalu enak, dengan saus tomat kentalnya.

"Makan berdua aja, biar cepet abis!" Amar siap menyuapi Ayu yang sudah ingin protes.

Di balik tawa dan beberapa pedagang menyebutkan harga termurahnya. Ayu terpaksa dengan wajah kesal membuka mulutnya, Amar tersenyum senang. Ia menggigit ujung telurnya, lau sisinya berharap Ayu ingin menghabiskan.

"Makan!" tegas Amar, menahan tawa saat Ayu menatap ujungnya sudah digigit oleh Amar.

"Siapa takut?" Ayu benar-benar menghabiskan sisa telur gulung yang Amar gigit tadi.

Karena merasa kehausan setelah menghabiskan seratus tusuk, hingga lupa waktu mereka dengan cepat membeli es teh dingin. Amar meminta hanya membeli satu saja, Ayu merajuk seharusnya Amar membeli juga.

"Nanti, minumnya berdua."

Ah, mengapa jawaban lelaki itu selalu membuat Ayu terdiam dan enggan berkomentar? Setelah mendapati satu cup es teh manis, mereka kembali duduk. Pertama Ayu menghabiskan sebagian, lalu dengan sedotan yang sama Amar mulai menghabiskan sisanya. Ayu tetap menatapnya aneh.

"Gak jorok apa?" batin Ayu, tapi yang didapati Amar malah mengacak rambutnya gemas.

Jam tangan sudah menunjuk pukul sepuluh malam, mereka pun pergi ke parkiran tidak lupa tangan Ayu menjinjing dua kotak martabak telur yang masih hangat. Dalam perjalanan, tidak habisnya Amar bercerita dan berjanji akan mengajak Ayu ke sana lagi. Malam minggu depan. Tentu saja Ayu langsung mengiyakan, tapi dengan syarat jangan membeli telur gulung lagi seperti tadi.

"Nanti jerawatan makan telur kebanyakan!" protes Ayu.

Amar tertawa. "Lah, kamu jawab terserah tadi."

"Ya ... ngotak, dong! Masa seratus tusuk."

Kepala Amar sedikit menoleh, lalu berteriak, "Asalkan udah abis, masuk ke perut!"

Benar juga, sih, selanjutnya mereka melewati jalan sepi yang menghitam. Hanya cahaya dari lampu motor sebagai penerang, dengan hati-hati Amar melajukan motornya hingga sampai di depan rumah Ayu. Sepi, tidak ada suara televisi. Ayu memintanya masuk ke dalam, tapi Amar menolak segera pergi begitu saja, dengan alasan sudah malam takutnya mengundang banyak orang datang. Tidak didapati suara motor di kejauhan, Ayu memutuskan mendorong pintu yang tidak dikunci.

Asih dan Haryanto sudah tertidur pulas di depan televisi yang mati. Tanpa diminta, Ningsih ke luar dengan wajah ditekuknya. Ayu terdiam di tempat sambil menjinjing dua kotak martabak pemberian Amar.

"Enak juga, ya, main sama dokter! Dapet makanan banyak," ucap Ningsih, kentara wajahnya terlihat cemburu dan kesal.

Ayu menatap malas. "Dikasih," balasnya.

"Mana liat!"

Mengingat waktu lalu, saat Hamdan datang untuk pertama kalinya dan membawa bingkisan. Di mana, waktu Ayu ke luar dari kamar Ningsih segera membawa. Masih teringat pula, Ayu benar-benar tidak tahu isi kotak itu. Sekarang? Kakaknya malah meminta kotak pemberian Amar diberikan? Aneh, ya, gak ada gitu ingatan datang menilai sikapnya dulu? Tapi, Ayu tidak seperti kakaknya. Diberikanlah satu kotak martabak.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang