1 - Halte

171 16 4
                                    

HAPPY
READING

“Huh!”

Embusan napas kesal itu berhasil lolos dari mulut seorang gadis yang tengah mondar-mandir di depan halte.

“Lima belas menit lagi gerbang ditutup,” gumamnya panik sendiri. Ia meremas rok abunya kuat, membuat rok itu menjadi kusut.

Menggigit bibir bawahnya, ia mulai berpikir.  Namun bukannya berpikir, dia malah berdecak.

“CK! Nih HP kenapa mati segala, astaga." Ayna meraup wajahnya, frustrasi.

“Selamat dihukum Shayna Elzavira,” ucapnya tersenyum miris. Tak ada pilihan lain, opsi satu-satunya ialah berlari. Terdengar melelahkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Ayna yakin tak akan ada lagi angkot dan bus lewat dikarenakan hari sudah semakin siang. Dan bolos sama sekali tidak akan menjadi pilihannya.

Mungkin kalau tadi pagi ia tidak tidur sehabis salat subuh, ia sekarang sudah duduk manis di kursinya, tapi bagaimana lagi? Waktu mana bisa diputar.

Ia mengeratkan tali tasnya, dalam hati merapalkan segala doa agar bisa sampai ke sekolah dengan selamat tanpa dihukum.

Perempuan dengan rambut dikuncir kuda itu lalu melangkah ke tepi trotoar, bersiap-siap untuk lari. Namun langkah kakinya otomatis berhenti kala ada suara yang memanggil namanya dengan keras.

“Na!”

Ayna kontan berbalik, ia menatap sumber suara dengan kernyitan dalam di dahi. Setelah beberapa saat memandangi lelaki bertubuh jangkung yang tengah duduk di atas motor ducati. Ia jadi mengerjap bingung, kaget luar biasa mengetahui fakta bahwa kapten basket SMA Graha Gelora tahu namanya.

Dia ... Atharazka Dzakiandra.

Ayna menatap sekeliling, lalu memberanikan diri menatap sang empu.

“Manggil gu-e?” tanyanya kikuk.

Azka jadi berdecak pelan. Memandang Ayna dengan tatapan datar, walaupun Ayna juga tidak bisa melihatnya karena wajahnya ditutupi helm full face.

“Naik,” titahnya.

Ayna memelototkan matanya kaget, tak menyangka Azka menawari tumpangan. Rasanya tak mungkin pangeran sekolah macam Azka menawari tumpangan kepada dirinya. Ah ... tampaknya Dewi Fortune sedang berpihak kepada Ayna hari ini.

“Se-serius?”

Azka mengangguk sekali, “Terserah sih, kalo mau telat yaudah.” Ia menyalakan mesin motornya, membuat Ayna langsung berlari ke arah motor Azka.

“Tapi gue gak bawa helm.”

Azka memandangnya beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab, atau lebih tepatnya memberi pertanyaan.

“Lo mau ke sekolah apa enggak?”

Ayna tidak bisa memilih. Waktu terus berlalu, jika menunda-nunda ia pasti telat. Itu pasti.

Dengan jantung yang berirama, Ayna pun naik ke atas motor. Kalau boleh jujur, duduk di jok motor Azka, sama sekali tak pernah ada di bayangan Ayna.

Ia tahu ini konyol. Tapi Ayna sudah tak tahu lagi caranya agar bisa sampai di sekolah dengan cepat tanpa terlambat. Menolak tawarannya sama dengan bunuh diri, bukan? Walaupun mungkin bila ada yang mengetahuinya, apalagi itu jajaran perempuan pendamba Azka, Ayna mungkin bisa dibunuh. Atau mungkin nanti di lampu merah mereka bertemu polisi dan akan ditilang. Tapi hari masih terlalu dini, semoga saja tiada polisi.

Dengan cepat motor Azka melaju, menyalip kendaraan-kendaraan yang memadati jalanan. Ayna di belakang lantas berkomat-kamit membaca doa agar selamat sampai tujuan. Tak menyangka Azka membawa motor dengan kecepatan yang kencang. Mana berani dirinya melingkarkan tangannya di pinggang Azka? Jadi tangan Ayna hanya bisa memegang pinggiran motor Azka.

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang