6 - Menyamar

54 12 0
                                    

Helaan napas berat itu lagi-lagi lolos dari seorang gadis yang tengah duduk di kursi rias, ia menatap dirinya di pantulan cermin.

Menatap penampilan dirinya sendiri yang kini berubah. Tidak signifikan, tetapi rambut kepang dua ini setidaknya bisa membedakannya. Kalau terlalu berubah, takutnya teman sekelasnya malah curiga padanya.

Semuanya dilakukan tentu karena Ayna takut menjadi sorotan. Walaupun foto tersebut diambil dari belakang dan blur, tidak menutup kemungkinan bahwa ada satu dua orang yang tahu jika itu dirinya. Ayna sampai tak bisa tidur nyenyak semalam, ia terbayang-bayang hari esok.

Tak lupa Ayna pun memakai tas dan sepatu yang berbeda dari sebelumnya untuk memperkuat penyamarannya. Untung saja tas masih SMP masih ada dan layak untuk dipakai, begitu pun dengan sepatunya yang dari kelas X, masih muat untuk dikenakan.

Ia sekali lagi menatap cermin, hanya untuk meringis kecil.

"Semangat Ayna!" ucapnya terkekeh miris.

Ia lalu mengambil ranselnya, mengecek sekali lagi apa ada yang ketinggalan atau tidak, baru menyampirkan di bahu. Tipikal orang yang teliti.

Gadis bersurai panjang itu bangkit dari kursinya menuju pintu kamarnya. Ia membuka kenop pintu dan mulai melangkah keluar.

Ayna sama sekali tak pernah mendapat uang jajan dari Soraya. Dan juga, Soraya pun sudah berangkat pagi tadi ke Yogyakarta, ada urusan, katanya. Dia juga sudah sarapan pagi tadi.

Kalau kalian bertanya darimana Ayna mendapat uang, Ayna punya satu kartu peninggalan ayahnya sebelum meninggal. Dan untungnya kartu itu masih cukup sampai sekarang karena Ayna memakainya dengan secukupnya. Dan dia juga mendapat jatah transfer uang dari tantenya setiap bulan dari tantenya.

Ia mulai melangkahkan kakinya keluar, seketika terhenti kala mendengar teriakan keras bin nyaring.

"AYNA! DASI GUE MANA?!" teriak Adis menggema ke seluruh rumah.

Ayna mengusap dadanya kaget, segera ia berbalik lalu melangkah menuju kamar Adis.

Pintu kamar terbuka, langsung saja Ayna masuk lalu membuka laci meja rias. Dan benar, dasi Adis berada di situ.

"Oh di situ," ujar Adis pura-pura tak tahu. Sebenarnya Adis sudah tahu letak dasinya di situ, ia hanya ingin merepotkan Ayna. Selalu seperti itu.

Tanpa berterimakasih Adis dengan cepat menyambar dasinya tersebut. Ayna lantas menggeleng tak habis pikir, bisa-bisanya ia tinggal bersama manusia yang tak tahu terimakasih.

"Eh, wait-wait." Ayna yang tadinya ingin berbalik jadi urung. Memandang Adis dengan alis sebelah yang meninggi.

"Lo ... dandan jadi nerd? " tanya Adis tergelak. Ia menatap Ayna dari atas hingga bawah sambil terbahak.

"Tapi lebih pantesan gini sih, cocok buat di-bully," komentar Adis, masih dengan tawa.

Merasa sudah tak ada perlu, Ayna memutuskan berbalik. Menuruni anak tangga lalu keluar dari rumah, tak lupa ia mengucap salam walau tak ada yang membalas.

Ayna berjalan dengan langkah berat, langkahnya lamban. Malas sekali rasanya ia sekolah, namun dia tak mungkin membolos. Membayangkan ia di-bully membuatnya meringis takut. Tampaknya dia harus menghindari Azka untuk saat ini. Eh, tunggu, apakah mereka sedekat itu sampai Ayna harus menghindar?

Ayna menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Semoga enggak ada yang tau deh," ujarnya membatin.

Gadis itu berjalan di jalanan yang tampak sepi, padahal hari sudah semakin siang.

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang