Epilog

54 8 4
                                    

Suara sirene yang sampai hingga ke ruanganku sangat memekkan telinga. Cahaya remang merah sejak tadi menemaniku yang berjalan menuju tempat yang dimaksud.

"Terjadi pemberontakan pada pasien 00901." Seruan panggilan itu tentu saja membuatku semakin khawatir. Itu adalah nomor pasien Harvel

Kakiku bergerak lincah menuju ruangan Harvel yang terletak di ujung lorong. Ruangannya sangat khas sejak ia menjawab semua pertanyaan dengan level tertinggi. Dia memintaku untuk mengabulkan apa saja permintaannya, meskipun itu hanya sekali-sekali.

"Dokter Jimmy!" Aku menatap apa yang ada di hadapanku ini.

Teriakan dari perawat Arsela membuatku terdiam. Ia sudah meneteskan air matanya sambil menunjuk Harvel yang sedang melempar barang-barang di dalam sana. Perawat Arsela menangis tersedu-sedu, bagaimana tidak, sejak awal dia sudah menganggap Harvel sebagai adik kandungnya. Dengan melihat Harvel yang ada di dalam sana tentu saja rasanya menyesakkan.

Aku meneguk air liurku, berjalan pelan dan membuka pintu yang sudah dijaga oleh banyak penjaga. Harvel masih tidak berhenti melempar barang saat aku masuk. Rambutnya acak-acakan. Tatapannya kosong, dengan napas yang tidak teratur.

"Harvel, kamu bisa mendengar saya?"

Gerakannya berhenti, ia menatapku dengan tatapan kosongnya, tidak berubah. Kulitnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya. "Dok-dokter saya bisa gila!"

Aku tersentak pelan, kemudian memegang kedua bahunya. "Tenang, Harvel, tenangkan dirimu--"

"Rasanya aku akan mati. Tatapan dari mahkluk itu mengerikan! Aku .... aku akan mati hanya dengan melihatnya!"

"Harvel!"

"Saya sudah membunuh mereka, Dokter, tapi tetap saja mengerikan. Setiap melihat telapak tangan saya, rasanya ada banyak darah yang berlumuran!"

"Harvel!"

"Dan, dan, dan yang lebih mengerikannya, mereka bermain dalam pikiran saya, membuat seolah "yah dan Ibu masih hidup!"

"Harvel!"

"Dokter, saya tidak kuat."

Napasku tertahan, pupil matanya bolak balik membesar mengecil, ia terus berbicara hanya dengan satu tarikan napas. Tubuhnya bergetar, tangannya mengusap wajahnya sambil sesekali menjambak rambut panjangnya.

Aku menangkap sebuah benda kotak berwarna putih dengan logo kecil berbentuk kubus seperti tubik berwarna merah. Itu gim virtual reality. Bagaimana dia mendapatkannya?

"Siapa yang memberikannya ini?" ujarku pelan, menatap tiga orang yang berada di belakangku.

"Dokter, paket itu sampai di bagian logistik tiga hari yang lalu. Lusa pagi dia meminta izin padaku untuk membiarkannya bermain gim itu. Tapi, dia menjadi aneh setelahnya." Perawat Arsela menghentikan kalimatnya. Ia terlihat gugup ingin melanjutkan perkataannya. Lebih seperti takut untuk melanjutkannya.

"Aneh?"

Perawat Arsela menganggu. "Harvel menjadi sering lompat dan berlari ke sana kemari. Ia tidak pernah keluar lagi dari ruangannya meski hanya untuk makan. Terkadang ia menjatuhkan sendiri tubuhnya dari atas kasur. Atau terkadang dia berbicara tidak jelas. Ia sering mengucapkan matilah, musnahlah. Kalimat mengerikan seperti itu."

Aku termangu mendengarnya. Harvel masih terus bergetar layaknya notifikasi ponsel yang berdering. Ia menggigit kuku jarinya, keringat dingin turut mengucur. Ia ketakutan?

Aku mengambil gim VR tadi, dan melihat semuanya. Judul gimnya bernama rubik. Game ini sangat berbahaya, diharapkan bermain dalam pengawasan.

"Perawat Arsela, cari nama perusahaan ini segera mungkin, minta bantuan pihak IT jika diperlukan," ujarku segera. Itu tidak mungkin. Bagaimana anak ini bisa mendapatkan gim seperti ini? Jangan bercanda!

Aku kembali ke dekat Harvel menatapnya perlahan, kemudian menyentuh pundaknya. Ia kaget bukan main, hingga menepis tanganku. Ia berlari ke sudut ruangan, dan memeluk tubuhnya sendiri. Ia terus bergumam tidak jelas, menyebutkan sebuah nama yang entah nama apa itu.

Aku memperhatikan ruangan ini. Semuanya sudah hancur. Seprai berserakan, busa bantal sudah keluar dari tempatnya. Di sisi lain, hiasan dindingnya tak lagi sama. Banyak cakaran kuku di mana-mana. Ditambah lagi, hiasan dinding rubik tiga dimensi yang disusunnya selama berbulan-bulan, hancur begitu saja, menyisakan rangka kasar yang tak mungkin dilepas karena terbuat dari baja yang tebal. Bingkai foto yang ada di nakasnya pecah, menyisakan banyak darah.

Suara sirene perlahan memudar, cahaya remang merah tadi turut berganti menjadi biru seperti biasa. Penjaga yang ada di sini semakin bertambah. Beberapa Dokter dan Professor yang lain turut berlarian datang ke tempat ini, mencari anak bernama Harvel yang diduga melakukan pemberontakan.

Ini terlalu bahaya.

Aku mendekati Harvel kembali. "Harvel, bisakah kamu menceritakan apa yang terjadi?"

Ia menggeleng kuat. "Tidak, Dokter. Anak itu, dia mengerikan, terus mengeluarkan cairan hitam dari matanya. Tidak, tidak ada mata di sana, hanya lubang mata yang kosong tanpa bola mata. Dan! Dan! Dan, saya tidak tahu harus bagaimana menahan rasa takut saya saat berada di sana. Itu mengerikan!"

"Harvel, apa yang kita bicarakan saat sedang berbicara dengan orang lain?"

Ia terdiam sejenak, perlahan tubuhnya menjadi normal, napasnya mulai teratur. "Saling . saling tatap."

Aku mengangguk pelan. "Benar, sekarang, tatap saya."

Ia mengangkat kepalanya secara perlahan, matanya sudah memerah, wajahnya sembab.

"Kamu masih ingat kapan terakhir kali berbicara dengan Perawat Arsela?"

Harvel mengangguk kasar. "Tadi pagi. Pagi-pagi sekali, sekitar jam empat pagi."

Aku mengacak rambutku pelan. Dia tidak ingat waktu? "Harvel, sudah dua hari kamu tidak keluar dari ruangan. Tidak makan, tidak juga menjenguk kakek Kalen. Apa kamu ingat?"

Harvel menatapku tajam, tatapannya dalam dengan rasa kaget yang menyertainya. Dia sedang menyembunyikan sesuatu. Sejak tadi tangannya terlipat di depan dada. Kakinya mengarah pintu keluar.

"Harvel, sekali lagi, apa kamu bisa menceritakan apa yang terjadi?"

Harvel terdiam sejenak, kemudian menggeleng kasar. Ia semakin memeluk dirinya sendiri, kaki-kakinya sejak tadi tidak bisa diam, terus bergerak satu sama lain. Ia mendengkus kesal, kemudian sikapnya berubah lagi.

Benar, dia berubah total. Dalam dua hari dia berubah. Anak yang selalu tenang setelah mendapat perawatan dalam dua tahun ini berubah total. Ia menjadi anak yang penakut, dan tidak bisa tenang sedikit pun. Anak yang selalu berterus terang ini menjadi berterus rahasia.

Perawat Arsela kembali dengan lari yang tergopoh-gopoh. Di tangannya, ia sudah menggenggam beberapa lembar kertas. Napasnya tidak teratur dengan wajah yang pucat menyertai ketakutannya. "Dokter, produk itu adalah produk gagal!" Ia berseru cepat.

"Apa?"

"Gim itu dibuat tiga tahun yang lalu. Sang pembuat gim, Grand master, sang mulut manis, mengalami gangguan jiwa setelah memainkannya sendiri!"

"Berbicara yang jelas, Arsela! Bagaimana mungkin gim itu bisa didapatkan dengan mudah?"

Perawat Arsela mengangguk setuju. "Memang benar, Harvel mengikuti pelelangan gelap beberapa waktu lalu, dalam data pencariannya ditampilkan dengan jelas penjelajahannya dalam internet."

"Dari mana dia mendapat aksesnya?"

"Keflano, ketua divisi IT. Ia kalah taruhan dengan Harvel dan membantunya mengakses untuk mendapatkan info itu."

"Apa?"

Anak ini, sudah kuduga berbahaya dengan kepintarannya. Sekarang lihat dia, berakhir dengan gangguan jiwa seperti pembuat gim ini. akan kupastikan tidak ada yang dapat menemukan gim ini sampai kapan pun.

Aku menatapnya, ia sudah menghancurkan rubik pemberian ayahnya yang selalu dibawanya ke mana-mana itu. "Saya .... Benci rubik."

Itu adalah trauma yang berat, sekaligus membuatnya membenci jati dirinya sendiri.

***

TAMAT

RUBIK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang