12. Jika Saja

2.2K 333 68
                                    

-chapter 12-
.
.
.
.
.

Punggung Nino menabrak dinding hingga ia terjatuh. Tatapan pria di hadapannya terlihat lebih menyakitkan daripada luka tusuk di perut kirinya. Darah segar terus mengalir di balik kaus hitam yang ia kenakan, telapak tangan kirinya berusaha menahan agar darah berhenti. Bibirnya bergetar menahan sakit serta ketakutan.

"Ndra, tolong ...," ucap Nino, lirih. Dia mencoba menarik belas kasihan dari pria yang berdiri di depannya sembari memegang pisau dapur yang berlumur darah.

Nino menelan ludah susah payah saat Regan berlutut untuk menyejajarkan pandangan mereka. Rasa ngilu pada wajahnya, yang ia rasa sudah berbekas menjadi lebam akibat pukulan Regan beberapa jam lalu, kembali menguat. Nino pasrah jika ia harus mati hari itu juga.

"Maaf, Ndra," ujar Nino, pelan.

Regan tak menggubris. Dia menatap sahabatnya itu dengan penuh kebencian. "Gue kasih lo waktu tiga menit untuk pergi dari sini. Pergi yang jauh dan jangan pernah kembali."

"Ma-maksud lo?" Tanpa sadar Nino menekan perutnya sendiri.

"No, nggak usah bersikap kayak manusia yang punya otak. Gue hitung sampai 10 buat lo keluar dari rumah ini. Gue nggak akan biarin Nadia lihat muka lo selama sisa hidupnya," ujar Regan, dengan suara rendah namun penuh penekanan disetiap kata.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, Nino bangkit dan segera menuju pintu utama untuk pergi. Pada hitungan ke tujuh, Nino sudah terseok-seok di halaman rumah. Dia seperti berada pada ambang kematian. Nino yakin ini sudah lebih dari 10 detik namun suara Regan tak lagi terdengar.

Dia buru-buru mencegat salah satu pengendara motor yang melintas. Memohon pertolongan, meminta nyawanya diselamatkan. Namun baru saja si pengendara mengulurkan tangan, tiba-tiba Nino merasakan kaus belakangnya ditarik hingga ia jatuh telentang. Wajah Regan ada di hadapannya dengan pisau mengacung tinggi, siap menikamnya kembali.

"NDRA, JANGAN!"

Dalam satu tarikan napas mata Nino terbuka. Tubuhnya membeku, hanya bola mata yang menyusuri sekitar. Tidak ada Regan, tidak ada pengendara motor, dan dirinya tidak ada di pinggir jalan. Nino meraba dadanya, ia rasakan jantungnya berdetak puluhan kali lipat lebih cepat.

Hanya mimpi.

Mimpi yang menyeramkan. Nino menatap langit-langit kamar hotel, dia ketiduran saat menonton TV. Pria itu beranjak dari ranjang, dia berdiri di dekat jendela. Menatap hamparan bintang malam dengan gedung-gedung pencakar langit.

"Gue bahkan masih ingat rasa sakitnya." Nino bermonolog.

Bayang-bayang penolakan Regan kembali terputar. Dia memahami alasan pria itu membencinya. Dia mengerti seberapa khawatirnya Regan, tetapi Nino tidak pernah menyangka bahwa Regan bisa bertahan bersama Nadia sampai detik ini.

"Padahal tujuan gue ke sini bukan untuk menghancurkan hidup lo, Andra." Nino menatap nyalang bayangan samar dirinya pada kaca jendela. Berharap suatu saat Regan dapat menerimanya kembali seperti sediakala.

***

Dokter bilang Nadia tak perlu bedrest lebih. Wanita itu hanya perlu mengontrol aktivitasnya menjadi lebih ringan. Mual yang dialami Nadia juga wajar, Dokter Ghina menitipkan pesan pada Regan untuk memantau setiap asupan yang Nadia konsumsi demi kesehatan jabang bayi mereka.

Kandungan Nadia dikonfirmasi telah memasuki usia tujuh minggu. Regan bahkan sampai menitikan air mata ketika mendengar detak jantung bayi mereka untuk pertama kalinya. Nadia juga tak menampik kegembiraan bahwa kini ada nyawa lain dalam tubuhnya.

Love, Revenge, & Secret ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang