Hari ini merupakan hari kedua mereka menjalankan misi. Sesuai agenda, sekarang Devinta dan Zahra akan pergi ke ruang Paskibra.
Mereka masuk dengan mengendap-endap. Di ruangan itu terdapat salah satu senior yang untungnya sedang tertidur pulas di atas matras.
Untuk mencegah ketahuan oleh orang lain, mereka membagi tugas. Zahra berjaga-jaga di depan pintu, sementara itu, Devinta mencari sesuatu yang berisi tulisan tangan senior mereka.
Devinta mengambil salah satu buku dalam lemari yang berisi catatan-catatan anak Paskibra, kemudian mengeluarkan surat yang ia simpan di balik seragamnya dan mulai membandingkan antara tulisan di buku catatan dan surat yang diterimanya.
Matanya secara bergantian menatap kedua benda yang ada di depan matanya, sesekali melirik ke arah seniornya. Namun, dari sekian banyaknya, tidak ada satu pun yang memiliki tulisan tangan yang sama ataupun mendekati.
Devinta menyimpan kembali buku catatan seniornya dan beranjak pergi.
"Nggak ada," komentarnya setelah menyusul Zahra di depan pintu.
"Lo udah cek semua?" tanya Zahra.
Devinta mengangguk. "Mendekati pun nggak ada."
"Kalau emang nggak ada, fix berarti dia bukan anggota paskibra," kata Zahra menjentikkan jarinya.
"Rio maksud lo?" tanya Devinta menyelidik.
"Maybe. Kalau emang Rio orangnya, gimana tanggapan lo?"
"Agak sedih sih sebenarnya. Gue takut nantinya hubungan kami berdua nggak sama lagi. Gue benar-benar udah nyaman sama pertemanan ini."
"Itu tantangan bersahabat dengan lawan jenis. Kebanyakan, salah satu dari mereka ada yang menyimpan rasa atau nggak sekali dua kali pernah baper." Ada jeda dari ucapannya. Zahra memandang Devinta dengan tatapan curiga, "Tidak sedikit juga, keduanya ada rasa."
Devinta menyerngitkan keningnya. "Walaupun sering sender-senderan, pegang tangan, atau suap-suapan. Kalau bukan tipenya mah, bakal mati rasa, " jelas Devinta.
Zahra mendengus,"Ya begitulah! Pokoknya jalani aja dulu. Nggak ada yang tau ke depannya nanti seperti apa. Hidup itu seperti stand up comedy, banyak candaannya. Sesekali serius juga."
"Emang acara begituan ada seriusnya juga?" tanya Devinta.
"Ada dong. Di sesi penjurian," jawab Zahra.
Devinta memerhatikan Zahra. Walaupun mereka berteman sejak SMP, dirinya masih bingung dengan watak Zahra yang tidak konsisten. Terkadang dia bijak, pintar, polos, bego, berakhlak ataupun tidak berakhlak. Tapi, dirinya bersyukur memiliki sahabat seperti Zahra, orang yang selalu mendukungnya, selalu ada dalam keadaan apapun. Suka maupun duka.
"Masih mau ribut?"
Satu pertanyaan itu berhasil merebut perhatian keduanya. Devinta bergidik, sejak kapan seniornya bangun dari tidurnya? Apa dia mendengar percakapannya bersama Zahra.
Setelah meminta maaf dan pamit mengundurkan diri. Mereka pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang meronta-ronta minta diisi.
💌
Devinta menopang dagunya di meja kantin selagi menunggu Zahra kembali dari kelas karena melupakan uangnya dalam tas. Banyak bangku kosong karena hanya ada beberapa murid saja yang menghabiskan jam istirahat kedua di kantin. Biasanya murid-murid lebih memilih tidur di kelas ataupun di mushollah.
Bosan. Itulah yang dirasakannya sekarang. Sangat-sangat aneh jika hanya duduk sendirian di kantin. Devinta tipikal orang yang tidak bisa sendirian jika berada di lingkungan sekolah.
Suara dua orang yang sedang tertawa di hadapannya membuat dirinya tersadar dari lamunannya. Devinta hampir terjengkang ke belakang, begitu juga dua orang itu. Mereka sama-sama terkejut.
"Kaget Dev," ungkap Revan
"Sama," ucap Sapta sambil mengelus dadanya.
"Lebih-lebih Devinta, Kak."
Devinta bingung. Kenapa dua orang kakak kelasnya ini bisa ada di hadapannya dan sejak kapan. Tidak mau terus-terusan berperang dengan pikirannya. Devinta pun bertanya.
"Kak Sapta dan Kak Revan sejak kapan ada di sini?"
Dua orang itu pun menghentikan pembicaraannya dan menoleh ke arah Devinta.
"Belum terlalu lama," kata Sapta.
"Nggak nyadar yaa kamu. Haluin apa sih?" tanya Revan.
"Biasalah, oppa-oppa." Dari arah samping, Rio datang menghampiri mereka. Disusul Zahra mengekor di belakangnya.
Devinta menatap sengit Rio yang dibalas mimik wajah ala swagjutsu.
Rio duduk di sisi kanan Devinta, lalu merangkulnya dan mendekatkan bibirnya di telinga Devinta. "Gitu doang marah," bisik Rio.
Rio menjauhkan wajahnya lalu berbicara dengan kedua kakak kelasnya dan juga Zahra. Sementara Devinta sibuk dengan kegiatannya yang mencuri-curi pandang pada Sapta, Revan dan juga Rio.
Devinta mengeluarkan ponselnya berniat memfoto secara diam-diam keempat orang yang sedang bersamanya saat ini. Saat mengotak-atikan ponselnya di bawah meja. Devinta yakin dirinya tidak salah lihat. Sesuatu jatuh dari dalam kemeja yang dikenakan Rio. Dengan cepat Rio mengambilnya dan menyembunyikan lagi di balik kemejanya. Devinta menoleh ke arah Rio yang membuang pandang darinya.
Sebuah amplop putih.
┊⋆ ˚✯✩
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin : Antara Kau Dan Dia 💌
Teen Fiction[ Warning!!! Banyak jumpscare dan ngik ngik ngok nya ] ... Devinta menyukai kakak kelasnya selama tiga tahun lamanya, yang saat itu ia masih duduk di bangku pertama jenjang SMP. Pertemuan yang sering terjadi di antara keduanya membuat Devinta berad...