Bab 14. Mulai Pendekatan

534 29 1
                                    

Semakin kacau saja Amar menyebut nama Ayu langsung. Antara ingin meladeni karena kayaknya asik diajak ngobrol, tapi mengingat pengalaman yang lalu. Rasanya sangat menyesakkan dada jika mengetahui faktanya. Namun, tatapan diam-diam Ayu tak membuahkan hasil, di jemari manis Dokter Amar sama sekali tak ada sebuah cincin. Sebagai pertanda sudah memiliki tunangan. Bisa saja, tahun nanti akan berlangsung? Jadi, Ayu kembali mengacuhkan manusia menjelma lelaki.

Ia hanya akan meladeni, kala lelaki bersamanya mengucapkan terima kasih. Karena ia ingin berjalan bersama, lalu mengungkapkan isi hati sebenarnya. Sayang, semua harapan hanya segenggam khayalan. Jalanan mulai memasuki kota. Melaju kencang melewati kendaraan umum yang parkir sembarangan. Hingga menepi di depan parkiran membiarkan Ayu ke luar. Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, Amar pun menghampiri Ayu sedang berusaha menghidupkan motor, tapi gagal.

"Sudah, nanti saya panggilkan montir. Kita makan dulu, bagaimana?"

Degup jantung Ayu semakin tak beraturan. Makan berdua maksudnya? Ia siap melarikan diri, memilih mendorong motornya lagi berusaha mencari bengkel di sekitar sana. Padahal sama sekali tidak membawa uang banyak, bodohnya. Tentu saja, Amar melarang. Menarik pergelangan tangannya keras, menyeret masuk menuju pintu kantin. Ayu yang biasanya mampu melumpuhkan seseorang, kini tenaganya habis terkuras. Oleh ketakutan, juga rasa aneh semakin menggebu di dalam dada. Kedatangan mereka berdua, membuat para penghuni kantin mulai berbisik ria.

Menduga-duga, siapakah gerangan gadis bersama Dokter Amar itu. Namun, tidak lama karena mereka segera pamit menunggu antrean. Berarti tinggal Amar dan Ayu yang duduk di antara belasan kursi kayu kantin. Seperti tidak memilki pilihan, Ayu kembali memesan nasi goreng dan teh manis. Sialnya lagi, Amar mengikuti sambil menahan senyum. Dapat Ayu tebak, lelaki di depannya itu memang dari tadi selalu saja menahan senyum. Apakah ada yang tidak beres dengan penampilannya?

Tanpa disadari, Ayu merasa harus cantik saat berhadapan dengan Amar. Rasanya ia memang diwajibkan menjadi wanita sejati saat berhadapan. Nyatanya, ia siapa? Mengapa harus berbuat demikian? Untuk ribuan kalinya, Ayu tidak peduli. Cara makannya mulai dijaga, tidak terlalu cepat, tapi harus santai dan menjaga gerak tubuh secara gemulai. Berasa akan menari saja. Masih kaku, Amar mengetahui sikap Ayu yang dibuat-buat. Pasti hanya untuknya, bukan?

Untuk siapa lagi gadis dengan kaus oblong hitam dan jins belel mulai tebar pesona? Di kantin tidak ada lelaki lain. Jadi, Amar hanya mampu mengikuti alur yang sudah Ayu mulai. "Kamu bolos gak sekolah?"

Pertanyaan biasa, kala Ayu sering sengaja bolos, tapi ketika Amar yang bertanya, kok rasanya ia seperti mendapat pertanyaan yang menghantam ulu hatinya? Ah, ya mungkin efek cinta buta. Ucapan yang harus didengar dari sang pujaan, seharusnya adalah pujian. Bukan sindirian! Ayu menggeleng lemah, sambil menunduk dalam menghindari tatapan bola mata kecokelatan Amar.

"Bukannya mau ulangan? Kok gitu," lanjutnya, tanpa memikirkan wajah Ayu yang menahan malu.

Ayu pun membalas, "Terus yang jemput elu buat ke rumah siapa? Bapak? Ibu? Mereka gak bisa!"

Amar mengetuk ujung sendoknya ke piring. "Bukannya ada banyak tetangga, gak mungkin dong mereka gak bisa ngendarain motor?"

Oh, jadi tindakan Ayu menjemput Dokter Amar itu salah? Antara tidak mau dijemput oleh Ayu atau tidak suka melihat Ayu tidak sekolah. Sebelum membalas lagi, Amar segera berkata, "Fokusin aja ke sekolah, toh kamu katanya gak mau kuliah."

"Kok, jadi elu yang repot, sih! Ini hidup gua," protes Ayu, nafsu makannya menjadi hilang, ia izin ke toilet meninggalkan Amar dengan wajah kebingungan.

Tiba-tiba, Bi Nonoh penjaga kantin datang. "Dokter, yang tadi siapa? Kok bicaranya gak sopan," ucapnya diakhiri tawa.

Dokter Amar menoleh lalu tersenyum kecil. "Adik pasien saya. Gak papa kok, dia emang anak sekolahan."

"Owalah, tak kira siapanya gitu."

Sosok Ayu datang dengan wajah ditekuk malas. "Semuanya lima belas, ya?"

Bi Nonoh mengangguk. "Iya, Neng."

Sebelum Ayu menyelipkan jemarinya ke balik saku jins, Amar sudah mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. "Saya sama dia."

"Oh, iya, Dok." Bi Nonoh pun pergi menuju dapurnya, mencari uang kembalian, sedangkan Ayu menatap tajam Amar.

"Gua masih mampu, kali!" ketusnya.

Amar mendongak malas. "Saya yang ajak kamu makan. Jadi, saya juga yang membayarnya."

"Ya ... 'kan gua yang makannya!" Ayu tetep ngotot ingin membayar.

Lagi, Amar menghentikan suapan berikutnya. "Udah, tabung aja uangnya."

Sikap seperti inilah yang Ayu pertanyakan. Apakah lelaki itu menganggapnya sebagai adik? Memberikan kenyamanan bukan karena ingin mempermainkan? Ah, Ayu mulai salah tingkah. Selesai menghabiskan nasi goreng, mereka berdua berjalan ke luar menuju parkiran. Amar langsung memanggil salah satu kenalannya yang bekerja sebagai montir.

"Langsung bawa alatnya aja, iya soalnya mau pulang hari ini. Bisa, kan? Ok, jangan lama, sip!"

Amar menghampiri Ayu yang tetap mencoba menghidupkan motornya. "Yuk, nunggu di ruangan saya saja."

"Ogah! Gua di sini aja," tolaknya.

"Kamu tuh, ya, gak pernah sekalipun menurut." Amar mulai geram, ia kembali mencengkeram tangan kiri Ayu.

Seketika Ayu tersadar, perlakuan Dokter Amar kepadanya itu melebihi dari seorang kakak ke adiknya, apalagi kepada temannya. Jadi, mereka seperti pasangan kekasih yang sempurna? Di depan, Ayu melihat antrean yang tersisa tinggal beberapa lagi. Namun, cekalan tangan Amar masih belum juga dilepaskan. Menandakan, akan ada bisik-bisik lain tercipta. Terpaksa, Ayu berjalan mengikuti Amar, mencoba menyembunyikan tanganya itu.

Sampai di ruangan dengan AC menyala dan harum menyerbu. Barulah, Amar melepas cekalannya yang sangat parah! Membuat pergelangan tangan Ayu memerah, tapi itu bukan merah luka. Hanya aliran darah tertekan lama. Nanti juga akan menghilang, tapi Ayu menganggap luka. "Ih! Kasar banget jadi dokter, ya!"

Amar tertawa nyaring lalu duduk di tempatnya. "Apa? Kamu berani sama saya?"

"Ha! Kenapa enggak?" sungut Ayu, melupakan tatapan Amar yang menilainya dari ujung rambut sampai ujung kepala. "Napa lu, liatan gua kek gitu!"

Amar menahan tawa, mencoba bersikap dingin kepada Ayu. "Kamu hanya adik dari pasien saya, bisakah bersikap sopan kepada orang yang lebih tua?"

Ayu mendelik sebal. "Mau sopan gimana! Elunya juga gak sop—"

Tatapan tajam Amar membuat Ayu ciut melanjutkan ucapannya, ia sadar Amar memang sedang berbicara serius. Mengenai derajat mereka, sedangkan ia sendiri tanpa malu berbicara tidak sopan kepada Dokter Amar. Ayu menunduk dalam menyadari kesalahannya. Melihat ekspresi Ayu yang lemah dan pasrah, Amar tak mampu menahan tawa lagi.

"Hahaha!"

Ayu menatapnya aneh, ia masih berdiri kaku. "Kenapa, Dok?"

Amar menutup mulutnya kuat-kuat. Selanjutnya, pintu di belakang Ayu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang biasa dengan baju montirnya. Beberapa bekas oli hitam menempel kuat, mengotori warna baju berwarna biru langitnya.

"Eh, Wir! Duduk." Amar mempesilakan, sedangkan Ayu masih terdiam membisu berdiri kaku.

Wira menoleh bingung, mengetahui usinya sangat tua dan gadis di sampingnya masih remaja ia memanggil Ayu, "Dek, duduk."

Ayu tergagap, "I—iya."

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang