-chapter 24-
.
.
.
.Mata pria itu mengunci satu objek yang selalu membuat jantungnya kerap berdebar. Meski masih tidak tahu apa yang dia rasakan, Regan tetap bergeming di sana. Ketika jari mungil itu bergerak gelisah, Regan mengangkat dan memasukkan jemarinya di sela-sela inkubator yang selama tujuh hari ke belakang menjadi tempat putri semata wayangnya dirawat intensif.
Ada kehangatan yang Regan tak tahu berasal dari mana saat telunjuknya digenggam oleh jari mungil itu. Berbanding terbalik dengan tangannya yang gelap dan kasar, genggaman dari tangan dari kecil itu terasa lembut dan menenangkan. Dengan perlahan Regan menggerakan jemarinya untuk mengusap pipi Nala, tapi tak lama kemudian gadis kecil itu menangis membuat Regan panik seketika.
Regan bertanya-tanya, adakah yang salah dari usapannya? Atau apakah Nala menyadari bahwa usapannya bukanlah sentuhan seorang ibu?
"Nala yang nangis ternyata." Seorang perawat dengan name tag bertuliskan Ratih, datang dan langsung menghampiri inkubator Nala.
"Tiba-tiba nangis, Sus," lapor Regan.
Ratih tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak. Tadi Nala udah minum susu kok. Jadi mungkin dia bosan aja."
Atau mungkin karena Nala merindukan sang ibu? Tentu Regan tidak mampu melontarkan kalimat itu. Meski Nala belum mengerti, pasti gadis itu bisa merasakan apa yang menjadi sumber kegundahan dirinya.
"Mungkin Nala juga tahu karena ada Papanya. Bapak mau bonding sama Nala?" tanya Ratih.
Dari raut wajah perawat itu, Regan yakin setiap pria yang diberikan pertanyaan serupa akan langsung mengangguk atau berseru iya. Mungkin hanya dia yang malah berpikir untuk menjawab pertanyaan semudah itu. Tangisan Nala yang semakin kuat, menarik perhatian Regan. Dia belum pernah menggendong putrinya. Bagaimana bisa dia membesarkan Nala tanpa kehangatan fisik? Bagaimana bila selamanya Nala tidak akan bisa mengenali dirinya sebagai sang ayah?
"Pak?"
"Uhm, ya, boleh."
"Baik. Sebentar, ya." Ratih mengambil sesuatu dari lemari yang ada di sudut ruangan lalu memberikan itu pada Regan. "Silakan Bapak ganti baju dulu dengan ini, jangan lupa cuci tangan juga. Saya keluarkan Nala dari inkubator dulu."
Regan mengangguk. Dia pergi menuju ruang ganti yang ada di kamar sebelah. Pria itu sempat terdiam lama di depan cermin kecil. Regan menatap pantulan dirinya yang tak jauh berbeda seperti mayat berjalan. Wajah tegasnya pucat dan lesu, rambutnya dibiarkan berantakan karena lupa kapan terakhir sempat memegang sisir, serta kaus belel yang ia kenakan seadanya.
Dia menghela napas dan melepaskan kaus birunya. Regan mengenakan kimono dengan motif batik dan logo rumah sakit yang ada di dada sebelah kiri. Lalu pria itu berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan lagi-lagi dia terdiam. Cincin yang tersemat di jari manis kiri dan tak pernah dia lepas selama empat tahun terakhir itu kembali membuatnya sesak. Regan mengambil sabun antiseptik dan menggosok kedua tangannya asal-asalan kemudian segera membilas dan keluar dari ruang ganti.
Begitu dia sudah kembali ke ruangan bayi, Nala yang lengkap dengan alat bantu pernapasan sudah ada dalam gendongan Ratih.
"Silakan duduk di sini, Pak," kata Ratih.
Regan menurut dan duduk di sofa single yang ada di pojok ruangan dekat lemari besar tempat Ratih mengambil kimononya. Regan tidak tahu harus bersikap seperti apa, ini adalah pengalaman pertamanya menggendong bayi yang baru lahir dalam keadaan prematur. Berat badan Nala bahkan tak sampai 2,5 kilogram. Bahkan satu minggu yang lalu, saat Nala diangkat dari perut ibunya, berat badan gadis itu hanya mencapai 1,8 kilogram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Revenge, & Secret ✅
RomanceKematian Brenda menyisakan dendam besar bagi Baskara kepada Regan. Ketika akhirnya takdir mempertemukan Baskara dengan Regan, ternyata kehidupan pria itu jauh lebih baik dari yang dia duga. Semua semakin rumit ketika Baskara jatuh cinta kepada istri...