-chapter 01-
.
.
.
."Aku pergi dulu, ya, Mas." Nadiana membubuhkan sebuah kecupan hangat di pelipis kanan sang suami yang masih terlelap. Lama dia duduk di sisi ranjang hanya untuk memandangi wajah suaminya. Bagi wanita 26 tahun itu, Regan adalah penyemangat dan motivasi untuknya bertahan hidup.
Tiga bulan lalu adalah titik terendah dalam pernikahannya dengan Regan yang sudah berlangsung empat tahun. Regan kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor ketika pulang kerja. Nadia ingat saat dia tergopoh-gopoh datang ke rumah sakit dan kakinya yang mendadak lemas saat melihat Regan berlumuran darah dari cela kecil jendela UGD. Regan yang sempat koma empat hari berhasil membuat Nadia ketakutan setengah mati.
Nadia juga ingat permohonan dan sumpahnya kepada Tuhan demi kesembuhan Regan dan kini ia sedang menepati janjinya kepada Yang Kuasa. Nadia menyingkirkan helaian rambut Regan lalu kembali mencium dahi pria itu.
"Udah mau pergi kerja?" Suara parau Regan terdengar.
"Iya, udah jam tujuh. Sarapan ada di meja biasa. Mas hati-hati, ya. Kruknya ada dekat ranjang," ujar Nadia.
Regan mengangguk. Sepertinya kesadaran pria itu masih belum penuh namun Regan memaksakan diri untuk bangun. Dia ingin mengantar Nadia sampai teras seperti apa yang dulu istrinya lakukan saat dia masih bekerja.
"Mas di sini aja. Udah, ya, aku pergi dulu." Nadia mencium punggung tangan Regan lalu beranjak dari ranjang.
"Maaf, Nad. Mas masih belum bisa ambil tanggung jawab sebagai suami lagi," kata Regan, menghentikan Nadia yang hampir keluar kamar. Regan sudah mengucapkan kalimat yang sama hampir tujuh kali dalam sebulan dan demi cintanya pada pria itu, Nadia sama sekali tidak keberatan.
"Mas kenapa ngomong itu lagi, sih? Nadi udah bilang, Mas nggak perlu merasa bersalah. Namanya juga orang sakit, wajar kalau belum bisa kerja," kata Nadia. Dia kembali menghampiri suaminya dan memeluk Regan.
"Surga buat kamu, Nad," bisik Regan.
Nadia cukup paham perasaan Regan meski dia sudah berkali-kali membesarkan hati suaminya dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja menjadi tulang punggung keluarga mereka, tetapi sepertinya Regan masih tidak enak hati dan menganggap keberadaannya yang di rumah saja tidak berguna. Padahal pria itu masih harus menjalani serangkaian terapi untuk pemulihan fisiknya.
Usai berhasil membuat Regan tenang, Nadia pun pergi bekerja. Seperti biasa dia akan naik shuttle dari depan perumahannya hingga halte bus kota yang membawanya ke kantor. Bohong bila dia tidak merasakan culture shock saat pertama harus bertanggung jawab atas segala kebutuhan rumah tangga yang biasanya menjadi kewajiban Regan. Nadia benar-benar harus menekan pengeluaran agar gajinya selalu cukup. Bukan berarti selama seumur hidup Regan dan dia tak pernah menabung, tetapi sudah Nadia putuskan semua tabungan Regan hanya akan ia keluarkan untuk pengobatan sang suami.
"Anggap aja lagi ngerasain jadi Mas Regan. Ternyata begini, capek juga. Kok bisa Mas nggak pernah ngeluh. Tiap pergi dan pulang kerja mukanya selalu sumringah," gumam Nadia, sambil memandangi jalan raya dan tersenyum kala ia mengingat rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Dua bulan lalu Nadia melamar di sebuah perusahaan keuangan sebagai admin berkat bantuan koneksi dari atasan suaminya, Edgar Marino. Nadia bersyukur saat dirinya sedang kesulitan masih ada orang-orang yang dengan tulus membantunya. Meski saat ini statusnya masih sebagai pegawai sementara yang harus melewati masa uji coba selama tiga bulan, Nadia akan berusaha agar layak menjadi pegawai tetap di sana. Dia sudah menyiapkan skenario terburuk apabila Regan memang benar-benar tidak bisa lagi bekerja seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Revenge, & Secret ✅
RomansaKematian Brenda menyisakan dendam besar bagi Baskara kepada Regan. Ketika akhirnya takdir mempertemukan Baskara dengan Regan, ternyata kehidupan pria itu jauh lebih baik dari yang dia duga. Semua semakin rumit ketika Baskara jatuh cinta kepada istri...