0. Jurang Kehancuran

11.8K 567 6
                                    

05 November 2015

Alunan musik favorit yang mengisi ruang sempit dalam mobil mendadak bisu, telinganya seolah menjadi tuli. Hanya samar-samar suara Ed Sheeran dan iringan gitar yang kian menghilang detik demi detik. Degup jantungnya berpacu dua kali lipat sejak 10 menit yang lalu. Pegangan tangan pada batang stir semakin menguat, kakinya menancap gas penuh penekanan.

Baskara berharap jalan raya ibukota lengang sementara agar ia bisa segera menemui Brenda, adik kesayangannya. Pria itu terus saja melafalkan kata-kata yang Brenda kirim 10 menit lalu lewat Line. Baskara yakin adiknya sedang tidak baik-baik saja.

Brenda Valerian
Kak
Aku nggak tahu harus apa
Aku benci diri aku sendiri, Kak!!
Kakak juga pasti benci sama aku
Pasti jijik sama aku
Maaf, Kak. Aku udah bikin Kakak kecewa
Aku cuma bakal bikin Kakak malu
Aku dari dulu cuma bikin Kakak susah
I love you, Kak
Brenda sayang banget sama Kak Baskara

Brenda mengirim pesan tanpa jeda dalam waktu kurang dari dua menit dan isi pesan adiknya sangat ambigu. Baskara mencoba melakukan panggilan telepon namun tidak diangkat. Sesaat ia menyesal mengapa memilih datang ke pembukaan kafe baru Jansen alih-alih diam di rumah bersama Brenda.

"Brenda, please angkat teleponan Kakak."

Baskara mencoba memikirkan apa yang terjadi pada Brenda. Belakangan adiknya terlihat lebih pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Baskara pikir, Brenda sedang sibuk menyiapkan ujian kuliah tetapi sepertinya ia salah.

Pria itu menghentikan mobil tepat di depan rumah. Tidak peduli dengan hal lain, Baskara langsung keluar mobil dan lari ke dalam rumah. Dia mengetuk berulang kali pintu kamar Brenda namun tidak ada jawaban. Baskara menuju kamar, mencari kunci cadangan.

"Brenda! Ini Kakak! Kamu kenapa? Kakak di sini, cerita sama Kakak, ya," ujar Baskara, terengah-engah sambil berusaha membuka kunci kamar Brenda.

Ketika kunci pintu berhasil terbuka, Baskara sedikit kesulitan untuk mendorong pintu. Ternyata Brenda menahan pintu dengan menaruh meja belajar dan kursi dari meja rias. Baskara menyingkirkan benda itu satu per satu hingga ia berhasil masuk dan melihat tubuh Brenda yang terbaring dengan posisi janin.

"Brenda? Astaga! Ada ap-Brenda!" Baskara menjerit lalu langsung melompat ke ranjang dan menempa tubuh adiknya yang lemas.

Waktu seolah berhenti bagi Baskara ketika melihat seprei kasur adiknya berlumuran noda merah. Tidak perlu berpikir dua kali untuk mengetahui noda tersebut adalah darah. Darah segar milik Brenda.

"Maaf, Kak ..." Brenda berujar lirih.

"Ada apa? Kenapa kamu kayak gini?" Bibir Baskara nyaris bergetar saat ia berbicara.

"Aku mau mati aja, Kak ...," ucap Brenda, pelan.

Baskara menggeleng keras. "Kita ke rumah sakit sekarang!"

Brenda segera menahan Baskara dengan memaksakan mengusap pipi kakaknya dengan tangan yang hampir kehabisan tenaga. "Nggak, Kak. Nggak usah."

"Sebenarnya ada apa? A-apa yang kamu lakukan sampai ... banyak darah begini?" Air mata Baskara perlahan berjatuhan. Sentuhan Brenda membuat dirinya semakin lemah.

Brenda menangis tanpa suara. Dia merasa tubuhnya semakin ringan dan kehilangan rasa sentuhan kakaknya, tetapi dia ingin waktu sedikit lagi.

"Kak ... aku hamil," bisik Brenda. Dada gadis itu semakin sesak, pasokan oksigen terus berkurang, mentalnya kembali hancur saat harus berterus terang pada orang yang paling ia cinta.

Baskara terdiam. Dia bahkan tidak mampu mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Dia menelan saliva berulang kali dan memeluk Brenda dengan erat sambil menjernihkan pikirannya.

"Siapa pelakunya?" tanya Baskara, pelan. Nyaris seperti orang kehilangan harapan.

Brenda diam.

"Jawab, sayang. Dia harus tanggung jawab," ujar Baskara, suaranya bergetar.

Brenda masih diam. Tangisan Baskara semakin meledak. Dia melepaskan pelukan, menatap wajah adiknya yang sayu dan pucat. Baskara menepuk pipi Brenda berulang kali hingga mata gadis itu terbuka.

"Siapa pelakunya?" Baskara mengulang pertanyaan. "Kakak nggak akan marah, nggak akan malu. Kakak sayang sama kamu," sambungnya.

Bibir Brenda bergerak perlahan. Bagian perutnya sakit luar biasa bak habis dihantam beton. Tubuhnya ngilu dan kepalanya pening. Melihat wajah Baskara membuat ia seketika menyelesali keputusannya.

"Re ... Regan Sha ... Shailendra," ucap Brenda, dua detik sebelum cairan berbusa keluar dari mulutnya dan rembesan darah pada pangkal pahanya kembali basah.

Tubuh gadis itu kini benar-benar kaku. Matanya telah terpejam untuk selamanya. Baskara mematung beberapa saat sambil menatap Brenda yang masih ia tempa. Pria itu merasa ikut kaku, seluruh organnya membeku, matanya menatap kosong jasad sang adik namun kepalanya terus menyerukan dua kata.

Regan Shailendra.

▪︎
▪︎
▪︎

[Republish: Mau 25, 2023]

Welcome back to my new story! 💖
Masih dalam genre drama romance. Semoga kalian suka dan semoga aku konsisten 🙏

Vote dan komentar kesan kalian yaa ❤

Love, Revenge, & Secret ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang