Bab 21. Jaga Jarak

459 26 0
                                    

Memutuskan untuk menjaga jarak dengan alasan banyak lamaran kerja yang ditolak, membuat Amar tidak bisa fokus bekerja atas jawaban Ayu saat ia memilih mengunjungi rumahnya. Setelah Ayu diterima di salah satu perusahaan, semakin sulit saja mereka bertemu. Mengingat beberapa pesan tak pernah sama sekali dibaca oleh Ayu akhir-akhir ini. Amar semakin curiga tidak seperti biasanya juga, tingkah gadis yang selalu ceria itu tiba-tiba menjadi pendiam. Sulit diajak main, mau siang ataupun malam. Hingga memilih bertanya apa salahnya? Tentu saja jawabannya adalah tidak apa-apa. Hanya fokus bekerja saja.

Amar enggan berhenti menanyakan keadaan Ayu yang sangat aneh. Tidak terasa, tiga bulan berlalu saat hari istirahat bagi Ayu, hanya dihabiskan mengurung diri tanpa ada niat berbicara panjang. Walaupun Amar rela meninggalkan beberapa pekerjaannya, demi mengajak bicara Ayu.

"Si Ayu ... jual mahal amat tuh, anak! Diajak main sama dokter sok nolak, lu kenapa!" Ningsih mengoceh tidak suka saat kedatangan Amar lagi-lagi ditolak Ayu dengan alasan anehnya.

Asih menenangkan anaknya itu. "Mungkin, Ayu emang capek karena kerja, Ning. Sudahlah, nanti juga balik lagi sifatnya."
Ningsih mendengkus. "Emang aneh! Jangan disia-siakan, Ayu. Kalo gua jadi elu, udah minta diajak kawin!"

Di dalam kamar, Ayu tidak mempedulikan ocehan kakaknya itu. Niat Amar kembali menjalin kebersamaan sudah Ayu buang sia-sia. Setiap harinya hanya bisu dan bisu. Tanpa menunggu lama, Amar mencari tahu kepada penjaga meja resepsionis di rumah dinasnya.

"Terakhir kali kamu melihat, Ayu, kapan?"

"Waktu, Bapak mengantar Ayu pulang," jawabnya cepat.

Amar mengangguk. "Suster Tia, di mana?"

Marisa yang sudah lama menjadi penjaga resepsionis menjawab pertanyaan Amar, bahwa asisten dokternya itu sedang berada di kantin. Amar pun segera beranjak pergi, menanyakan hal yang sama. Kapan terakhir kali melihat Ayu datang?

Tia sedikit mengerutkan kening mencoba mengingat lagi. "Oh, kayaknya, waktu Dokter Amar ketemu, sama temannya yang dari Jakarta itu, loh."

Ah, sial, Amar merutuki pertemuan yang tak diharapkannya itu. Jadi, Ayu salah paham kepadanya selama tiga bulan penuh itu? Mengapa ia tidak menduga? Dan bukankah waktu lalu Ayu tidak akan datamg karena memberikan surat lamaran ke beberapa perusahaan? Amar segera pergi, menginjak pedal gas dengan cepat. Menuju sebuah rumah yang sudah ia hafal di luar kepala jalannya. Sampai di depan rumah yang terlihat sepi, Amar segera mengetuk pintunya cepat.

Lama, tidak ada sambutan dari dalam, tapi Amar tetap berusaha. Hingga sosok Ayu dengan penampilan sederhananya terkejut, melihat siapa gerangan tamu di pagi hari. "Ngapain!" Ayu berkata kasar, dengan wajah kesalnya.

"Saya, mau jelaskan semuanya. Kamu salah paham, Ayu," ucap Amar tenang.

Ayu menelan ludahnya kasar. "Jelasin apaan? Ngapain, sih, ke sini mulu? Emang kita punya hubungan apa? Kerabat? Kagak!"

Kata-kata yang dilontarkan membuat Amar mundur selangkah. Setelah tiga bulan penuh ia berjuang agar bisa dekat lagi, tapi saat ingin menjelaskan kesalahpahaman Ayu, apa yang didapatkannya? Ia sadar diri. Bukan siapa-siapa Ayu. Jadi, Amar memilih menjauh. Pergi dengan mobilnya tanpa sepatah kata, mengakhiri pertemuan terakhirnya. Seketika Ayu tersadar akan ucapannya, mengapa ia berkata demikian? Apakah Amar marah?

Ayu menutup mulutnya. "Kok, gua ngomong ngasal, sih!"

Sesungguhnya, menyesal itu akan datang di akhir. Ayu ingin mengejar Amar, meminta maaf bahwa ia tidak seharusnya berkata kasar seperti tadi. Namun, ia malu. Bukankah mereka bukan siapa-siapa? Hanya bertemu lewat Ningsih saja? Ayu masuk ke dalam kamar. Menunggu ponselnya menandakan pesan datang. Dari nama yang dulu selalu dinantikan membalas pesan. Sayang, sekarang berubah total, apalagi setelah ucapannya barusan.

"Kok, gua anjing, sih! Kenapa ngomong gitu, Ayu, tolol! Lu tau, gak? Dia pasti sakit hati!" Ayu terus mencaci dirinya sendiri sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. "Tapi ... lo tau juga, Yu, dia udah punya pacar. Ngapain lu nyalahin diri sendiri! Lu bener, kok! MENJAUH!"

Perasaan yang telah tumbuh terlarang itu tetap ada, enggan hilang dengan cepatnya. Hingga Ayu mengingat ucapan Amar tadi, bahwa ia ingin menjelaskan sesuatu yang membuatnya salah paham, bukan? Apa itu? Apakah tentang pertemuannya dengan wanita model itu? Apakah akan menjelaskan bahwa mereka akan menikah? Bukan bersaudara? Salah pahamnya di mana? Oh, mungkin salah paham atas sikapnya kepada Ayu selama ini. Mungkin Amar sudah menganggapnya sebagai adik sendiri?

"Miris banget hidup gua, dari dulu deket sama yang udah punya gandengan.

Sekalinya sama-sama single, tapi bukan tipe," ringisnya.

Beruntungnya, Ningsih dan Asih sedang pergi ke desa untuk posyandu. Setelah mencoba tidur agar bisa menenangkan diri, tapi gagal. Ayu memilih berjalan pergi dengan motornya ke luar. Sengaja hanya ingin melewati rumah dinas Amar. Apakah lelaki itu akan menunggunya di luar? Suara motor lalu lalang tak dapat menghambat titik fokus Ayu. Ia menatap pasrah parkiran penuh di sana. Dipastikan tugas Amar sedang banyak sekarang.

Ayu ingin memutuskan masuk, hanya diam di kantin. Duduk di tempat yang dulu pernah berduaan dengan Amar. Namun, ia memilih terus berjalan pergi menuju alun-alun kota yang tidak seramai malam mingguan. Sekarang adalah hari selasa. Hari kerja, sedangkan para pasangan kekasih yang masih duduk di bangku sekolah masih belajar di rumah. Ayu memutuskan memarkirkan motornya di tempat dulu saat bersama Amar. Berjalan lunglai, mengelilingi beberapa pedagang kaki lima yang mangkal.

Tukang telur gulung ada di sana. Seratus tusuk, Ayu segera memesan dan permintaannya sudah berada di tangan. Duduk manis di tempat malam itu juga. Kali ini bukan malam, tapi siang bolong kepanasan. Ayu tidak peduli, asalkan ia bisa membayangkan drama cintanya di malam minggu. Entah kebetulan atau bagaimana, pengemis nenek-nenek yang dulu diberi uang dua puluh ribu oleh Amar, menghampiri Ayu terbungkuk-bungkuk.

"Sabar, Neng ... biasanya rumah tangga anak muda, banyak likuan tajam. Seharusnya dilalui bersama," jelasnya, membuat Ayu mengerutkan dahi dalam, tapi tetap memberikan senyum kecil.

Tidak seperti Amar yang isi dompetnya sangat tebal, juga berisi belasan kartu pengganti uang tunai. Ayu hanya mampu memberi uang lima ribu kepada pengemis itu.

"Doain aja, Nek, keluarga saya baik-baik aja," balas Ayu.

Pengemis itu tersenyum, giginya sudah menghilang sebagian. "Nanti juga ketemu, makanya cepat pulang, ya."

Ucapan terakhir itu membuat Ayu bimbang, ketemu dengan siapa? Namun, Ayu tetap mengikuti saran pengemis itu. Toh, ia tidak memiliki tujuan lain ke alun-alun juga. Masih tersisa banyak telur gulungnya, Ayu memutuskan memberikan kepada pengamen jalanan. Lanjut, pergi pulang, saat di perjalanan ia menemukan sebuah alfamart. Karena tidak membeli es teh di alun-alun tadi, terpaksa Ayu menepi berniat membeli minuman segar dari sana.  Masuk ke dalam, menuju tempat minuman dingin. Di ujung sana, terdengar pintu dibuka oleh seseorang.

Ayu tetap memilih minuman paling murah, tidak mempedulikan siapa gerangan pengunjung yang datang. Setelah menemukan minuman segar dengan harga lima ribu rupiah, Ayu berbalik cepat. Langkahnya terhenti, kala menemukan sosok lelaki yang ia hindari selama tiga bulan. Bahkan tadi pagi ia sudah memberikan luka karena ucapannya. Sebelum menyembunyikan wajah dengan kupluk sweter, sosok Amar sudah menemukan Ayu berdiri tegang di sana.

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang