Bab 6. Sabar Masih Pagi

554 27 1
                                    

Semua. Kerabat Hamdan hanya dua orang saja, mengingat kedua orang tuanya telah tiada. Di samping pengantin yang tersenyum bahagia, mulai berpose mengabadikan momen, Ayu sendiri tidak lelahnya menekuk wajah malas. Paling tidak suka dengan keramaian, apalagi para tetangganya itu sok asik sekali. Sudah makan gratis, langsung pulang eh balik lagi pura-pura belum makan.

Ayu tahu semua tingkah para tamu itu, tidak ketinggalan sosok yang tidak diharapkan datang membuatnya menahan tinju ataupun tendangan. Yodan bersama pacar barunya sengaja datang, padahal dia siapa? Ningsih tidak mengundangnya apalagi Ayu. Ia hanya berinisiatif, ditambah memanasi Ayu. Membuktikan berhasil move on dan mendapatkan gadis yang lebih cantik dari mantannya. Saat siap bersalaman kepada kedua pengantin, berakhir menemukan Ayu yang memalingkan wajah membuat Yodan tersenyum bangga.

Siska sebagai pacar barunya pula mulai memainkan drama, memeluk erat tangan kiri sang pacar. Mengetahui lelaki barusan menyalami, Ningsih baru tahu itu adalah mantan Ayu. Selesai bersalaman kepada mantan, Yodan menarik Siska untuk makan bersama. Kedua bola mata bak elang terus mengintai, tangannya pula sudah mengepal, hampir saja siap merobek paksa kebaya yang dipakainya. Hingga Asih menanyakan bukankah Yodan teman Ayu?

Bukannya menjawab, Ayu malah bergeges pergi menyingkap kain putih yang menutupi pintu kamarnya. Sampai di dalam kamar, menatap pantulan wajahnya seperti ondel-ondel. Ayu menarik sanggul rambutnya, hingga berantakan termasuk make up yang dipoles paksa oleh Wulan. "Sialan, emang ya, semua cowok itu sama! Awas aja lu, tau rasa kalo ngajak balikan," gerutunya.

Suara lagu Sunda berhenti, menandakan kumandang Azan Duhur akan terdengar mengakhiri pesta pernikahan. Waktunya tidur, sedangkan Ningsih dan Hamdan segera masuk ke dalam kamar untuk melepas baju pengantin sewaannya. Pemotretan sudah selesai, sajian makanan gratis pula sudah ludes habis tak tersisa. Alasannya banyak tamu makan besar, tapi isi amplop rata-rata hanya uang selember berwarna hijau. Susi mendorong pelan pintu kamar, mendapati Ayu sudah membelakanginya tiduran.

"Ayu, ada temen nanyain, tuh!"

Ayu mendengar, tapi malas untuk bangun. Baru juga beberapa menit, siapa sih? Jangan bilang Yodan? Jika benar Ayu takkan datang menemui. Toh, siapa yang butuh? Susi tidak mendapati balasan dari anak Haryanto kakaknya itu. Terpaksa kembali ke luar, memberitahukan keadaan Ayu yang sedang tidur kelelahan. Mendengar jawaban Susi, Yodan sedikit kecewa padahal ia ingin pamer lagi. Namun, sudahlah, masih ada hari selanjutnya untuk memamerkan kemesraannya di depan mantan.

Di luar semua dekorasi mulai dilepas, dibereskan lalu dibawa pergi oleh pemiliknya. Ningsih sudah berganti baju, menatap senang beberapa kado yang berserakan di atas meja dan kamar pengantinnya. Kedua orang tuanya pula sedang bersantai, berbincang dengan paman Hamdan yang tinggal di Bandung. Asalnya, Hamdan pula memang dari Bandung, tapi ia kerja di PT milik Ilham di Jakarta. Katanya hanya tiga bulan sekali pulangnya, kecuali jika ada masalah pribadi ia bisa izin. Gajinya pula lumayan.

Setelah membawa semua kado ke dalam kamar, Ningsih mendekati lelaki yang sudah sah menjadi suaminya itu. "Bang, nanti kita tinggal di mana? Bukannya di Bandung, Abang cuma pulang ke rumah bi Idah?"

Hamdan bangun dari tiduran nyamannya. "Seminggu kita di sini dulu, nanti abang ajak, Ning ke Jakarta."

"Iya, Ning tanya akhirnya kita mau tinggal di mana?"

Anehnya, Hamdan tidak langsung menjawab, ia malah mengalihkan pembicaraan soal liburan yang membuat Ningsih curiga. Ada apa dengan suaminya itu? Mungkinkah Hamdan tidak memiliki rumah?

"Ya udah, Ning ngikut aja apa yang, Abang mau!"

"Iya, kita ke Jakarta nanti. Gak usah mikir rumah segala, 'kan ini juga rumah kamu masih ada."

Ningsih mendengkus. "Bukan gitu, Bang, enaknya 'kan kita punya rumah sendiri. Kasian, bapak sama ibu tidurnya di ruang tengah mulu, kalo Ning punya rumah sama Abang 'kan, mereka pasti senang nempatin kamar ini."

Panjang lebar Ningsih menjelaskan, tapi Hamdan masih belum ingin menjelaskan kebenaran. Soal, ia tidak memiliki tempat tinggal di Bandung miliknya, esok atau minggu depan, Ningsih harus melihat keadaan sebenarnya di Jakarta. Sebagai pegawai PT. Baja dengan gaji lumayan besar. Namun, bagaimana dengan keadaan tempat tinggalnya? Apakah Ningsih akan ikut bersama? Atau bisa saja tempat tinggal itu khusus untuk pekerja saja? Sebelum Ningsih bertanya lagi, Hamdan mengajaknya ke luar kamar.

"Aduh, pengantin baru mojok di kamar mulu," sindir Susi.

"Ahhh, Mbak ini." Ningsih tersenyum malu, lalu duduk beralaskan karpet plastik bersama.

Ternyata Hamdan yang mengajaknya duduk di sana, menciptakan pertanyaan yang Ningsih barusan di kamar tanyakan.

"Mau langsung pindah, Dek?" tanya Haris, suami Susi.

Hamdan tersenyum kecil. "Enggak, Mas, sementara di sini dulu."

Asih dan Haryanto saling berpandangan. Mengapa sebelum pernikahan tidak pernah menanyakan hal rumah? Ah, mengingat pernikahan Ningsih dan Hamdan juga sangat tergesa-gesa. Padahal rumah bagi keluarga kecil itu sangat penting. Tidak mungkin selamanya Ningsih di rumah kecil ini, sedangkan Hamdan? Tidak mungkin pula hanya mampu menghalalkan, tapi tidak memiliki tempat singgah untuk keluarganya sendiri.

"Ooh, tak kira langsung bawa, Ning ke Jakarta."

Lagi, Kota Jakarta diharapkan sebagai jawaban melepas yang dicinta bahagia di sana. Nyatanya, Hamdan memiliki masalah besar. Hutang pula menumpuk, tapi ia tak bisa menceritakan bebannya. Apa kata mertua baru dan istrinya nanti? Jadi, Hamdan memilih bungkam. Sampai malam mengakhiri percakapan, Susi dan suaminya masih menginap satu malam lagi. Di malam itu, Ayu seperti biasanya tuli tak menangkap suara apa pun. Terlelap menganga, bersiap kembali membuat kepulauan. Hingga hari pun datang, mentari pagi menyengat dari sela-sela celah bilik yang bolong.

Erangan tertahan, seketika terjaga sekarang hari rabu pagi. Di luar kamar, terdengar Ningsih sedang berbicara dengan seseorang. Ayu berjalan menarik pintu kamar, mendapati dapur sudah ramai oleh pengantin baru. "Yu, motor udah bisa dipakek noh. Sekolah, jangan bolos mulu!"

Ayu tidak menyahut, ia tetap berjalan lurus menuju jamban. Hamdan terkikik. "Ya, dikacangin sama adik sendiri."

Ningsih mendelik malas. "Adik tak tahu diri! Taunya cuma tidur mulu tuh manusia," ocehnya sambil memotong kangkung, siap ditumis dengan bumbu kesukaan Hamdan.

Tidak lama Ayu kembali, tidak memberikan senyum ataupun sapa kepada Ningsih dan Hamdan. Karena yang diharapkan Ayu sejak lama adalah, kakaknya itu minggat dari rumah. Biarkan rumah nyamannya sepi, tentram tanpa sosok pengganggu hidup bersamanya. Namun, sayang ia harus menunggu beberapa hari lagi, menatap kepergian Ningsih selamanya dibawa sang suami. Selesai memakai seragam sekolah, Ayu kembali ke dapur. Tidak seperti biasa, ada banyak lauk yang harus dipilih olehnya.

Saat tangan Ayu siap mencomot daging ayam satu-satunya. Suara Ningsih menggelegar bergema. "Punya bang Hamdan! Lu bawa aja tuh telur dadar."

Ayu menoleh tidak suka. "Kenapa kagak lu bawa dari tadi? Jangan pamer dong, gua juga mau!"

"Lah, pamer lu bilang? Ini meja makan siapa? Punya lu?"

Sialan, Ayu mencomot kasar telur dadar yang setengah gosong itu. Siap makan di depan televisi, tapi ada sosok manusia baru di dalam rumah. Mana duduk di tempat favoritnya, Ayu mundur ia harus makan di dekat jamban! Kesialan di pagi hari itu belum berhenti, Ningsih berada di dalam jamban. Mengeluarkan sesuatu yang berhasil tenggelam, lalu muncul ke permukaan. Kekuning-kuningan, tapi ada cokelatnya sedikit.

"Astagfirullah, Yu ... ini masih pagi, cobaan apalagi Ya Allah!" Ayu balik badan, berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. "Sabar ... mereka bakal pergi dari sini! SELAMANYA!"

DOKTER AMAR BRAMASTA [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang