20. Dixcard

18 9 0
                                    

"Kau tak apa, Harvel?"

Aku menatap Crane dengan napas yang terus tersengal. Aku kaget sekali. Apa itu tadi?

Kepalaku sudah dililit kain, dengan beberapa serbuk sihir yang masih menempel, kemudian berubah menjadi cahaya dan menyerap masuk ke dalam sel kulitku. Mahkluk tadi sudah mengeluarkan uap panas dan menyisakan tulang belulang yang belum juga menghilang. Berarti aku tidak kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama.

"Kenapa dengan tanganku?" Mereka berempat menatapku kebingungan.

"Kau tidak ingat? Tadi kau berlari ke De Ax itu untuk menyerang, tapi berakhir jatuh dengan tangan yang terkena tulang De Ax itu," ujar Crane sembari menunjuk mahkluk tadi.

Aku menyerang? Hah?

"Asheera, Varnie, bantu aku." Zhroo menatapku lagi, kemudian pergi menjauh dari aku dan Crane.

"Kau benar-benar tak apa?"

Aku menggeleng kuat. "Ada yang aneh dengan tubuhku. Rasanya seperti seluruh tubuhku sedang gelisah, takut akan sesuatu. Ini menggelikan. Seperti ada yang mengawasiku, membuatku paranoid seketika. Aku ingin mati saja."

"Jangan bercanda!" Teriakannya membuatku kaget. Namun, tetap saja rasa gelisah ini tidak bisa hilang.

"Aku mohon."

Crane menggeleng, ia menatapku kesal, sama seperti saat aku ragu menyerang Jaxword. "Tidak. Kau berjanji padaku untuk membunuh Rubx."

"Tapi aku tidak bisa bertahan lebih lama. Tadi rubikku berputar sendiri, warnanya merah! Warnanya merah, Crane!" balasku berteriak. Aku tidak bisa tenang. Zhroo masih berbincang-bincang di depan sana.

Crane yang sepertinya sudah muak denganku, ia menarik kerah bajuku, semakin lama kerutan di wajahnya semakin bertambah. "Lantas, jika merah kenapa? Jangan bercanda! Kau harus membunuh Rubx!"

"Crane aku mohon."

Crane dengan kasar menjatuhkan tubuhku. Ia terus mengacak-acak rambutnya, meghela napas, sambil sesekali memukul batang pohon. "Aku tidak terima alasan kau yang begitu. Jelaskan, secara rinci." Crane menatapku tajam.

Aku menegak air liurku. "Setelah ini semuanya akan menjadi lebih rumit. Aku tidak tahu pastinya tapi merah itu mala petaka. Dixcard lebih berbahaya!"

"Semua pendiri berbahaya. Kenapa kau baru sadar ini sekarang?"

Pikiran dan emosiku bercampur aduk. Zhroo muncul dari balik pohon. Tangannya sibuk memutar pedang kayunya, kemudian menyimpannya saat sudah sampai di hadapanku.

"Apanya yang berbeda? Kau hanya takut. Kenapa baru sekarang?" Zhroo melanjutkan ucapannya, berkacak pinggang dengan tatapan jengkel.

Aku mengalihkan pandanganku. Ini perasaan pribadi, aku terlalu khawatir. Akan tetapi, ini cukup menggangguku.

"Jika dipikir lagi, ini kali pertamanya kau sekhawatir ini." Varnie mendekatiku, kemudian Asheera juga datang dan berdiri di sebelah Varnie.

"Kau tak sendiri, Harvel. Kami akan membantumu. Kau hanya perlu tenang, dan pikirkan rencana. Lakukan sebagaimana biasanya kau lakukan."

Aku kembali mendapatkan kepercayaan diri setelah ucapan Crane tadi. Benar, tenang. Aku hanya memerlukan ketenangan. Bahkan alasanku berada di laboratorium dokter Jimmy ialah karena aku butuh ketenangan. Ketenangan yang panjang.

Di depan sana, hawa panas yang mencapai kami, akhirnya bisa kami rasakan seutuhnya. Hawanya berat, dengan udara yang terasa sedikit sekali. Tanaman di sini semuanya layu. Aku tidak berpikir bahwa tempat ini akan terang benderang. Perbedaannya sangat jelas. Di sini hanya akan menampilkan waktu malam, dan perbedaan itu terlalu mengerikan.

"Harvel?"

"Harvel!"

Aku menyadarinya. Aku baru menyadarinya. Darah keluar dari lubang hidungku, keluar dari sela mulutku. Tenggorokanku terasa sakit, seolah-olah luka yang ada di sana terkena makanan pedas. Sakitnya bukan main.

Asheera bergerak mendekatiku. Tangannya mengeluarkan cahaya, menyelimuti tubuhku. Rasanya hangat. Namun, kenapa ini terjadi tiba-tiba? Aku tidak menggunakan kekuatan sang mulut manis, bagaimana mungkin aku terkena hal semacam ini? Jika pun ada, aku tidak pernah menggunakannya untuk hal yang berat.

Ah!

Aku menarik Asheera ke dalam dekapanku. Satu benda tajam melesat, melewati perbatasan, tipis mengenai pipiku. Apa itu tadi? Kartu?

"Maaf, Asheera." Kulit wajah Asheera yang cerah sedikit memerah, mungkin kaget.

Aku mengalihkan perhatian, menatap benda tajam yang merupakan sebuah kartu. Kartu itu bergerak lagi, kembali ke asal sebelumnya, di dalam hutan sana. Asheera menatapku kaget, kemudian menyelesaikan apa yang ia mulai. Zhroo dan Crane sudah bersiap di depan sana, sedangkan Varnie menjaga Asheera, seperti tahu hal seperti tadi bisa terulang kapan saja.

Dua menit, Asheera berhasil meredakan pendarahanku, kemudian bersiap di sebelah Zhroo. Perlahan, suara mulai terdengar. Mirip seperti suara terompet, namun sangat pelan. Pelan, lalu suara itu semakin membesar, yang akhirnya terdengar seperti suara ultrasonik.

Kami menjaga telinga masing-masing, tidak lupa senjata sudah disiapkan. Kuda-kuda kami tidak lepas dari situasi seperti itu. Semuanya mulai menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan. Aku merasakannya, seperti atmosfer semakin memberat di sekitar kami.

Jari-jariku mulai mengotak-atik rubik secara perlahan. Tekanan demi tekanan mulai kurasakan. Rasanya ini jauh berbeda dari Saxphon. Seolah-olah kami sudah diusir sebelum bertemu dengan tuan rumah. Aku memutar sisi kanan ke bawah, kemudian memutar bagian atas ke kanan, terakhir memutar bagian kiri ke bawah. Lalu rubik, kembali berputar dengan sendirinya.

Napasku tertahan, seluruhnya dipenuhi warna merah kecuali bagian sudut kanan atas, itu berwarna kuning. Benar-benar bukan hal baik. Sejak tadi warna merah tidak bisa berganti menjadi hijau atau biru. Ini buruk sekali.

"Kalian semua, berhati-hatilah."

Tepat saat kalimat itu keluar dari mulutku, kami kembali diserang dengan kartu, kali ini jauh lebih banyak. Napasku menderu kencang, berusaha menghindari setiap kartu tajam itu. Beberapa meninggalkan sayatan di kulit tangan dan wajahku, mengoyak bajuku dengan goresan tajam itu. Kartu itu seperti dikendalikan. Layaknya mantra yang harus mengenai kami. Aku bisa memperhatikan itu, kartu itu terus mengikuti kami kemana pun kami pergi.

"Jangan terpisah!" seru Zhroo.

Aku menatap mereka satu per satu. Crane berhasil membelah dua salah satu kartu, tapi tetap diserang oleh kartu yang lain. Zhroo hanya menahan serangan, sesekali rambut panjangnya terpotong tipis saat terkena kartu itu. Asheera melindungi dirinya dengan sihir, seolah membentuk selaput barrier di tubuhnya, tapi itu tidak cukup. Kartu itu terus berusaha menerobos pertahanan Asheera, perlahan meretakkan barrier itu. Sedangkan Varnie dia tidak terluka.

Aneh.

Serangan kartu masih tidak berhenti, bahkan rasanya semakin banyak dan semakin cepat. Lengah sedikit saja, kartu itu bisa menembus jantung kami. Bagaimana caranya? Dixcard jelas-jelas tidak ingin diganggu. Hal ini terlalu mempersulit kami. Baginya kami hanya semut? Sialan!

Tatapanku masih tidak henti melihat Varnie. Dia berjalan santai, seolah-olah memang tidak ada yang melihatnya. Tidak ada kartu yang menyerangnya layaknya menyerang kami. Seperti, serangan itu menolak menyerang Varnie. Kenapa?

Tangan Varnie naik ke atas, kemudian bergerak cepat menurunkan tangannya. Seketika itu juga kartu yang menyerang kami jatuh menancap ke tanah. Napas Crane terdengar kasar. Asheera bergerak mendekati Zhroo dan mulai menyembuhkan kakaknya.

Ini terlalu janggal. Seharusnya Varnie juga terkena serangan itu bukan? Meskipun dia punya teknik menyembuhkan dan meregenerasi diri, tidak seharusnya kartu itu melewatinya untuk diserang, mau dipikir dengan cara apa pun, itu tetap saja aneh. Varnie membalikkan tubuhnya, menatap kami satu persatu. Hingga akhirnya mata kami saling bertukar pandangan, dalam hitungan detik, iris mata hitam Varnie berubah menjadi merah.

"Varnie, kenapa hanya kau yang tidak terluka?" Aku memberanikan diri bertanya, menatap mata tajam Varnie yang sudah memerah, dan perlahan berubah lagi.

***

To Be Continued...

RUBIK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang