01. Retakan

193 46 12
                                        

Perjalanan yang panjang sudah kami lewati sejak tadi. Pepohonan, atauu apa pun itu, sudah ratusan kali menyapu mataku. Pendingin mobil dimatikan oleh ayah, membiarkan udara segara hutan masuk ke dalam mobil. Emmang segar, daripada mati keracunan menghirup aroma pnedingin mobil.

Namun, aku bosan.

"Harvel! Berhenti bermain dan simpan rubikmu." Teriakan ibu membuatku kaget dan terdiam sejenak. Tanganku menyampingkan benda kubus yang baru saj akupegang beberapa detik lalu sejak merasa bosan.

Ibu menghela napas kasar di depan, sedangkan ayah yang sedang menyetir hanya tertawa pelan.

"Anak ini, tidak di rumah, tidak di perjalanan, rubik, rubik, dan rubik saja pikirannya," ujar ibu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Biarkan saja. berjam-jam di perjalanan pasti sangat bosan. Omong-omong, kamu udah bisa nyelesain rubiknya?" tanya Ayah. Ia menatapku melalui kaca depan, tentu saja pandangan kami saling bertukar.

Aku mengangguk pelan. "Harvel pernah menyelesaikannya beberapa kali, tapi lupa lagi cara nyelesainnya."

Tawa ayah pecah kembali. "Ayah sudah memberikan rumus penyelesaiannya padahal."

Aku menatapnya tidak percaya, berkata seolah semuanya sangat mudha dilakukan saja. "Tapi tidak semudah yang ayah tulis di rumus."

"Astaga, kalian ini! Tidak bisakah membahas hal yang lain saja?" seru ibu lagi. Ayah hanya tertawa menanggapi ibu, kemudian mulai fokus lagi ke jalanan.

Meskipun ini jalan-jalan keluarga, ibu lebih tidak mau membahas hal yang aku suka sejak dulu sebagai topik pembicaraan. Bukan, sejak ayah memberikan rubik ini. Monster kubus katanya. Dalam beberapa menit lagi ada tikungan tajam, sebaiknya ayah memang harus fokus.

Aku kembali memutar rubikku saat pandangan ibu sudah fokus ke depan, ia mulai membuka topik lain dengan ayah. Sisi kanan rubik kuputar secara aksen, lalu bagian atas kuputar ke sebelah kiri. Sisi kiri kembali kuputar ke arah bawah, kemudian bagian depan kuputar ke kanan. Di rubikku kini dipenuhi oleh warna merah, dengan sudut kirinya yang berwarna putih.

Aku mengangkat kepalaku, menatap hal yang tidak kuduga sebenarnya. Dalam dua detik, truk besar menabrak mobil kami. Bagian kursi depan hampir terjatuh ke dalam jurang, sedangkan bagianku, masih tetap berada di jalanan dan nyaris terjatuh. Yang bisa kudengar hanyalah, suara teriakan yang entah teriakan siapa itu. Guncangannya sangat keras, hingga menyisakan isi kepalaku yang berputar.

Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Teriakan itu, teriakan siapa? Bagaimana dengan Ibu dan ayah?

"I-Ibu? A-ayah?" Dengan tangan yang masih bergetar, aku melepas sabuk pengaman, keluar dari mobil yang sudah hancur bagian depannya sebelum mobil jatuh ke jurang.

Dahiku berdarah, terkena puing-puing kaca mobil tadi. "I-bu! Ayah! Tidak tidak!"

Mobil yang terjatuh setelah beberapa detik aku keluar, meledak di antara pepohonan, menyisakan asap dan api yang membara. Di depanku, supir truk sudah dipenuhi luka, beberapa pengemudi lain turun, memeriksa keadaan korban, termasuk aku. Namun, aku tidak bisa mendengar apa pun. Pikiranku hanya tertuju pada kecelakaan dan rubik yang masih kupegang. Warna merah tadi semakin pekat karena bercampur dengan darahku

"Ayah! Ibu!"

Aku terbangun dengan napas yang tertahan, kemudian pernapasanku kembali lancar dengan menderu kencang, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Tubuhku terasa merinding, bergetar hebat karena mengingat kejadian terburuk dalam hidupku itu.

Setelah beberapa menit merasa tenang, aku meraih benda kubus yang terletak di atas nakas. Jariku mulai mengotak-atik rubik kumuh yang sudah bersamaku sejak dulu. Warna merah dan hijau kuputar searah jarum jam, sembari mengingat rumus rubik yang pernah diajarkan oleh ayahku dulu. Tanganku melakukan hal yang sama pada sebelah kiri dan memutar bagian atasnya. Di sisi kanan, warna kuning sudah tersusun semua. Sisi kanan kuputar ke atas, kemudian mulai menggerakkan sisi bawah.

RUBIK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang