𓅄 [ empat belas ↳ ͙♡₊˚

429 117 35
                                    

Hanya suara dentingan piring dan sendok yang terdengar di ruang makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanya suara dentingan piring dan sendok yang terdengar di ruang makan. Ketiga orang yang duduk saling berhadapan sibuk dengan kegiatan mengunyah mereka.

Diam-diam Devinta memerhatikan wanita paruh baya di depannya. Dia ingin membicarakan tentang kejelasan hubungan mamanya dengan papa Jasmine. Namun, dirinya bingung ingin memulai pembicaraan dari mana.

Di sampingnya ada Zahra yang juga sibuk memasukkan sesuap nasi di mulutnya, sesekali melirik ke arah Devinta yang sedang makan dengan gaya slow motion. Devinta menyendokkan nasi hanya bagian ujung-ujung sendok saja. Tapi, mengunyahnya bermenit-menit.

Setelah tante Sarah berdiri dari duduknya berniat menaruh piring bekasnya di wastafel cuci piring. Barulah Devinta makan dengan terburu-buru. Lalu, menyusul mamanya.

"Geser dikit, Ma. Devinta mau nyuci piring," kata Devinta sambil menyenggol kecil pinggul mamanya yang di respon dengan anggukan.

Tante Sarah tidak langsung pergi. Tetapi, berdiri di samping Devinta sambil bersedekap dada.

Devinta menoleh ke mamanya yang tampak seperti menunggu sesuatu.

"Kenapa, Ma?" tanya Devinta.

"Kamu yang kenapa?! Kayaknya ada yang mau kamu omongin."

Kegiatan mencuci piring Devinta terhenti. Lalu, ia kembali menoleh ke arah mamanya. Insting seorang ibu memang jangan diragukan.

Devinta menyalakan keran air, membasuh tangannya yang berbusa. Lalu, dikebas-kebas untuk mengurangi air yang berada di tangannya.

Devinta berdehem mencoba menetralkan suaranya yang tertahan. "Mama sudah dapat pengganti papa, yaa?" tanya Devinta Ragu-ragu.

"Maksud kamu?" Nada suara Mama Devinta jadi sedikit meninggi membuat Devinta merutuki dirinya yang menanyakan perihal itu. Tapi disisi lain, ia ingin mendengar penjelasan mamanya agar kedepannya tidak terjadi kesalahpahaman lagi.

"Hubungan Mama dengan papa Jasmine," lirih Devinta sambil menundukkan kepalanya.

"Just friend. Tidak lebih," kata tante Sarah dengan sedikit penekanan. "Papa Jasmine yang membantu Mama di kantor. Tapi itu tidak membuat Mama jadi berpaling. Sangat sulit melupakan kepergian papa kamu walaupun bertahun-tahun sudah berlalu. Mama juga tidak ingin menjalin hubungan baru untuk bisa melupakan. Mama tidak seegois itu."

Devinta dalam hati merutuki dirinya yang sudah suudzon duluan. Ia merasa bersalah dan ada sesuatu yang membuat hatinya sakit setelah mendengar perunturan mamanya yang mengatakan belum sepenuhnya bisa melupakan papanya. Devinta pikir, mamanya itu sudah melupakan sang papa hanya karena mamanya seperti sudah tidak memperhatikannya lagi.

Devinta mengangkat kepalanya lalu melangkahkan kakinya pelan-pelan, kemudian menghambur pelukan ke mamanya. "Maafin Devinta, Ma," isak Devinta dengan suara bergetar.

Sebuah elusan dan ciuman singkat di pucuk kepalanya membuat Devinta semakin terisak. "Sudah. Jangan nangis lagi. Mama juga minta maaf atas perlakuan Mama selama ini. Sekarang kita impas yaa?!"

Ketika pelukan mereka terlepas. Tante Sarah mengecup dahi Devinta, "Anak kesayangan Mama," ucapnya disela-sela kecupan. Setelah itu tante Sarah pergi meninggalkan Devinta yang akan melanjutkan kegiatan cuci piringnya.

"Jasmine kira mereka punya hubungan spesial." Suara itu membuat Devinta menoleh ke arah sampingnya.

"Lo sih."

"Kok Jasmine?"

"Yaa lo, menggiring opini gue buat berprasangka buruk."

"Tapi kan...."

"Apa?" tanya Devinta.

Jasmine menggeleng.

Devinta sedikit melirik ke arah Jasmine. "Jas, kalo bicara ama gue pake lo-gue atau nggak pake aku-kamu aja," jelas Devinta. Dirinya bukan risih, hanya ia merasa aneh. Devinta memang sering menyebut namanya sendiri juga. Tapi, untuk sesama seumurannya, ia lebih nyaman pakai gue-lo.

Jasmine mengangguk mengiyakan. "Okee, nanti aku coba."

💌

Kegiatannya di dapur sudah selesai. Devinta tidak langsung menuju kamar tidurnya. Ia berjalan mengendap-endap ke kamar tamu. Pintu ia kunci agar tidak ada yang mengganggunya.

Devinta mengambil kotak yang berisikan surat-surat yang ia simpan di lemari pakaian. Sengaja disimpan di situ, soalnya Devinta dan Jasmine tidur berdua. Jadi, untuk berjaga-jaga. Devinta menyembunyikan surat itu di kamar tamu.

Devinta mulai menghitung surat yang diterimanya selama ini. Jumlah keseluruhan yang diterimanya ada 64 surat. Devinta ternganga setelah menghitung surat yang di dapatnya. "Lo siapa sih sebenarnya. Ayok dong muncul dipermukaan. Berlumut nih hati gue, nggak ada yang bertahta."

Devinta membuka satu persatu surat untuk dibandingkan. Tidak ada perbedaan yang didapatkannya kecuali pesan yang disampaikan. Coretan pena di atas surat sangat indah dan rapi.

Dimasukkannya kembali surat-surat itu ke dalam tempatnya. Lalu, berangsur menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya. Dikeluarkannya ponsel yang berada di saku daster yang dikenakannya.

Aplikasi galeri lah yang dibukanya pertama kali. Dipandanginya foto yang diambil siang tadi saat berada di danau.

Devinta cekikan melihat foto Rio yang ia ambil secara diam-diam. Yaa, walaupun tergolong paparazi. Namun, wajah Rio masih terlihat tampan. Foto itu ia jadikan sebagai wallpaper WhatsAppnya, menggantikan foto Sapta yang ia gunakan sebelumnya.

Setelah itu, Devinta kembali mengotak-atik folder foto berniat bernostalgia sekalian menghapus foto-foto yang menurutnya tidak penting. Hingga ia menemukan foto dirinya dengan Sapta. Foto perdana mereka yang diambil saat Upacara 17-an. Walaupun sebenarnya, di foto itu Revan dan Ayu juga ikut berpartisipasi.

Devinta menghela nafasnya. Ternyata sangat sulit berada diposisi menyukai dan disukai. Terlebih lagi, itu dari orang yang berbeda. Bisakah suatu saat nanti dia bisa merasakan dengan orang yang sama.

┊⋆ ˚✯✩

┊⋆ ˚✯✩

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Klandestin : Antara Kau Dan Dia 💌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang