17 - Kejadian tidak terduga

27 6 0
                                    

Setelah mencuci piringnya, Ayna kini memilih untuk ke luar. Menghirup udara luar yang segar.

Ia memilih duduk di kursi teras, dilihatnya Rani yang tengah menyiram bunga dengan selang panjang.

“Nyiram bunga, Mbak?” Ayna tahu jenis basa-basinya kali ini sangat-sangat klise. Tapi bagaimana lagi? Dia bingung mau menyapa dengan kalimat apa.

Rani menoleh, tangannya masih menggerakan selang. Ia melempar senyum lalu menjawab, “Iya, Ay. Lagi nyiram bunga ini. Bukan lagi nerbangin layangan.”

Ayna hanya terkekeh saja.

Lalu setelah beberapa menit, bunga yang lumayan banyak itu selesai disiram oleh Rani. Dimatikannya keran tersebut, lalu menggulung selang dan ditaruhnya di bawah pohon. Lalu Rani ikut duduk di sebelah Ayna.

“Udah enakan, Ay?” Rani bertanya lebih dulu.

“Udah, Mbak.”

“Syukur, deh. Panik banget gue tuh pas si Abim bilang lo gak sampek-sampek ke toko.” Rani mengangguk sekali.

Ayna terkekeh keki, “Sorry, Mbak. Dah bikin khawatir.”

“Gak pa-pa, namanya juga musibah. Siapa yang ngira kan?”

Ayna balas mesem saja.

“Lo mulainya besok aja, Ay.” Melihat mulut Ayna yang terbuka membuat Rani melanjutkan, “iya-iya gue tau lo udah enakan. Tapi biar lebih optimal lagi istirahat aja, oke?”

Ayna hanya bisa mengangguk, menyetujui.

Percakapan pun berhenti.

Lalu yang keduanya dengar adalah suara langkah kaki yang mendekat.

Luna.

Cewek dengan muka datar andalannya itu terus melangkah ke depan tanpa menoleh, tanpa berpamitan, padahal ia tahu kehadiran Ayna dan Rani. Ia hanya tidak peduli.

“Woi Lun, mau ke mana lo?” Rani sedikit berteriak, padahal Luna masih dalam posisi dekat, belum juga sampai gerbang.

Luna berbalik malas, “Depan,” katanya.

“Ke supermarket? Gue nitip dong.”

Luna hanya membalas dengan alis yang menaik, seolah berkata 'apa?'

“Pembalut deh, satu. Stok gue abis.”

Luna mengangguk.

“Yang ada sayapnya!”

Luna mengangguk, lagi.

“Gue ambil duit dulu ke atas apa entar gue ganti kalo pulang?” tanya Rani.

“Tar aja.”

“Oke. Lo, Ay? Ada mau nitip? Sekalian.”

Ayna sontak menoleh ke arah Luna yang tengah berdiri dengan pandangan malas, auranya terlihat mencekam membuat ia cepat-cepat meneguk ludah lalu menghadap Rani dengan senyuman.

“Enggak lagi butuh apa-apa kok, Mbak.” Ayna menjawab seperti itu. Sebenarnya deodorant-nya hilang, namun daripada ia nitip Luna lebih baik ia beli sendiri. Apalagi yang menawari itu Rani, bukan Luna. Tatapan matanya saja sudah terlihat jelas bahwa Luna memang ogah-ogahan.

Luna pun akhirnya kembali mematri langkah, hingga akhirnya hilang dari tatapan Ayna.

Ayna kembali menatap Rani.

“Mbak Luna  ... emang orangnya cuek gitu, ya, Mbak?”

Rani menoleh, menyunggingkan senyum maklum.

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang