17. Rencana Selanjutnya

19 9 0
                                    

"Relawan baru?"

Dokter Jimmy mengangguk mantap. Tangannya yang sejak tadi berada di dalam saku snelli kini keluar. Kemudian kedua tangannya menyentuh pundakku dengan sangat kuat. "Harvel, saya menerima kamu di sini hanya karena kamu anak dari sahabat saya. Tapi saya ingin mencoba hal ini pada kamu. Antara anak yang terdiam karena trauma dengan anak yang terdiam karena introvert yang dirundungi, siapa yang lebih unggul?"

Hah!

Napasku menderu kencang. Kenapa dari sekian hal yang terjadi, aku harus memimpikan kejadian itu sekarang?

Aku mengatur kembali pernapasanku, kemudian tatapanku tertuju pada ruangan tempatku terbangun. Dinding dengan cat warna langit dan kulit kerang menghiasi ruangan ini. Bau bunga lavender turut menambah keunikan tempat ini. udara terasa sangat segar dengan beberapa aroma herbal yang tercium.

Ah, di mana mereka? Rubikku? Rubik Saxphon? Aku lupa jika rubik Jaxword ada di dalam tasku. Bagaimana dengan barang-barangku? Aku tidak ingat apa yang terjadi terakhir kali.

"Ah, kamu sudah bangun." Asheera muncul dari balik pintu, membawakan dua gelas minuman dan obat-obatan.

"Di mana rubikku?"

Asheera tertawa kecil. "Maaf, saya tidak menduga jika yang kamu cari duluan adalah benda kubus itu, bukan rekan-rekanmu."

Aku tertawa sarkas. "Maaf jika tidak sesuai pemikiranmu. Tapi rubik itu sudah sama seperti nyawaku."

Asheera terdiam, kemudian memberikan dua rubik padaku. Satunya rubik milikku, dan satu lagi rubik Saxphon. Ia tidak berkomentar apa-apa setelahnya. Ia meletakkan gelas-gelas dan obat yang ia bawa ke atas nakas, lantas duduk di kursi bulat di sebelahku.

Apa yang harus kulakukan pada rubik Saxphon? Lupakan, aku harus mikirkan rencana selanjutnya.

"Saya akan bergabung dengan kelompokmu."

Mataku yang sejak tadi menatap rubik, kini beralih pada Asheera. Tatapannya sangat fokus padaku, menandakan bahwa ia sudah membulatkan tekatnya untuk bergabung denganku.

Aku terdiam, lantas tertunduk. Bukan hal yang buruk atas keputusannya itu.

Aku kembali memegang kepalaku. Rasanya nyeri berkepanjangan, ditambah suara dengung yang entah dari mana asalnya. Mungkin ini adalah efek samping dari pertarungan melawan Saxphon.

"Di mana Rhema?" Aku mengeluarkan suara, teringat atas Rhema yang diselimuti cahaya tadi malam.

"Dia meninggal dalam perjalanan." Asheera menunjuk keluar jendela.

Mataku memperhatikan semua itu dengan jelas. Di luar sana, ada puluhan hingga ratusan peri yang terbang. Serbuk-serbuk yang berkilauan disebar ke seluruh penjuru tempat. Di tengah-tengah mereka, sudah ada peti berwarna putih yang melayang, diiringi para elf yang sedang memegang obor.

Aku mengalihkan pandanganku, menatap Asheera. "Kau tidak berkabung atau mengikuti ritual itu?"

Asheera menggeleng cepat. Sekilas wajahnya terlihat sedih, tetapi dia seperti menahan dirinya yang hendak menangis. Tentu saja, sebagai kakak tertua dia harus lebih tegar dari saudaranya yang lain.

"Aku tidak akan bertanya kenapa kau tidak menangis, tapi aku akan bertanya, apa kau baik-baik saja?"

Asheera menggeleng lagi, terlihat lebih kaku dari sebelumnya. "Ratusan tahun hidup, aku sudah terbiasa dengan kepergian rekan dan saudaraku."

"Apa kau baik-baik saja?" Aku kembali mengulangi pertanyaanku.

Asheera menatapku kecut, ia menggeleng kuat. Air matanya keluar perlahan, ia mejadi lebih buruk. Tangisannya pecah, terisak dengan kalimat amarah yang terus diucapkannya. "Harusnya saya membantunya hari itu. Harusnya saya mendengarkan perkataan kamu. Harusnya Rhema tidak berada di atas sana, menunggu raganya hilang tanpa seseorang di sampingnya."

RUBIK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang