Tiga hari lamanya aku dan Ashkara tak bertemu Arsyana. Dia sedang dalam pantauan dokter dan psikiater. Berkali-kali aku memohon untuk menemuinya, tapi mereka tak mengizinkan karena Arsyana menolak.
Aku dan Ashkara hanya melihat Arsyana dari video rekaman CCTV yang dipasang khusus di kamarnya. Kadang, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong. Lalu di malam harinya, dia tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan menjerit-jerit histeris.
Dokter dan psikiater pun belum mengetahui apa penyebab Arsyana depresi seperti itu. Mereka hanya mengatakan bahwa trauma yang dialami Arsyana cukup fatal. Sehingga dia menolak untuk bertemu dengan siapapun, kecuali perawat wanita yang datang untuk menyuapinya makanan dan mengganti pakaian.
Walau begitu, aku dan Ashkara tak pernah lelah berjaga di rumah sakit. Kami sesekali bergantian pulang ke rumah hanya untuk berganti pakaian dan tidur singkat. Untuk urusan pekerjaan pun kami kirimkan melalui email.
Seperti sekarang ini, saat Ashkara tengah pulang untuk berganti pakaian, aku duduk di kafe rumah sakit seorang diri. Mengerjakan tugas kantor yang tak bisa ditinggalkan, dan sekadar menikmati kopi panas untuk mencegah kantuk yang teramat sangat.
Baru dua puluh menit aku menyalakan laptop, seorang suster berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Wajahnya terlihat panik.
"Pak Evan," ucap suster itu dengan napas tersengal. Dia membungkukkan badan dengan kedua tangan tertumpu di lutut.
"Kenapa, Sus?" tanyaku penasaran.
"Bu Arsyana hilang, Pak! Dia nggak ada di kamarnya," jelas suster itu sembari kembali berdiri tegak.
"Apa?"
Aku segera bangkit dan berlari secepat mungkin menuju kamar Arsyana di rawat. Ternyata benar, dia tak ada dalam kamarnya. Dalam kamar mandi pun nihil. Kemudian aku bergegas menyusuri koridor demi koridor rumah sakit.
Pikiran kacau tiba-tiba menyerangku. Dalam keadaan seperti ini, apa pun bisa terjadi. Aku hanya takut Arsyana diculik lagi oleh Aldi, tapi sosoknya yang kini sedang mendekam di penjara rasanya tak mungkin.
"Pak Evan!" teriak seorang suster lain di belakangku. Aku menoleh, berharap teriakan itu adalah kabar baik.
Namun, suster itu menunjukkan raut kepanikan. Jantungku berdentum-dentum hebat.
"Bapak harus ikut saya!" ajak suster itu setelah berdiri di hadapanku. Dia lantas kembali berlari di antara koridor, lalu memasuki lift dan menekan tombol yang paling tinggi dari gedung ini.
Aku mengikuti suster itu dengan perasaan tak tenang. Untuk apa suster mengajakku ke tempat tertinggi dari rumah sakit ini? Setelah pintu lift terbuka, suster itu bergegas keluar dan menaiki tangga darurat.
"Kita mau ke mana, Sus?" tanyaku bingung sambil terus berlari menaiki tangga mengikuti suster itu.
"Kita ke roof top, Pak! Bu Arsyana sedang mencoba bunuh diri!"
Pikiranku semakin kacau mendengar penjelasan suster. Aku mempercepat frekuensi berlariku tanpa menghiraukan rasa pegal yang menyerang. Hingga sampai kami sampai di pintu paling ujung, embusan angin dan pekatnya malam menyambut ketika suster membuka pintu.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh area roof top, lalu mendapati Arsyana sedang berdiri di atas tembok pembatas yang menghadap ke utara. Dia bertelanjang kaki, dan rambutnya yang tergerai indah berkibar tertiup angin.
Seorang dokter, dua perawat, dan security hanya diam terpaku menyaksikan kebodohan yang akan dilakukan Arsyana. Bisa saja Arsyana tiba-tiba melompat tanpa usaha pencegahan dari orang-orang yang hanya mematung.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Ars!
RomancePRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah...