27 - Menghindar

16 2 0
                                    

selamat hari kamis

H a p p y
R e a d i n g

*

**

“Baik, ada yang bisa menjawab?” tanya Bu Heri—guru matematika— seusai menulis soal di papan tulis.

“Saya.” Tanpa ragu Ayna mengangkat tangan, sukses membuat seisi kelas melongo, kecuali Pritha.

Ayna segera maju ke depan, menulis jawaban yang sedari tadi sudah bersarang di otaknya, saat selesai dia berbalik membuatnya menatap teman-temannya yang melempar pandangan bermacam-macam.

Tanpa ia hiraukan ia segera menuju bangkunya kembali.

“Wah, jawaban kamu tepat sekali, Ayna.” Pujian itu meluncur begitu Ayna baru saja mendudukkan pantatnya.

“Terimakasih, Bu.”

“Keren, lo!” puji Pritha.

“Makasih, Tha.”

Ayna menatap ke samping kirinya, Agnes tengah melayangkan tatapan yang Ayna sendiri tidak tahu apa arti tatapan itu.

Sejak awal, Agnes memang merasa Ayna itu ancaman. Padahal Ayna bukan murid menonjol, entah kenapa Agnes selalu bersikukuh untuk selangkah lebih depan dari Ayna, padahal Agnes memang selalu di depan, dan Ayna tak pernah keberatan bila berada di belakang.

Agnes itu tipikal anak ambis, tapi bisa dibilang bermasalah. Dia pernah menempati ranking 1, 2, dan 3. Sedangkan Ayna selama dua tahun tidak pernah masuk 5 besar, ya karena Ayna lebih memilih untuk menjadi bodoh daripada harus mendapatkan lebam di pipi-pipinya.

Ayna masih menatap Agnes, Agnes seolah menatapnya seperti memberi ancaman.

Ayna cuman tersenyum, ulangan bulan depan ia tak akan menyalahkan jawaban secara sengaja agar tidak dianiaya, sekarang ia sudah bebas, sudah tak ada lagi yang mengancamnya, dia sudah siap untuk menjadi rangking 1.

Ayna tersenyum puas memikirkan rencananya.

“Heh, ngelamun apaan lo senyam-senyum?” nada keras itu dari samping Ayna, tentu saja Pritha.

Ayna cuman berdeham, lalu kembali mesem.


“Kalo bulan depan lo dapet peringkat satu, gue udah gak kaget,” kata Pritha, nadanya enteng.

Tentu saja mengundang tawa kecil dari Ayna. Ia lalu membayangkan sesuatu, hanya memikirkan rencananya saja sudah membuat ia tersenyum senang.

“Ke kantin, yuk!” ajak Pritha, cewek itu lantas berdiri.

Ayna lalu mengerjapkan mata.

“Lho, bel udah bunyi?”

“Makanya jangan ngelamun mulu Mbak! Mikirin apa si lo?”

Baru setelah itu melempar pandang ke depan, Bu Heri sudah tidak ada, dan sebagai temannya pun telah keluar kelas.

Ayna menyengir, lalu berdiri.

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang