11. Jantung Hati

2.5K 312 33
                                    

-chapter 11-
.
.
.
.
.

Nadia merasa ada dorongan kuat yang ingin keluar dari tenggorokannya. Wanita itu loncat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Tiga hari belakangan menjadi pagi yang menyusahkan bagi Nadia. Dia selalu saja didera rasa mual berlebihan, alarm ponselnya sudah tak berguna untuk membangunkan dirinya.

Wanita itu terbatuk-batuk karena rasa mualnya tak kunjung selesai walau tak ada lagi cairan yang bisa ia keluarkan. Regan yang terbangun karena alarm ponsel Nadia, beranjak dari ranjang dan mencari wanita itu. Dia mendengar suara air terus mengalir dan Nadia yang masih terbatuk.

"Nad, kamu kenapa? Muntah lagi?" Regan mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali.

Nadia tak sanggup menjawab. Wajah wanita itu memerah dan tenggorokannya sakit. Merasa sudah lebih baik, Nadia meraih kenop dan membuka pintu untuk membiarkan Regan masuk. Dengan cekatan, suaminya itu langsung membantu Nadia menahan rambut dan memijat tengkuk Nadia.

"Kamu makan aneh-aneh belakangan ini, ya?" kata Regan.

Nadia menggeleng. Dia masih menunduk ke wastafel, berjaga-jaga bila tiba-tiba ingin muntah lagi.

"Padahal aku udah minum obat maag dan diare. Nggak mempan juga," ujar Nadia.

Regan menggulung rambut Nadia lalu ia masukan ke baju wanita itu. Dia mengecek suhu tubuh Nadia namun ternyata normal. Nadia juga tidak buang air besar secara berlebihan dan tidak memiliki riwayat asam lambung.

"Apa karena seafood? Akhir-akhir ini kamu makan itu terus. Saus padang itu pedas banget, lho, Nad. Tapi kamu biasa aja padahal Mas udah nyerah. Terus kapan hari itu kamu beli petis dan gulanya juga pedas. Lambung kamu marah kayaknya," ujar Regan, setelah menarik ingatannya tentang apa saja yang Nadia yang konsumsi.

Nadia sempat diam sejenak sebelum menarik napas panjang untuk mengiakan perkataan sang suami. "Mungkin kali, ya. Aku terlalu berlebihan makan pedas."

Memang benar jika akhir-akhir ini Nadia selera makannya bertambah dan semakin aneh. Dia gampang sekali tergugah melihat makanan pedas. Awalnya Nadia pikir karena mulutnya yang tak enak dan mati rasa akibat pilek.

"Kayaknya aku sakit lambung," kata Nadia.

Regan mengangguk. Mata pria itu menangkap isi pada box yang menempel di dinding dekat wastafel. Benda berwarna hijau tua itu menarik perhatian Regan lalu dia kembali memandang istrinya. Satu hal terbesit di otak pria itu.

"Atau ... kamu hamil," ucap Regan, pelan.

Nadia mematung. "Ha..mil?"

"Mungkin aja," sahut Regan, tak yakin.

Jika ia tidak salah, stok pembalut yang dia lihat di box tadi tak berubah hampir dua bulan. Biasanya dalam sebulan pasti ada perubahan. Kadang ada yang bungkusnya sudah terbuka dan menandakan Nadia sedang datang bulan atau masih tersegel rapi yang berarti Nadia siapkan itu untuk bulan berikutnya.

Regan juga baru sadar, belakangan Nadia tak pernah mengeluh soal kram perut. Bahkan niatnya untuk mengajak Nadia bersenggama selalu berhasil, tidak pernah batal karena alasan datang bulan. Jadi sah-sah saja jika Regan berpikir demikian, bukan?

"Pakai testpack mau, nggak? Coba aja, nggak usah dipikirin hasilnya," kata Regan, berusaha tenang dan tak mengindahkan perasaannya yang meletup-letup.

Nadia menoleh ke arah suaminya. "Mas yang beli, ya."

Regan mengangguk. "Nanti Mas ke apotek. Sekarang kamu tidur lagi aja, nggak usah kerja dulu. Kamu pucat soalnya."

Love, Revenge, & Secret ✅ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang