Bab 18. Jangan Begadang

434 25 1
                                    

Sosok cantik itu membuka dompet mininya yang tersampir di lengan kiri. Mengeluarkan iphone-nya yang Ayu tahu memiliki harga selangit. Ia mulai fokus memainkan ponsel, lalu terlihat sedang memanggil seseorang, tapi kayaknya tidak diangkat. Nampak wajahnya kecewa. Saat Ayu kembali menatapnya, perempuan di depannya itu segera beranjak pergi. Tinggi badannya jauh lebih tinggi dibanding Ayu, tapi pasti sangat sama dengan Amar.

"Kasian, udah cantik tapi masih ada masalah kesehatan. Siapa, ya, tuh orang. Ah! Kenapa gak nanya tadi? Butuh pembantu, gak? Gua tebak nanti bekas bajunya dibuang, tuh, nah karena gua jadi pembantu tuh cewek dipastikan bajunya jadi gua yang pakek," oceh Ayu, mulai berkhayal.

Saat yang dinantikan pun datang. Beberapa perawat memenuhi kantin, tapi tidak didapati sosok Amar datang. Apakah lelaki itu memilih makan di ruangannya? Tanpa menunggu lama, Ayu segera berjalan pergi siap menemui lelaki itu. Sampai di depam pintu, seperti biasa ia akan begitu saja masuk tanpa mengetuk dan Amar sudah biasa menanggapi sikap Ayu tersebut.

"He, kirain pakek kebaya." Amar bersedekap menatap tampilan Ayu yang baru di matanya.

Ayu duduk di kursi. "Enggak! Eh, tadi banyak banget antrean capek, ya?"

Amar tertawa, ada bayangan rasa lelah di matanya. "Alhamdulillah, daripada gak ada yang datang?"

"Iya, sih, lu gak ada niat makan apa?"

Tatapan mata Amar seketika beralih, membuka lemari di bawah kakinya. Sebuah tas makan sudah tersimpan rapi di atas meja.

"Makan bareng?"

"Gua udah makan tadi," tolak Ayu.

Amar mendengkus, saat tangannya siap menarik kotak nasi di dalam. Tiba-tiba dering ponselnya bergetar di atas meja, Ayu tidak bisa melihat jelas nama si penelpon, soalnya Amar dengan cepat menyambar. Tatapan matanya sedikit kesal, lalu memilih menolak panggilan. Membuat Ayu kebingungan.

"Kenapa? Siapa?"

Amar menatap Ayu ragu. "Ibu saya."

"Lah, kenapa gak diangkat? Gak sopan!" protesnya.

Hembusan napas kasar terdengar jelas, Amar berkata, "Palingan minta saya pulang ke Jakarta, padahal ada banyak tugas di sini juga."

"O-oh, mungkin kangen kali?"

Amar menggeleng lemah. "Udahlah, makan, yuk!"

Kembali, Ayu menolak ia hanya menatap Amar makan dengan lahap. Diiringi tawa menceritakan beberapa pasien konyol yang barusan ditangani. Amar juga tak ragu mengacak rambut Ayu, membuatnya kesal. Selesai makan, jam istirahat pula akan segera berakhir. Jadi, Ayu memilih pamit pulang.

"Maaf, ya, gak bisa ngajak jalan," ucap Amar mengiringi Ayu yang berjalan ke luar.

"Apaan, sih! Gua yang ganggu."

Amar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Nanti, malam minggu saya jemput, deh!"

Aneh, tak ada ungkapan cinta sama sekali di antara mereka, tapi rasanya mereka itu begitu terikat. Sangat tidak suka, satu hari saja tanpa mendengar kabar dari salah satunya. Parahnya lagi, Ayu yang selalu menderita mengingat pekerjaan Amar yang tidak gampang menangani pasien. Setelah melambaikan tangan, Ayu melajukan motornya cepat. Berbunga-bunga hatinya, siap bermekaran lalu ia petik dan diberikan kepada Amar.

Di sepanjang jalan, tidak lelahnya Ayu berkhayal tentang masa depan. Bagaimana jadinya ia menjadi istri dari Dokter Amar? Dulu yang dia maki dan tidak terbayang bagaimana sosok istrinya! Namun, sekarang ia malah berkhayal jadi wanita menderita itu. Sampai di rumah, Ningsih memberikan ribuan tanya. Ke mana ia barusan.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang