Bab 13. Tercipta Rasa Terlarang

596 30 2
                                    

Hari demi hari dilalui tanpa hambatan yang mengguncang kehidupan penuh kesederhanaan. Kabar persalinan sudah menyebar, sedangkan ulangan di sekolah semakin menjadi, memberikan beribu tugas untuk melatih otak setiap siswa. Tujuannya agar terbiasa dengan ribuan angka dalam soal yang wajib dikerjakan, bukan ditebak seperti kebiasaan Ayu. Rintihan setiap malam pula kerap terdengar, menandakan tanda-tanda tak lama si bayi akan ke luar.

Asih adalah penolong bagi Ningsih, ibunya itu akan selalu berada di sampingnya. Hamdan sendiri di Jakarta tetap fokus mencari setumpuk uang, tentunya untuk biaya persalinan. Mengingat siapa yang akan membantunya? Selain berjuang sendiri demi istri dan calon bayi. Mendengar erangan dan keluhan, Ayu semakin pusing menghafal beberapa materi untuk diulangankan. Ia mulai menyerah, enaknya langsung ke luar saja tanpa melalu UN segala, tapi apalah daya, ia hanya bisa bersabar menjalani ujian.

Sampai, bulan terakhir detik-detik perut Ningsih membesar, tak mampu sama sekali berjalan. Terpaksa Ayu menyusul Dokter Amar, pertanda akan melahirkan anak pertamanya. Asih pula mengingatkan, bahwa Ningsih diperkirakan bisa lahiran di rumah. Jadi, Dokter Amar harus membawa peralatannya bersama Ayu nanti. Di hari rabu pagi itu, Ayu kembali membolos di saat materi kelas sepuluh dan sebelas diulang. Demi sang kakak, ia rela melakukan apa pun.

"Dokter Amar, ada di ruangan?" Rasanya, Ayu sangat jijik memanggil Amar diawali jabatannya itu.

Suster yang baru mengantar pasiennya ke luar menjawab, "Mbak, ambil nomor antre, ya, Dokter Amar masih bertugas."

Bukan waktunya! Ayu pun berlarian masuk menuju pintu yang ia hafal. Tanpa permisi segera membukanya, sosok Amar sedang mendengarkan keluhan sang pasien seketika terhenti. Menatap bingung Ayu dengan wajah kepanasannya.

"Maaf, saya belum meminta pasien berikutnya masuk," ucap Amar dengan sikap profesional, seolah melupakan sikap santainya di hari lalu saat ia beristirahat bersama di kantin.

Tanpa menunggu lama dan berbasa-basi segala, Ayu segera berkata, "Mbak, gua mau lahiran!"

Amar beranjak dari duduknya, ia harus menyelamatkan wanita itu sekarang juga. Tidak lama, seorang suster datang meminta maaf karena Ayu begitu saja masuk.

"Tidak masalah, tolong panggilkan Bidan Desi, bilang urus semua pasien dahulu. Saya akan pergi sekarang," jelas Amar, seraya mengambil tas kerjanya.

Menebak keadaan Ningsih yang masih di rumah, Amar pun segera membawa peralatan untuk melahirkan, lalu mengajak Ayu untuk ke luar meninggalkan antrean pasiennya yang belum ditangani. Sesampainya di parkiran, Ayu segera menyalakan motornya, Amar berniat duduk di belakangnya. Namun, sial di saat keadaan darurat itu. Motor enggan hidup sama sekali.

"Kenapa? Kok gak hidup?"

Ayu tergagap, "A—anu, ini ... mogok kayaknya."

Amar menyisir rambutnya ke belakang kasar. "Ya udah, pakek mobil saya saja."

Ayu menolak dengan cepat, ia segera mendorong motornya. "Gak! Gua cari dulu bengkel, gak lama kok." Ia bersiap mendorong motornya itu, tapi tangan Amar berhasil menahannya.

"Ini darurat! Kamu gimana, sih?!"

Ayu menelan ludahnya kasar. Ada benarnya, ia tak boleh egois. Melupakan Ningsih yang meringis menahan sakit. Terpaksa Ayu mengikuti Dokter Amar menuju garasi, duduk di samping kemudi untuk pertama kalinya, selama hidup naik mobil bagus. AC mulai dihidupkan, seperti biasanya Amar akan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan full, pasiennya lebih penting. Ayu mengarahkannya berbelok ke kiri, kini jalan tidak lagi beraspal.

Harus hati-hati karena banyak tanah yang berlubang. Setelah melewati jalanan kotor dan dikeliling hutan, Ayu meminta Amar menghentikan laju mobilnya. Amar pun segera ke luar tak lupa dengan barang miliknya. Keadaan di dalam rumah sudah ramai, Hamdan berada di sisi Ningsih menenangkan. Kedatangan dokter ganteng bernama Amar, sontak membuat para tetangga terpukau. Memberikan jalan untuknya agar bisa masuk ke dalam kamar, Ayu mendengar jelas bisikan histeris akan rupa menawan Amar.

"Enak, kalo dibantu sama dokter ganteng, mah!" puji Bi Isah, sambil mencuri pandang ke dalam kamar.

"Aduh ... bisa-bisa anak Si Ningsih, malah mirip ama dokternya!"

Enggan mendengar ocehan tak berfaedah, Ayu pun memutuskan masuk ke dalam kamar. Jantungnya masih berdebar kencang. Ada apa? Mengapa rasanya seperti ada banyak ribuan kupu-kupu beterbangan? Kelopak bunga bermekaran dan nyatanya, hati kecilnya yang pernah tersakiti oleh lelaki, kini bermekaran! Menciptakan gejolak rasa, bernama cinta! Ayu tersadar, tak seharusnya memiliki rasa terlarang itu.

Baru juga berduaan di dalam mobil dalam keadaan darurat, sudah baper saja! Ayu membaringkan tubuhnya, seketika pendengarannya menangkap jeritan dari samping. Tentunya kamar Ningsih, suara Dokter Amar memberikan arahan mengejan juga terdengar.

"Tahan, buang ... sekali lagi, ayo, pasti bisa!"

Ayu meringis, terbayang bagaimana suasana di kamar sebelah. Asih dan Hamdan menjadi saksi di mana Ningsih mulai menjerit, mencoba mengeluarkan sebuah nyawa yang lama dinantikan. Hingga suara tak asing bagi siapa pun terdengar, melengking. Ucapan syukur memenuhi penjuru rumah. Sang bayi segera dibersihkan, Ayu pun ke luar melihat jelas bagaimana Amar sebagai dokter spesialis kandungan mengerjakan tugasnya dengan lihai.

Dugaan para tetangga mengenai wajah sang bayi ternyata tidak benar. Kulit kecokelatan seperti Hamdan, sudah membuktikan tak ada satu pun kemiripan dari Dokter Amar yang putih bersih, rupa sempurna. Ayu tersenyum senang, kumandang azan di samping telinga terdengar. Tersendat-sendat, sampai tangisan bayi pun kembali bergema. Amar meminta Ningsih untuk mencoba menyusui anaknya itu. Mendengar perintahnya, Ayu yang tak tahu apa-apa malah malu sendiri. Gila, tuh, dokter, ia pun pergi menuju halaman belakang.

Saat itu pula, tanpa Ayu sadari Amar berjalan penuh tanya mencari sebuah jamban untuk membersihkan tangan dan peralatannya. Melihat sosok tubuh yang membelakangi, masih memakai baju sama seperti tadi, Amar menahan senyum, lalu mendekat. "Sendiri aja, nih."

Ayu tersentak, membalikkan tubuhnya mendapati Amar dengan kedua tangannya penuh darah.

"Ngagetin aja!" ketus Ayu, lalu siap berjalan pergi, tapi Amar menghalangi jalan dengan siku kanannya.

"Bantu saya cuci alat persalinan," pintanya membuat Ayu mengerutkan kening dalam.

"Dih, tugas siapa juga? Ngapain gua yang ngerjain!" protes Ayu.

"Ya udah, nanti motor kamu saya sita!"

Ah, ancaman macam apa itu? Terpaksa Ayu membantu Amar dengan kesal. Pertama, membawa sebuah ember, lalu beberapa gunting, jarum dan alat lainnya penuh darah segera direndam. Aroma amis membuat Ayu menahan mual, ia siap berlari masuk ke dalam, menyerah harus membersihkan. Namun, Amar segera menariknya kembali. Menyindirnya, ia tidak selebay Ayu.

"He! Lu 'kan udah biasa nyium bau darah, lah gua?" oceh Ayu tidak terima.

Amar mengembuskan napasnya panjang. "Ini darah kakak kamu sendiri, loh!"

Ayu menatapnya malas. Mengapa harus dipertemukan dengan lelaki sialan itu? Tapi, anehnya Ayu merasa senang juga bisa berduaan lagi dengan amar. Bak, pasangan romantis di film-film. Namun, ia kembali tersadar, mengingat derajat kekayaan dan gaya hidupnya yang sangat jauh berbeda. Lagi, Ayu pelan-pelan sadar diri akan kenyataan. Ia memilih bungkam, sampai semua peralatan masuk ke dalam kotak khusus.

"Yuk," ajak Amar, kedua tangannya sudah bersih dan harum sabun khususnya.

Ayu mengikutinya dari belakang, setelah memberikan beberapa vitaman dan obat pereda nyeri untuk Ningsih, juga beberapa lembar uang diterima dari Hamdan. Ayu dan Amar segera pamit ke luar, sebelumnya menjelaskan motornya yang mogok dan ditinggalkan di parkiran rumah dinas dokter. Saat Ayu sudah duduk manis di samping kemudi, tiba-tiba Amar membuka jas putihnya lalu membanting asal ke jok belakang. Tidak salah lagi, sekarang lelaki di samping itu hanya memakai kemeja putih bersih.

"Kayak gugup gitu, belum makan?"

Ayu mengalihkan pandangannya, menatap ke depan. "Enggak!"

Amar tertawa kecil. "Enggak? Jawaban seharusnya, udah apa belum, Ayu ...."

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang